Penjara Labewa, Provinsi Gemara, dikenal sebagai tempat terakhir bagi para penghancur takdir, yaitu orang-orang yang terlalu berbahaya untuk dilepaskan, namun terlalu bernyali untuk dibinasakan. Di salah satu lorong gelap, bau besi tua dan darah basi memenuhi udara.
Oscar Susanto menunduk hormat pada lelaki tua di hadapannya. Tubuh lelaki itu kurus, penuh luka bekas pertarungan, namun matanya memancarkan cahaya tajam seperti binatang buas yang pernah menelan petir.
"Pergilah, Oscar," kata lelaki itu. Suaranya serak, seperti gesekan pedang yang tumpul.
"Dunia di luar lebih kejam dari jeruji ini, tapi kau tak punya pilihan. Energi Naga Pendendam di tubuhmu harus dikendalikan. Jika tidak, kau akan jadi monster."
Oscar menggenggam kepalan tangannya. "Saya akan menyelesaikannya, Guru. Saya bersumpah atas nama darah saya."
"Darahmu adalah darah Naga Sejati. Tapi kau hanya setengah naga sekarang. Tulangmu sudah dirampas, dan karenanya lahirlah kebencian itu."
Tiga tahun silam, usianya baru menginjak delapan belas ketika namanya dicoret dari keluarga demi menanggung aib sang kakak. Ia dilempar ke dalam jeruji besi Penjara Labewa. Di sana, tubuh mudanya menjadi sasaran hina dan bulan-bulanan napi tua berotot dan sipir yang kehilangan nurani.
Namun semua berubah sejak lelaki tua itu memilihnya sebagai murid. Jika bukan karena ilmu bela diri yang menenangkan hawa amarah dan memperkuat raganya, Oscar mungkin telah hancur dan tak akan bertahan sampai usia dua puluh. Tubuhnya bisa tetap utuh, tapi jiwanya akan runtuh.
Di bawah bimbingannya, Oscar belajar bagaimana menahan gejolak energi dalam dirinya, dan bagaimana menjadikan penderitaan sebagai alat tempur.
"Tapi ingat," ucap lelaki tua itu lirih.
"Bela diri hanya menekan, bukan menyembuhkan. Hanya dua jalan yang bisa membebaskanmu dari amukan naga dalam dirimu. Pertama, menemukan wanita dengan konstitusi tubuh khusus, dan melakukan kultivasi ganda dengannya. Tapi gadis seperti itu hanya lahir satu dari sepuluh juta."
Oscar menarik napas. Dia tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya.
"Kedua," lelaki tua itu melanjutkan. "Temukan kembali Tulang Naga Sejatimu. Dan balaskan dendam pada siapa pun yang merenggutnya."
Hari itu, semua narapidana justru bersorak, tertawa, dan berdendang seolah iblis penjara akhirnya dikurung di neraka lain.
"Dia sudah pergi!"
"Si Naga Edan akhirnya keluar!"
"Dua puluh duel, dua puluh menang mutlak. Siapa yang tidak trauma satu sel dengannya?"
Oscar Susanto, pemuda berwajah dingin dan tatapan yang lebih tajam dari bilah pedang, bukan hanya narapidana biasa. Dalam waktu tiga tahun, dia naik dari mangsa menjadi predator terkuat di Labewa.
Setiap tubuh yang jatuh, setiap darah yang mengering di bawah kakinya, menjadi saksi kebangkitan energi naga yang tak terkendali dalam dirinya. Dan kini, dia bebas.
Kota Paramon dikenal dengan empat klan besar yang menguasai perniagaan, politik, dan kehormatan di wilayah timur. Di antara mereka, Keluarga Susanto berdiri dengan sejarah panjang dan nama yang diperhitungkan. Tapi dalam rumah megah, aroma dupa pengusir roh jahat tak mampu menutupi bau kegelisahan dan keputusasaan.
Setahun sudah putri sulung dari Keluarga Hidayat, terbaring tak berdaya, tubuhnya hanya hidup karena alat dan doa. Wajah cantiknya terbakar dalam kecelakaan mobil misterius yang hingga kini belum diketahui penyebab pastinya. Sejak itu, keluarga Hidayat yang dikenal penuh mistik dan kepercayaan kuno, mencari segala cara untuk mengembalikan jiwa sang gadis ke dunia nyata.
Di tengah keputusasaan itu, harapan yang terdengar gila mulai menyeruak, sebuah pernikahan spiritual.
Keluarga Hidayat percaya bahwa feng shui bisa berubah lewat ikatan takdir. Mereka mencari pria "bernasib api surga". Pembawa keberuntungan yang konon bisa membangunkan jiwa yang tertidur. Dan rumor itu sampai ke telinga Kakek Besar Susanto, pemimpin lama keluarga yang rakus kuasa.
"Victor," suara kakek itu tajam di ujung telepon.
"Kau kepala keluarga, tapi belum bisa memberikan kontribusi berarti. Menangkan hati Keluarga Hidayat atau kau aku ganti."
Victor mengepalkan tangan. Ia tahu tekanan itu bukan cuma soal kehormatan keluarga. Ini soal bertahan hidup dalam dunia yang memuja kekuatan dan darah murni. Dan mau tak mau, iya harus mengorbankan anaknya, Leonard Susanto.
Putranya yang tampan, lulusan akademi luar negeri, pewaris sah bisnis keluarga. Tapi begitu Hana Kartika, istrinya, mendengar rencana itu, amarahnya meledak.
"Leonard?! Dengan perempuan vegetatif itu? Wajahnya bahkan hancur, Victor!"
Victor tak menjawab. Tapi matanya menunjukkan keteguhan. Hening sesaat, sebelum ketukan di pintu menginterupsi.
Seorang pelayan tua masuk tergesa. "Tuan, Nyonya, ada kabar penting. Tuan Muda Oscar telah kembali."
Oscar adalah noda dalam silsilah mereka. Anak dari wanita yang tak pernah mereka akui, yang dulu bahkan nyaris dibuang sejak bayi kalau bukan karena kepala pelayan tua memohon agar ia dibesarkan diam-diam.
Bertahun-tahun mereka bersikap seolah Oscar tak pernah ada, hingga suatu hari nasib memberinya peran, sebagai tumbal untuk kakaknya. Dan sekarang, anak itu kembali. Bertahan dari tiga tahun neraka.
Victor menoleh pada istrinya. Kemudian, untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibirnya tertarik pelan.
Hana memijat pelipis. "Kalau Oscar menolak?"
Victor mendengus. "Dia berutang nyawa pada kita. Dia akan melakukannya. Atau dia bisa kembali ke penjara."
Mereka saling pandang. "Dia sempurna," bisik Hana, senyum tipis muncul di wajahnya. "Seorang mantan narapidana menikahi gadis cacat? Tak seorang pun akan protes."
Dan malam itu, dengan detak jam antik yang terus berdetak menyayat malam, Victor menghubungi pihak Hidayat.
"Kami akan mempertimbangkan dulu," jawab mereka dingin.
Pintu kayu jati berukir lambang Susanto terbuka perlahan. Angin dari luar membawa bau hujan yang belum turun, dan di ambang pintu, berdiri seorang pria muda dengan rambut berantakan, tatapan tajam, dan langkah tenang yang penuh perhitungan. Oscar Susanto.
Saat matanya menyapu ruang tamu luas dengan lampu kristal menggantung di atas, ia melihat mereka, Victor dan Hana. Sang ayah dengan senyum dipaksakan, dan wanita yang melahirkannya diam dalam kekakuan yang nyaris sinis.
"Oscar." Victor berdiri dari sofa, membuka kedua tangannya, seolah menyambut anak yang sangat dirindukan.
"Oscar, Nak, kamu sudah tumbuh begitu dewasa." Hana menambahkan, suaranya manis seperti madu, namun dinginnya menusuk lebih tajam dari baja.
Oscar hanya memiringkan kepalanya sedikit, mengangguk pelan, dan berjalan melewati mereka tanpa membalas pelukan maupun sapaan.
"Rumah ini masih bau busuk seperti dulu," gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup menusuk ego mereka.
Ada sekejap kilatan rasa malu di wajah Victor, namun ia menekannya dalam-dalam. Oscar bukan siapa-siap, tapi sekarang, bocah itu akan sangat berguna.
"Duduklah, Nak. Kita ingin membicarakan sesuatu penting."
Oscar berhenti, menatap mereka berdua. Ada sorot kesal, tapi juga penasaran dalam matanya. Ia tahu keluarga ini bukan rumah dan cinta tidak pernah ditanamkan di sini.
Bahkan Thomas, kakak tiri yang digadang-gadang menjadi pewaris agung, tak ragu menjebaknya dalam kasus penganiayaan tiga tahun lalu.
Tak ada kunjungan. Tak ada surat. Tak ada keluarga. Janji Victor hanya debu yang tersebar dalam gelapnya sel tahanan.
Namun Oscar kembali. Bukan karena rindu. Bukan karena ingin pulang. Tapi karena satu kalimat dari guru yang pernah menyelamatkannya dari kelaparan di balik tembok penjara Labewa.
"Darah naga sejati tak lahir dari rahim biasa."
Oscar bukan anak Victor. Dia tahu itu kini. Tapi siapa dia sebenarnya? Dan kenapa tubuhnya bisa memanggil api ketika marah? Kenapa dalam mimpinya, ia melihat naga bermahkota emas memanggil namanya dalam bahasa kuno?
Victor tersenyum seakan penuh kasih, lalu menjelaskan perihal rencana pernikahan dengan putri Keluarga Hidayat juga 'kesempatan menebus nama baik.'
Oscar mendengarkan. Diam. Tak ada cemoohan, tak ada protes. Tapi di balik tatapannya yang tenang, pikirannya berpijar tajam.
Menikah dengan gadis yang tak sadar? Sebuah alat tukar untuk kehormatan palsu?
Lalu ia tersenyum tipis. "Boleh. Tapi dengan satu syarat."
Hana dan Victor saling pandang. "Apa itu, Nak?"
Oscar bangkit dari duduknya, menatap keduanya dalam-dalam. "Kalian harus mengaku, siapa aku sebenarnya."
Hana membeku. Victor mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Seorang budak tak mungkin memiliki darah naga," bisik Oscar. "Dan aku ingin tahu, siapa ayahku sebenarnya. Karena jelas—bukan kamu."
Suasana mendadak dingin. Jauh di luar rumah, guntur bergemuruh pertama kali dalam bulan ini. Seolah langit Paramon pun tahu, angin perubahan telah datang.
Dan Oscar, anak yang dibuang, kini kembali tak hanya sebagai pewaris darah naga, tetapi sebagai ancaman bagi seluruh Keluarga Susanto.