Gulungan ombak pantai selatan begitu besar, menciptakan suara deburan ombak yang menakutkan.
Tak jauh dari pantai tersebut, hutan bakau begitu lebat membendung ombak besar segara anakan.
Suara gemerincing besi yang beradu memekakkan telinga. Menyebar begitu luas hingga keluar hutan bakau.
Penduduk Desa Kemiren yang berada tak jauh di selatan hutan bakau bisa mendengar suara pertempuran dengan jelas. Mereka begitu ketakutan sampai tidak berani keluar dari rumah.
"Jaya Rana! Mampus kau!"
"Kejar dia. Jangan sampai lolos!"
Teriakan demi teriakan terdengar cukup kencang, membuat suasana kian menegangkan. Para pria di desa Kemiren bersiaga di rumah masing-masing, berjaga jika suatu hal yang buruk menerjang.
Pertempuran terdengar semakin mendekat, membuat jantung masing-masing orang semakin berdebar.
Di pinggiran desa Kemiren, seorang pria muda yang membawa tombak berukiran ular sedang dikejar oleh tujuh orang berpakaian merah tua. Langkah pria itu diikuti tetesan darah hingga meninggalkan jejak di atas tanah.
Bruk!
Langkah Jaya Rana terhenti tatkala seorang pria paruh baya yang tiba-tiba menghadangnya. Sempitnya jalan di desa Kemiren membuat Jaya Rana tak sempat menghindar.
"Hah... kenapa kalian terus mengejarku?" tanya Jaya Rana terengah-engah. "Tidak cukup korban yang sudah jatuh di pihak kalian?"
Salah satu pria berkepala botak mendengus. "Justru karena itu! Kami semakin tidak akan melepas bedebah sepertimu!"
Di hadapan Jaya Rana kini berdiri pria paruh baya yang menggunakan pakaian merah tua, sama seperti orang-orang yang mengejarnya. Namun pria tersebut memakai ikat kepala berwarna merah dengan salur kuning.
"Harusnya kau sudah tahu tujuan kami kemari. Dan berbahagialah anak muda! Aku Kebo Iwo, akan mengantarmu ke neraka tak lama lagi."
Jaya Rana menggertakan giginya, tak terima dengan ucapan Kebo Iwo. "Tidak akan mudah mengantarku ke neraka. Kecuali ... kalian semua ikut denganku!"
"Aku suka gayamu, anak muda!" Kebo Iwo terkekeh. "Jika saja kepalamu tidak terlalu mahal, kami dari Tangan Setan akan membayarnya!"
"Jangan harap!"
Jaya Rana mengeluarkan tenaga dalam dan mulai menyalurkannya ke tombak yang ia pegang. Keanehan mulai dia rasakan ketika tenaga dalamnya mulai menyebar.
"Uhuk!"
Seteguk darah berwarna kehitaman menyembur dari mulut Jaya Rana. Ekspresi pemuda itu memburuk seiring dengan luka di perutnya yang terasa seperti terbakar.
"Semakin kau mengeluarkan kekuatanmu, maka semakin cepat pula kamu mati."
Deg!
Jaya Rana melirik darah yang keluar dari lukanya-hitam pekat.
'Racun. Kenapa aku baru merasakannya?'
Seolah dapat mendengar kata hati pemuds itu, Kebo Iwo kembali tertawa. "Tentu saja karena dari tadi kau hanya mengandalkan tenaga luar, sehingga racun itu tidak bereaksi."
Orang-orang yang ikut dalam pengejaran Jaya Rana kini berdatangan. Jumlahnya begitu banyak hingga pemuda itu tidak bisa menghitung seluruhnya. Dia mengedarkan pandangannya, menatap orang yang sudah mengejarnya selama berhari-hari.
"Jika aku harus mati hari ini, setidaknya aku akan mengajak kalian bersamaku." Jaya Rana penuh keyakinan.
Ular gila!
Dengan kekuatan penuh, Jaya Rana mengarahkan ujung tombaknya ke dada Kebo Iwo dan melesat harus menusuknya. Tenaga dalamnya yang tertahan membuat serangan yang dia lakukan menjadi lebih kaku.
Senyuman tipis terpampang di wajah Kebo Iwo. Selanjutnya, dia menjejakkan kaki ke tanah, menciptakan retakan kecil dan melontarkan tubuhnya ke atas. Pria tersebut bermanuver yang membuat kakinya kini berada di atas seperti burung elang yang menyambar mangsa di daratan.
Tangan kirinyabmengepal di di depan dada sedangkan tangan kanannya lurus ke bawah dengan telapak tangan terbuka.
"Tapak darah!"
Duar!
Melihat serangan Kebo Iwo, Jaya Rana kemudisn bersiap. Dia merubah gerakannya dari menyerang menjadi bertahan. Menggunakan badan tombak miliknya, Jaya Rana menahan serangan itu.
Duar!
Dalam satu serangan, Kebo Iwo mengirim lawannya terbang belasan tombak ke belakang, sementara tanah di bawah Jaya Rana berpijak kini menjadi retak seperti terhantam meteor.
Pemuda itu semakin pucat, bibirnya mulai berubah warna menjadi ungu. Racun di tubuhnya semakin menggila.
Jika aku harus mati hari ini, aku tidak boleh mati dengan mudah.
Jaya Rana berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Meski seluruh tubuhnya kini terasa seperti dibakar dari dalam, tetapi pemuda itu sudah bertekad menyelesaikan semua ini. Dia memasang kuda-kuda dengan tangan kanan yang masih memegang tombak.
Dia berlari seraya memutar tombaknya di atas kepala. Ketika jarak antara dirinya dan Kebo Iwo hanya tersisa satu tombak lagi, Jaya Rana memutar tubuhnya dan menghantamkan tombaknya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Duar!
Sosok pria dengan jubah merah dikirim terbang sejauh belasan tombak ke belakang.
Kebo Iwo tak menyangka jika pemuda di hadapannya nekad menggunakan tenaga dalam. Jika saja dirinya waspada, pasti dia tidak akan terpental seperti saat ini akibat ledakan yang ditimbulkan oleh serangan tersebut.
"Bocah sialan!"
Tak cukup sampai di situ, Jaya Rana kembali memangkas jarak dengan Kebo Iwo.
"Mau apa kau bocah?" teriak Kebo Iwo yang panik.
"Mati kau tua bangka!"
Duar!
Tanah tempat Kebo Iwo berpijak kembali retak. Dia melompat ke belakang, menciptakan jarak aman bagi dirinya.
Melihat lawannya mundur, Jaya Rana menghentakkan kakinya dan melompat ke atas. Tubuhnya meliuk-liuk di udara serta tombaknya berputar ke kiri dan kanan.
Sebuah ular berwarna hitam muncul akibat hawa tenaga dalam yang dikeluarkan oleh Jaya Rana. Semakin lama ular itu semakin besar hingga mampu mengitari tubuh Jaya Rana sepenuhnya.
Mengetahui jika bentuk ular bayangannya sudah sempurna, Jaya Rana tidak hanya memutarkan tubuhnya, namun juga melentingkannya hingga posisi tubuhnya miring.
"Nagini!"
Jaya Rana mengayunkan tombaknya, ular hitam yang mengitarinya langsung melesat ke bawah. Kebo Iwo mengeluarkan sebuah jurus untuk mengahdang naga hitam Jaya Rana.
"Tapak Darah!"
Swoosh!
Hawa tenaga dalam berwarna merah melesat cepat ke tubuh ular hitam itu. Seperti memiliki pikiran sendiri, naga hitam menghindar dan terus menyambar Kebo Iwo.
Duar!
Duar!
"Argh..."
Belasan orang pihak Tangan Setan yang sedari tadi hanya menonton, tak menyadari jika Jaya Rana mengincar mereka. Saat jarak antara Kebo Iwo dan ular hitam hanya beberapa langkah, ular hitam itu melewati Kebo Iwo begitu saja dan menyambar belasan orang lainnya.
Sementara Jaya Rana kini bersimpuh di atas pasir dengan tombak sebagai tumpuan. Tapak darah milik Kebo Iwo nyatanya sukses menghantam tubuhnya, membuat luka Jaya Rana semakin parah. Jika saja tombak itu terlepas dari tangan sudah di pastikan jika tubuh Jaya Rana akan ambruk saat itu juga.
"Pemuda yang bodoh. Merelakan seekor gajah besar demi sekumpulan anak kambing."
"Hemph ... aku lebih suka menyantap anak kambing daripada daging gajah yang alot."
Uhuk!
Darah tak hanya keluar dari mulut, tapi juga hidung, mata dan telinga Jaya Rana. Saat Kebo Iwo merasa jika ini adalah saat yang tepat untuk menghabisi nyawa pemuda itu, pria itu merasakan hawa panas menyambar dari arah belakang.
Duar!
Hujan darah serta serpihan daging terjadi sesaat setelah ledakan itu terjadi.
"Gu-guru..."