Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
JAKA ASMARA - PENDEKAR PETUALANG CINTA

JAKA ASMARA - PENDEKAR PETUALANG CINTA

Arjunandar | Bersambung
Jumlah kata
67.7K
Popular
673
Subscribe
47
Novel / JAKA ASMARA - PENDEKAR PETUALANG CINTA
JAKA ASMARA - PENDEKAR PETUALANG CINTA

JAKA ASMARA - PENDEKAR PETUALANG CINTA

Arjunandar| Bersambung
Jumlah Kata
67.7K
Popular
673
Subscribe
47
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurPendekarPertualanganHarem
Jaka Asmara hanya sebuah julukan. Seorang pendekar muda nan tampan memikat hati setiap wanita. Banyak wanita yang jatuh ke dalam pelukannya. Dari gadis, janda, bahkan yang sudah bersuami. Tidak ada yang tahu identitas aslinya. Siapa dia sebenarnya? Sampai satu kasus yang menyeretnya berhadapan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, memaksanya membuka jatidirinya. Siapakah Jaka Asmara yang sesungguhnya?
Bab 001

Di atas sebuah bukit yang menjulang tinggi di tengah hutan lebat kerajaan Galuh, langit mulai menghitam. Awan mendung bergelung di atas sana, menyembunyikan bulan dan bintang.

Hanya redup cahaya senja yang tersisa, menerangi dua sosok wanita muda yang berdiri saling berhadapan.

Di sebelah kiri adalah Kemala, murid perguruan Mawar Putih. Usianya baru enam belas tahun, tapi matanya memancarkan semangat dan kemarahan yang tidak biasa pada gadis seusianya.

Rambutnya dikuncir tinggi, dengan untaian bunga melati kecil yang menempel di sela-sela rambut hitamnya.

Di tangan kanannya tergenggam pedang pendek tipis dari baja putih, logam yang konon hanya dimiliki oleh keluarga besar Nyai Sita Weni guru tunggalnya.

Di seberangnya berdiri Selasih, juga berusia enam belas tahun, murid Ki Pandu Sura dari perguruan Lembayung Jingga.

Tubuhnya lebih tegap, otot-ototnya terbentuk sempurna akibat latihan keras di lereng gunung selama bertahun-tahun.

Ikat kepala merah melilit kepalanya, dan di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat besi pendek yang tampak biasa, namun memiliki inti batu api dari perut bumi.

Keduanya adalah sahabat sejak kecil. Tapi hari ini, mereka adalah musuh. Pertarungan mereka tak hanya soal harga diri atau perguruan.

Ini adalah pertarungan demi cinta seorang pemuda tampan bernama Jaka Asmara, yang kabarnya akan dipilih sebagai suami oleh salah satu dari mereka.

Hawa sakti dari keduanya sudah terasa memenuhi udara di sekitar mereka. Puncak bukit yang sejuk berubah jadi terik.

Sayangnya, Jaka Asmara tidak ada di tempat itu.

Angin bertiup kencang. Daun-daun kering beterbangan, menciptakan tirai alami di antara kedua pendekar.

Tak ada kata-kata lagi. Hanya tatapan tajam dan napas yang mulai menggelegar.

"Kuntum Mekar!" teriak Kemala, menggerakkan pedangnya dalam lingkaran sempurna. Dari ujung pedangnya melesat puluhan bayangan kelopak mawar berkilauan.

Werrr!

Kelopak-kelopak itu berubah menjadi serangan cepat, mengiris udara dengan suara 'ciuut ciuut', seperti panah kecil yang dilepaskan secara bersamaan.

Tapi Selasih sudah siap.

"Awan Menyulam Langit!"

Gadis ini menghentakkan tongkatnya ke tanah, lalu mengangkat kedua tangannya ke udara

Wush!

Seketika, angin berputar di sekeliling tubuhnya, membentuk selubung awan tipis yang menyerap serangan Kuntum Mekar.

Byarr!

Kelopak-kelopak itu buyar dalam dentuman kecil, meninggalkan aroma manis yang menusuk hidung.

Kemala mengerat-kerat udara dengan pedangnya, "Kau masih percaya diri?"

"Aku selalu percaya diri," jawab Selasih tenang, lalu maju.

"TAPAK LEMBAYUNG!"

Depp! Depp!

Langkah kaki Selasih menggelegar. Setiap tapaknya menciptakan retakan di tanah, membuat getaran yang bisa dirasakan sampai jarak beberapa meter.

Murid Ki Pandu Sura ini menyerang dengan gerakan lurus dan kuat, menggunakan tongkatnya untuk menyerang titik vital di dada Kemala.

Tapi Kemala gesit. Ia menangkis dengan pedang, lalu membalas dengan tendangan rendah.

"Dengan jurusmu yang lambat, kau tak akan pernah menyentuhku." sesumbar murid Nyai Sita Weni itu.

Semua murid perguruan Mawar Putih pimpinan Nyai Sita Weni adalah perempuan.

"Tapi cukup untuk melumpuhkanmu." balas Selasih.

Sedangkan perguruan Lembayung Jingga yang dipimpin Ki Pandu Sura memiliki murid laki-laki dan perempuan.

Kedua gadis cantik bertukar pukulan dan tendangan. Serangan-serangan mereka begitu cepat hingga sulit diikuti mata biasa.

Pedang Kemala berkilauan, menciptakan bayangan mawar yang mempesona. Tongkat Selasih menggelegar, menciptakan dentuman-dentuman yang menggema bagai guntur di malam sunyi.

"Kenapa kau tak mundur saja? Kau tahu aku lebih hebat darimu!" desis Kemala, napasnya mulai tersengal-sengal.

"Aku tahu kau marah karena Jaka memilihku dulu..." jawab Selasih, wajahnya tetap dingin. "Tapi kau tak perlu membunuhku untuk merebutnya."

Kemala tertawa hambar. "Aku tak ingin membunuhmu... hanya ingin kau tahu rasanya kalah dariku."

"Kau pikir aku belum tahu? Aku tahu kau selalu kalah dalam setiap ujian perguruan. Dan kau pikir dengan menantangku di sini, kau bisa mengubah nasib?"

Kemala diam. Matanya berkaca-kaca. "Begitu mudahnya kau meremehkanku... padahal aku punya jurus terakhir."

Wajah Selasih sedikit berubah.

"Kau tidak akan bisa menghindarinya kali ini..."

Dan tiba-tiba, udara di sekitar Kemala berubah. Sebuah aroma manis menyengat mulai menyebar. Bukan sekadar bau mawar, bau itu seperti racun halus yang membuat kepala terasa ringan.

"Tarian Kelopak Mawar!!"

Kemala mulai menari. Gerakannya indah, lincah, memukau. Namun setiap gerakan menghasilkan ledakan kecil dari ujung pedangnya.

Ribuan kelopak mawar terbang ke segala arah, menusuk dan melingkari Selasih.

"MAWAR SERIBU RACUN!!"

Kelopak-kelopak itu bukan biasa. Saat menyentuh kulit, mereka melepaskan racun halus yang bisa membuat syaraf lumpuh.

Selasih mencoba menghindar, tapi racun itu sudah menyentuh lengannya. Nyeri menusuk. Tangannya mati rasa.

"Kau... menggunakan jurus rahasia perguruan?" desis Selasih, terkejut.

"Aku rela apa saja untuk Jaka..."

Kemala melompat tinggi, pedangnya bersinar dalam remang senja.

"Kali ini... AKU MENANG!!"

Namun sebelum ia menurunkan pedangnya, sebuah suara menggelegar memecah kesunyian.

"BERHENTI!!!"

Dari balik pepohonan, muncul seorang pemuda. Tinggi, tegap, dengan baju biru tua dan ikat kepala kuning emas. Wajahnya tampan, matanya teduh, tapi kini penuh amarah.

"Jaka..." bisik Kemala, terkejut.

"Kalian... benar-benar bodoh."

Kemala dan Selasih terdiam. Keduanya menatap Jaka, yang berjalan pelan ke tengah arena.

"Aku bahkan belum memberikan jawaban apapun... tapi kalian sudah saling bunuh di sini?"

Kemala menunduk. Air matanya jatuh.

"Maaf... kami hanya... kami hanya tak ingin kehilanganmu."

Jaka menghela napas panjang. "Cinta bukanlah medan perang. Cinta adalah pengorbanan. Dan kalian... kalian telah mengkhianati arti persahabatan demi sebuah janji yang belum tentu nyata."

Selasih menatap tanah. Racun itu mulai bekerja, membuat tubuhnya gemetar.

"Kemala... kau menggunakan jurus terlarang. Kau tahu itu bisa membunuhku."

Kemala menangis. "Aku... aku hanya takut kehilanganmu. Aku takut kau memilihnya... aku takut semua usahaku sia-sia."

Jaka mendekat. Ia menatap keduanya.

"Aku akan pergi. Aku sedang mencari sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Aku tak bisa memilih salah satu dari kalian saat hatiku masih kosong."

Kemala dan Selasih menatap Jaka, tak percaya.

"Jadi... kau tak mencintai kami?"

"Aku mencintai kalian sebagai teman. Tapi aku tak bisa menjadi penyebab permusuhan di antara kalian."

Perlahan, Jaka berjalan pergi. Langkahnya mantap, meski hatinya pilu.

Kemala dan Selasih berdiri di bukit itu. Udara malam mulai turun. Dingin. Sepi.

Racun dari jurus Mawar Seribu Racun mulai memudar. Selasih membersihkan luka di lengannya.

"Kau tahu... kita hampir saja membunuh satu sama lain," katanya pelan.

Kemala mengangguk. "Aku menyesal."

"Kita sama-sama bodoh."

Keduanya saling pandang. Lalu tersenyum kecil.

"Mungkin... kita bisa mulai lagi. Sebagai teman."

Kemala mengulurkan tangan.

Selasih menyambutnya.

Di langit, bulan mulai muncul. Cahayanya menerangi bukit itu, mengiringi rekonsiliasi dua jiwa yang sempat terluka oleh cinta.

Ketika keduanya memandangi kepergian Jaka, tiba-tiba mereka menyadari sesuatu yang mengubah jalan pikirannya.

Mereka saling pandang dengan tatapan aneh.

***

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca