Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pemburu Kekayaan

Pemburu Kekayaan

Aspasya | Bersambung
Jumlah kata
186.5K
Popular
476
Subscribe
108
Novel / Pemburu Kekayaan
Pemburu Kekayaan

Pemburu Kekayaan

Aspasya| Bersambung
Jumlah Kata
186.5K
Popular
476
Subscribe
108
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifePertualanganUrbanKarya Kompetisi
Bryce Hennessy, si Cinderella Boy, selalu bercita-cita menikahi wanita kaya agar bisa hidup nyaman tanpa harus bekerja keras. Teman-teman dan saudaranya sering mengejek mimpinya, tapi Bry yakin suatu hari nanti ia akan menemukan ‘tiket emasnya’. Ethan Abshinthe, si Cinderella Man, menjalani kehidupan yang jauh dari dongeng bahagia. Tekanan dari ibu dan saudara-saudara tirinya membuatnya seperti orang asing di rumah sendiri, sementara ayah kandungnya nyaris tak menganggapnya ada. Lalu, bagaimana jika dua Cinderella ini bertemu? Apakah mereka akan menulis ulang kisah dongeng klasik dengan cara mereka sendiri? Atau justru bersatu dalam satu tim untuk menaklukkan dunia dan berburu kekayaan dengan cara yang tak terduga?
Hari Sial

Matahari musim panas menggantung tinggi di langit Bourbon City, menyinari taman kota yang dipadati pengunjung. Suara anak-anak berlarian, derai tawa pasangan yang menikmati waktu bersama, serta alunan musik dari seorang musisi jalanan berpadu dengan desir angin yang sesekali menerpa dedaunan.

Di salah satu sudut taman, di dekat jalur pejalan kaki yang cukup luas, seorang pemuda tengah memamerkan kepiawaiannya bermain skateboard. Tubuhnya yang tinggi dan atletis bergerak lincah, dengan keseimbangan sempurna di atas papan skateboard-nya. Ia meluncur, melompat, lalu mendarat dengan mulus, seolah-olah hukum gravitasi tidak berlaku baginya.

"Wow! Hebat sekali!" seru seorang anak laki-laki yang duduk di bangku taman bersama ibunya.

"Benar! Lihat cara dia melompat tadi! Keren!" sahut seorang remaja yang sedang menikmati bubble tea.

Pemuda itu—Bryce Hennessy—terbiasa menjadi pusat perhatian. Dengan wajah tampan dan senyum percaya diri, ia merasa seperti seorang bintang di panggungnya sendiri. Sebenarnya, impiannya bukan sekadar menjadi peselancar jalanan. Lebih dari itu—menjadi pria yang bisa hidup mewah tanpa harus bersusah payah. Kalau saja ia bisa menemukan wanita kaya yang bersedia membawanya ke dalam kehidupan bak dongeng, tentu itu akan jauh lebih mudah dibandingkan harus bekerja keras.

Setelah beberapa trik dan atraksi yang memukau, Bryce merasakan tenggorokannya mulai kering akibat cuaca panas. Ia meluncur dengan papan skateboard-nya di sepanjang jalan setapak taman dan memutuskan untuk membeli segelas es kopi.

Namun, tepat saat ia meluncur menuju kedai kopi di seberang taman, sebuah benturan keras menghantam tubuhnya. Dalam sekejap, keseimbangannya hilang. Ia terjatuh, dan sesuatu yang dingin serta lengket tumpah membasahi kaus putihnya.

"Aduh!" Bryce mengerang kesal. Pantatnya terasa sakit dan kausnya kini ternoda dengan noda kecokelatan.

"Maafkan saya," ujar seorang pria dengan tenang tetapi sopan.

Bryce mendongak dan melihat seorang pria yang mengenakan setelan kasual tetapi memancarkan kesan berkelas. Kaus polo berkualitas tinggi, celana panjang yang pas, serta jam tangan yang tampak jelas bukan barang murahan.

Lalu, seorang wanita dengan rambut merah muda yang diikat kuncir kuda segera melangkah maju. Gaunnya berpotongan rapi dan memberi kesan santai. Dia cantik dan dewasa, tetapi ekspresi tidak bersahabatnya menghilangkan kesan ramah.

"Ethan, kau baik-baik saja?" tanyanya kepada pria tadi, tanpa sedikit pun melirik Bryce.

"Hei, hei, hei! Bagaimana dengan aku?" protes Bryce. "Dia menumpahkan kopi ke kausku, setidaknya ada permintaan maaf yang lebih tulus!"

"Itu salahmu sendiri!" balas wanita berambut merah muda itu tajam. "Siapa suruh bermain skateboard sembarangan?"

Bryce melotot. "Sembarangan? Aku sudah memperhatikan jalanku! Justru dia yang tidak melihat ke depan!" Bryce menunjuk pria di depannya dengan jari telunjuknya.

Pria yang ditunjuk Bryce menghela napas, tampak sedikit lelah dengan perdebatan yang mulai memanas.

"Baiklah," kata Bryce, menatap langsung ke Ethan. "Aku cuma minta ganti rugi. T-shirt ini mahal."

Lulu—wanita cantik berambut merah muda—mendengus. "T-shirt seperti itu? Paling-paling cuma seratus yuan."

"Itu tetap uang," balas Bryce cepat.

Ethan akhirnya tersenyum tipis. "Baiklah, mari kita bicarakan di kafe. Aku akan mengganti rugi kausmu."

Bryce mengangkat bahu. "Oke, setidaknya aku dapat es kopi gratis."

Mereka bertiga pun berjalan menuju sebuah kafe terdekat.

Setelah mereka duduk, Ethan dengan santai memesan tiga gelas es kopi. Lulu masih sesekali melirik Bryce dengan tatapan tajam. Sementara Bryce dengan percaya diri bersandar di kursinya, menikmati pendingin ruangan yang menyelamatkannya dari panas terik di luar.

"Aku masih tidak setuju kalau ini sepenuhnya kesalahan Ethan," ujar Lulu sambil melirik Bryce.

"Dan aku tidak terima kalau ini salahku," balas Bryce dengan santai. "Kalau saja Ethan lihat jalan dengan benar, aku tidak akan jatuh seperti tadi. Pantatku sakit," keluhnya di akhir ucapannya.

Lulu mendengus. "Seharusnya kau lebih hati-hati. Bermain skateboard di jalur umum seperti itu bisa membahayakan orang lain!"

"Kau berbicara seolah-olah aku ini ancaman publik!" Bryce setengah berteriak membalas ucapan wanita berambut merah muda itu. Entah kenapa ia teringat pada sepupunya, Emily yang juga mewarnai rambutnya dengan warna yang mencolok dan juga cerewet seperti wanita yang tengah menatapnya dengan sengit.

"Ya, karena memang begitu!" Wanita itu berkata dengan santai tanpa beban seraya mengangkat bahunya acuh tak acuh.

Ethan mengangkat tangan, menghentikan perdebatan mereka. "Baiklah, sebelum ini semakin panjang, mari kita sepakati satu hal—kita semua punya andil dalam insiden ini."

Bryce mengerutkan dahi. "Tunggu, maksudmu?"

Ethan tersenyum kecil. "Aku mungkin kurang memperhatikan jalan. Kau mungkin terlalu fokus pada skateboard-mu, dan Lulu mungkin terlalu cepat menyalahkan orang lain."

Lulu melotot. "Ethan!" Sedangkan Bryce cuma tersenyum kecut. Ucapan Ethan mungkin ada benarnya.

Ethan tertawa pelan, tetapi sebelum ia bisa melanjutkan, ponselnya berbunyi. Ia melihat layar sebentar sebelum menghela napas.

"Aku harus pergi," katanya sambil berdiri.

Bryce menatapnya curiga. "Tunggu, aku belum dapat uang ganti rugi!"

Ethan mengeluarkan kartu namanya dan meletakkannya di atas meja. "Datang saja ke kantorku, kita bisa membicarakan ini lebih lanjut."

Lulu mengikuti Ethan keluar, tetapi sebelum pergi, ia sempat menatap Bryce dengan penuh kemenangan. Bryce cuma bisa mendengus kesal.

Saat pelayan datang membawa tiga gelas es kopi, Bryce menyadari sesuatu. Ethan yang pesan, Ethan yang harusnya bayar… tapi Ethan sudah pergi.

Bryce menghela napas panjang, menyadari bahwa hari ini benar-benar bukan harinya. Pantatnya sakit karena jatuh, T-shirtnya rusak, dan sekarang ia harus membayar kopi yang harusnya ditraktir Ethan.

Bryce memandangi kartu nama Ethan dengan tatapan tajam. Ia mengusap noda kopi di kausnya yang kini sudah mulai mengering, dan rasa kesal kembali menyeruak. Bagi Bryce, insiden ini bukan sekadar kecelakaan kecil. Ini adalah sebuah "hutang" yang harus dibayar.

Ia membaca ulang nama dan jabatan yang tertera di kartu nama itu. Ethan Abshinthe, CEO Red Lantern Explorer. Sebuah nama yang terdengar bergengsi. Namun baginya, itu hanyalah nama seorang "debitur" yang kini berhutang padanya.

"Baiklah, Tuan Ethan Abshinthe," gumam Bryce dengan senyum tipis yang licik. "Kau mungkin sudah melupakan 'hutang'mu, tapi aku tidak akan pernah melupakannya."

Ia memasukkan kartu nama itu ke dalam sakunya, dengan pikiran yang sudah dipenuhi rencana bagaimana ia akan menagih "hutang" tersebut. Ia bahkan membayangkan akan menghitung bunga keterlambatan, mengingat betapa ia sangat menghargai setiap lembar uang.

Rasa penasaran tentang siapa Ethan Abshinthe sebenarnya tetap ada, tetapi kini tertutup oleh keinginan kuatnya untuk mendapatkan apa yang ia anggap sebagai haknya. Ia akan datang ke kantor mewah Ethan, bukan hanya untuk meminta ganti rugi, tetapi untuk menagih "hutang" dengan perhitungan yang detail.

Bryce menghela napas panjang, membayangkan betapa menguntungkannya jika "hutang" itu bisa berbunga.

Dengan tatapan mata yang kini lebih berbinar, penuh perhitungan, Bryce bergumam pelan, "Kita lihat saja, Tuan Abshinthe. Aku akan memastikan 'hutang' ini terbayar lunas, bahkan mungkin dengan bunga."

Ia melangkah meninggalkan kafe, dengan senyum penuh keyakinan di bibirnya. Pertemuan dengan Ethan Abshinthe kini bukan hanya tentang ganti rugi, tetapi tentang potensi keuntungan finansial yang menarik baginya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca