*PLAKK!!*
Tamparan keras menghantam pipi Soo, membangunkannya dari tidur lelapnya. Kepala pemuda itu tersentak ke samping, rasa perih segera menjalar di wajahnya, tapi yang ia lakukan hanya menyeringai tipis.
"Bangun, brengsek," suara berat itu menggema di kamar yang masih dipenuhi aroma tembakau dan alkohol semalam.
Tangan lelaki itupun seketika menarik rambut Soo memaksanya terbangun.
Kim berdiri di tepi ranjang, mata tajamnya menatap Soo dengan dingin. Lelaki paruh baya itu mengenakan jas hitam rapi seperti biasanya, wibawa dinginnya menusuk siapa pun yang berhadapan dengannya.
Soo tidak langsung merespons. Dengan santai, ia meraih rokok yang terselip di asbak di meja samping tempat tidur, lalu menyalakannya tanpa menghiraukan pria yang berdiri di hadapannya.
Di sampingnya, seorang gadis tanpa pakaian mulai tersadar, wajahnya seketika pucat saat melihat Kim menatapnya tajam.
"Keluar," perintah Kim singkat.
Tanpa berani membantah, gadis itu segera meraih pakaiannya, mengenakannya dengan tangan gemetar sebelum melesat keluar dari kamar. Langkahnya terburu-buru, hampir tersandung saat melewati Park, anak buah Kim yang hanya bisa menunduk tanpa ekspresi.
Soo menghembuskan asap rokoknya dengan malas, matanya menatap ayah angkatnya dengan sinis.
"Kau selalu suka mengganggu waktu tidurku, Ayah. Apa aku melakukan kesalahan lagi kali ini?"
Kim tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangannya sedikit, sebuah isyarat yang cukup bagi dua anak buahnya untuk bergerak.
Soo sudah menduganya.
Dua pria berjas hitam langsung mendekat, bersiap menyeretnya dari tempat tidur. Namun, sebelum mereka sempat menyentuhnya, Soo bergerak lebih cepat. Dengan satu gerakan cepat, ia menjatuhkan pria pertama dengan tendangan di perut dan mendorong yang satunya hingga menabrak meja.
Park yang menyaksikan hanya bisa menelan ludah, sementara Kim tetap berdiri tanpa ekspresi.
"Aku bisa berjalan sendiri," ujar Soo dingin sambil bangkit berdiri.
Ia meraih kemeja yang tergeletak di lantai, mengenakannya sembari berjalan keluar kamar tanpa rasa takut.
"Kau mau membawaku kemana kali ini?" tanya Soo dingin.
Langkahnya membawa mereka ke halaman belakang, di mana sebuah kolam renang beriak tenang di bawah sinar matahari pagi. Soo berhenti di tepi, menatap permukaan air itu dengan ekspresi datar.
"Latihan apa kali ini?" tanyanya dengan nada bosan.
Kim memberi isyarat. Salah satu anak buahnya menyerahkan seutas tali.
Soo mengangkat alis, sedikit mendengus.
"Apa ayah sedang bercanda?" katanya sedikit menoleh.
"Ketakutan yang tidak kau lawan akan selalu membelenggumu," suara Kim terdengar pelan namun menusuk.
Park, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah.
"Tuan Kim, tapi Soo… dia punya trauma dengan tenggelam."
Kim tetap tidak bergeming.
"Ikat dia."
Dua pria berjas hitam segera bergerak. Soo tahu ia bisa melawan, tapi ia juga tahu bahwa melawan hanya akan membuat hukuman ini lebih buruk. Dengan rahang mengatup, ia membiarkan kedua tangannya diikat ke belakang.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak takut mati, tapi air... air selalu menjadi kelemahan terbesarnya.
Kim menatapnya dengan puas.
"Sudah saatnya kau melawan kelemahanmu."
Sebelum Soo bisa berkata apa pun, tubuhnya didorong keras ke dalam air.
*BYUURRR!!!*
Air dingin langsung menelannya, membuat napasnya tertahan. Gelombang ketakutan menyergapnya, mengoyak seluruh pertahanannya. Bayangan masa kecilnya menyeruak dalam ingatan—saat pertama kali ia dilempar ke dalam air, saat ia hanya seorang bocah kecil yang ketakutan dan tak berdaya.
Namun, kali ini berbeda.
Ia bukan anak kecil lagi.
Matanya terbuka di dalam air yang gelap. Dengan sisa tenaga, ia meronta, mencoba menarik pergelangan tangannya yang terikat. Paru-parunya mulai menjerit meminta udara, tubuhnya semakin lemah.
Namun, Soo tidak akan mati begitu saja.
Dengan kekuatan terakhirnya, ia memutar tubuh dan menarik keras tali yang membelenggunya. Otot-ototnya menegang, jari-jarinya bergerak liar mencari celah. Hingga akhirnya—
Tali itu lepas.
Soo langsung berenang ke atas dengan sekuat tenaga, dan begitu wajahnya menembus permukaan air, ia menghirup udara dalam-dalam, terengah-engah. Tangannya mencengkeram tepi kolam, tubuhnya gemetar, tetapi matanya bersinar penuh kemarahan.
Dari atas, Kim menatapnya tanpa ekspresi.
"Bagus. Aku tidak akan membiarkanmu tumbuh menjadi orang lemah."
Soo mendongak, menatap pria yang selama ini membentuknya dengan kejam.
Dan untuk pertama kalinya, amarah itu benar-benar terasa nyata di dalam dirinya.
Hari ini, mungkin ia masih patuh.
Tapi suatu hari nanti, ia akan membalas semua ini.
***
Di tepi kolam, Park menyaksikan semuanya dengan cemas. Namun begitu melihat Soo muncul, ekspresi khawatirnya sedikit mereda. Dengan sigap, ia bergegas mendekat dan mengulurkan tangan untuk menarik Soo keluar.
"Soo..." suara Park penuh kelegaan, namun masih mengandung kecemasan.
"Akhirnya kau melakukannya..." lanjutnya pelan.
Soo tidak langsung merespons. Napasnya masih berat, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan dinginnya air. Pandangannya kosong, menatap permukaan kolam yang bergelombang seolah masih mendengar suara ketakutannya di dalam sana.
"Dengar baik-baik," suara berat Kim memecah keheningan.
Nadanya tetap dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan empati.
"Bagus. Aku tidak akan membiarkanmu tumbuh menjadi orang yang lemah. Ketika kau kehilangan kendali, akulah yang akan menyadarkanmu. Mengerti?"
Soo mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Kim yang berdiri tegap di tepi kolam. Tatapan yang tidak berubah, selalu penuh tuntutan. Ini bukan ujian biasa—ini adalah cara Kim membentuknya. Tanpa peduli berapa kali Soo harus terjatuh, Kim selalu punya cara untuk membuatnya bangkit kembali.
Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Dadanya terasa sesak, seolah udara di sekelilingnya mendadak menipis. Tubuhnya masih menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena sisa ketakutan yang enggan hilang sepenuhnya. Suara Kim menusuk telinganya seperti pisau tajam, setiap kata terasa seperti paku yang menancap semakin dalam ke dalam dirinya.
"Bersiaplah," lanjut Kim tanpa sedikit pun melunak.
"Aku ingin kita sarapan bersama. Sudah lama kita tidak melakukannya."
Soo hanya diam, rahangnya mengeras, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Perintah Kim selalu mutlak, tidak ada ruang untuk menolak atau bernegosiasi. Tapi kali ini, amarah yang mendidih di dalam dirinya semakin sulit dikendalikan.
Kim tidak menunggu jawaban. Ia hanya berbalik dan melangkah pergi dengan santai, seolah yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang besar. Seolah Soo hanyalah bidak catur yang bisa ia gerakkan sesuka hati.
Soo menatap punggung ayah angkatnya yang menjauh, matanya penuh kebencian yang berusaha ia tekan. Perlawanan batinnya semakin kuat, meskipun akalnya terus memperingatkan bahwa melawan Kim bukanlah pilihan yang cerdas.
"Soo… ini," suara Park membuyarkan lamunannya.
Park menyodorkan handuk dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa dinginnya air itu. Betapa beratnya latihan ini bagi Soo. Soo menerima handuk itu tanpa banyak bicara, menyeka wajahnya yang basah sambil menarik napas panjang. Ia menggigil, tapi bukan hanya karena dingin.
Tanpa berkata apa-apa, Soo berdiri, melepaskan bajunya yang basah dan membiarkannya jatuh di tepi kolam. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju rumah. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti—tidak ada jalan lain selain terus maju.
Saat melewati ruang makan, matanya menangkap sosok Kim yang sudah duduk di meja, menunggunya tanpa ekspresi.
"Gantilah pakaianmu dulu," perintah Kim, suaranya tetap datar namun penuh tekanan.
Soo tidak membalas, hanya menatapnya sejenak sebelum melangkah pergi. Tapi di dalam dadanya, sesuatu membara. Sesuatu yang tidak bisa ia hentikan.
Hari ini mungkin berakhir seperti hari-hari sebelumnya, tapi Soo sadar satu hal—perlawanan itu perlahan mulai tumbuh di dalam dirinya, dan kali ini, ia tidak akan membiarkannya padam.
-----------------------------------
***"Aku terlahir untuk bertahan. Di dunia yang penuh dengan amarah dan ketakutan ini, aku akan menjadi api yang tak bisa dipadamkan."***
SOO—