Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Sang Pertama di Akhir Dunia

Sang Pertama di Akhir Dunia

Dzi_Ri | Bersambung
Jumlah kata
85.8K
Popular
149
Subscribe
69
Novel / Sang Pertama di Akhir Dunia
Sang Pertama di Akhir Dunia

Sang Pertama di Akhir Dunia

Dzi_Ri| Bersambung
Jumlah Kata
85.8K
Popular
149
Subscribe
69
Sinopsis
FantasiIsekaiMonsterDewaIblis
(UPDATE JAM 20.00) Sang pertama, Raja iblis, 01 Ruidaru. Nomor 1 dari 100 peringkat yang tersedia. Dia selamat dan menerima banyak berkah. Tetapi, dia membenci takdirnya. Tersedia satu permintaan yang akan dikabulkan dewa, Rui memilih mengulang takdirnya lagi menjadi orang biasa. Tidak ada kesombongan, tidak tenggelam dalam ambisi. Di dunia yang penuh kehancuran ini, Rui memutuskan menjadi orang baik! Meski kehilangan seluruh kekuatan dan ingatan, sanggupkah dia menghadapi rintangan dan marabahaya?
Awal Kehidupan

01 Ruidaru, Sang Pertama yang berhasil menjadi raja iblis.

01 Ruidaru, Sang Pertama yang berhasil menjadi raja iblis

Gelap dan api berkobar di mana-mana. Bisikan-bisikan itu pelan tetapi bergema dan memekakkan telinga. Tubuh Rui terbakar oleh api.

Itu adalah kehidupan Rui 1000 tahun kemudian. Saat mendapatkan peringkat sebagai Raja iblis dan tawaran bahwa permintaannya akan diwujudkan, Rui memilih mengakhiri semuanya. Dia ingin kembali memulai hidupnya sebagai orang baik!

Gunung hancur, langit runtuh, dan orang-orang mulai binasa. Di saat dia merasa di ambang kehidupan, seseorang menariknya dari alam mimpi.

“Rui, Rui. Waktunya kita berlatih!”

Remaja laki-laki yang terus memainkan tas rotannya, Wira. Dia adalah orang yang paling dekat dengan Rui.

“Latihan?”

Kepala Rui terasa hampir pecah. Mimpi itu terasa nyata. Telinganya masih terasa sakit.

“Aku sudah menguasai teknik pedang wulung lebih cepat dari kalian semua.” Rui tersenyum dengan mulut menguap.

Wira menatap temannya itu penuh kekaguman. “Kamu benar-benar keren. Aku merasa belum cukup mampu … aku ….”

“Tenang saja, Wira. Selagi ada aku, Tuan Jaya itu tidak akan macam-macam.”

Tuan Jaya, adalah Tuan mereka semua. Wali kota di kota Gawana. Kota Gawana adalah kota tanpa matahari. Siang dan malam berganti tanpa diketahui pastinya.

Belakangan ini, Tuan Jaya mengumpulkan laki-laki dari berbagai usia. Melatih mereka memegang senjata dan menjadi tak terkalahkan!

Sebagai budak di bawah naungan langsung Tuan Jaya, Rui dan Wira wajib berlatih setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah.

“Kita harus segera keluar, Rui. Aku melihat Sri menuju ke mari.”

“Stop memainkan tas rotanmu itu. Lihatlah dia semakin kusam.” Rui masih santai-santai saja.

Dia harus santai karena lolos evaluasi. Tuan Jaya menargetkan setiap seminggu sekali ada evaluasi. Siapapun yang lolos evaluasi, bisa mendapatkan hari libur!

“Apa yang kalian lakukan di sini!” Tak lama kemudian, Sri, tangan kanan Tuan Jaya datang. Rambut putih yang telah diwarnai hitam dengan sari tumbuhan, matanya melotot, dan tangannya memegang pentungan dari kayu.

“Lihat! Lihat saja apa yang akan kulakukan!” Seperti biasa, Sri melayangkan pentungan itu ke arah Rui.

Rui bergeser sedikit sambil terkekeh. “Sesuai dengan mandat Tuan Jaya, saya dan Wira libur hari ini. Kami berhasil melewati evaluasi mingguan.”

“Tidak ada libur-libur. Kalian harus tetap berlatih!” Sri kembali melayangkan pentungannya. Dengan tubuh yang hampir mencapai usia pensiun itu, tidak mampu mengalahkan stamina Rui.

Rui hanya bergeser-geser saja untuk menghindari pukulan. “Pinggangmu bisa sakit nanti, Sri,” tegurnya.

Sri memang galak dan tegas. Meskipun begitu, dialah yang mengasuh Rui selama ini. Tanpa orangtua dan tidak diketahui asal usulnya, Rui berhasil hidup sampai sekarang berkat Sri. Tak ingin membuat Sri dalam kesulitan, Rui berkata, “Kami akan segera keluar. Jika Tuan Jaya memarahimu, bilang saja karena aku bermasalah. Aku ingin berduel dengannya.”

“Kalian ini ….”

Sri mengomel dari belakang. Tetapi, tidak bisa mengejar dua remaja yang berlari penuh keceriaan itu. Dia meraba pinggangnya yang memang masih sakit.

“Aku harap bisa menemani perjalanan kalian lebih lama.” Rasa syukur melingkupi Sri. Meskipun kedua budak itu begitu nakal, tetapi keberadaan mereka membuat hidupnya lebih berwarna.

Apalagi berada di rumah wali kota. Rumah paling aman sekaligus yang paling berbahaya.

Lemak-lemak yang menghuni di perut, pipi hampir seluruh otot, dialah Tuan Jaya. Perawakannya yang pendek semakin menambah mengenaskannya penampilan itu. Begitulah kata gadis-gadis di desa. Alhasil, Tuan Wijaya hanya mendapatkan pasangan yang melihat hartanya saja.

“Beri mereka dua puluh pukulan tongkat!”

Wira bersembunyi di belakang Rui. Tanpa aba-aba, Rui mendorong Wira. “Dia mengganggu tidurku, Tuan. Seharusnya dia dipukul lebih banyak!”

Wira gelagapan. Tidak percaya Rui akan mengatakan hal itu.

“Apa!!!” Wajah seperti kepiting rebus itu hampir gosong. Tuan Jaya benar-benar murka hingga urat-uratnya terlihat. “Cepat! Beri dia 50 pukulan!”

Dua pengawal jakung itu pun mengunci kedua tangan Rui. Dua pengawal lainnya segera memukul Rui dengan tongkat.

Pukulan demi pukulan mengenai punggungnya. Rui hanya terkekeh saja. Dia menikmati pukulan ini. Apalagi setelah ini dia akan mendapatkan obat langka dari Tuan Jaya.

Selama ini, setelah mendapatkan banyak pukulan pastilah Rui mendapat obat. Tuan Jaya tentu tidak ingin kehilangan budak terbaiknya!

Obat langka itu benar-benar mujarab dan harganya amat mahal! Butuh tiga tahun dengan gaji sebagai budak untuk membelinya.

“Dasar bocah tengik! Berani-beraninya kamu bermalas-malasan di rumah wali kota.”

“Benar, Tuan. Aku bermalas-malasan karena rumahmu sangat nyaman.”

Tuan Jaya melotot. “Pukul yang kuat. Di mana tenagamu.”

Empat pengawal itu kembali disemprot Tuan Jaya. Bagaimana tidak? Sedari tadi Rui hanya senyum senyum saja. Tidak ada raut kesakitan dari wajahnya.

“Sudah pukulan ke berapa Wira?”

Wira yang ditanya Rui langsung kaget. Dia melihat jari-jarinya. Begitu terus. Berulang kali untuk memastikan hitungannya. “Sudah …. Sudah 50 pukulan, Tuan.”

“Baiklah. Enak sekali pijatan kalian!” Rui menegangkan otot-ototnya. Ya, dia menganggap pukulan-pukulan itu bagaikan pijatan. Semakin banyak kesakitan yang dilalui, semakin besar kekuatan yang akan dimiliki! Prinsip yang keren, bukan?

“Kamu …. Kamu ….”

Tuan Jaya merebut tongkat itu. Dialah orang terkuat di kota ini di jamannya. Kekuatannya bisa merobohkan satu rumah tanpa senjata!

“Tuan …. Tuan ….”

Rui mendesah kecewa. Dia ingin merasakan bagaimana kekuatan Tuan Jaya, tetapi seorang pengawal datang dengan wajah penuh kecemasan.

“Tuan … Tuan ….”

“Ada apa? Cepat katakan!”

“Ada satu lagi warga yang hilang!”

“Kalian semua. Bersiap mencari di seluruh perbatasan!” Tuan Jaya berdiri dengan gagah. Semua orang langsung bersiap dengan senjatanya masing-masing.

Rui hendak bersiap, tapi tongkat Tuan Jaya menahannya. “Hukumanmu belum selesai bocah tengik!”

“Tuan. Kita harus menemukan warga itu. Kalau tidak sumber uang Tuan akan menghilang. Aku akan menemukan mereka,” ujar Rui meyakinkan.

Membujuk Tuan Jaya hanya perlu melontarkan tentang uang, uang, dan uang.

Rui telah bergabung dengan Wira yang telah menunggu di pagar rumah. Langkah-langkah cepat, melompat dari satu atap rumah ke atap yang lain. Sampai-sampai Wira tertinggal di belakang.

Rui menyipitkan mata. Di kota tanpa matahari ini, pandangan mereka lebih terlatih. Tidak perlu cahaya atau penerangan, dari jarak dua puluh kilometer, Rui bisa melihat Wira yang masih berusaha mengejarnya.

Tak lama, Wira tiba dengan napas terputus-putus. “Tunggu … tunggu aku, Rui.”

Bersama dengan Wira, muncul gerombolan remaja seusia mereka. Itu adalah Pepen dan dua anak buahnya.

Pepen dan dua anak buahnya juga budak di rumah Tuan Jaya. Ketiganya berbadan besar, lebih besar daripada Rui. Perawakan mereka seperti penjaga di gua berlian. Garang dan jelek.

“Kalian pasti ingin mendapatkan hadiah dari Tuan Jaya. Sayangnya hadiah itu milikku!”

Pepen mengkode, satu anak buahnya langsung mengunci pergerakan Wira. Satu anak yang lain meleset dari target saat ingin menumbangkan Rui.

Rui memeletkan lidah. “Enak ya kena kotoran burung?” tanyanya dengan mata takjub. Niat hati hanya ingin bergeser, ternyata di belakangnya tadi adalah kandang burung.

Rupa anak buah Pepen itu menjadi tambah buruk dan mengeluarkan bau tidak sedap.

Dalam sekali gerakan, Rui mendorong anak buah Pepen. Dia menarik tangan Wira. Temannya itu terlihat gemetaran.

“Rui! Aku akan menghabisimu!” Otot-otot di wajah Pepen terlihat menonjol. Otot-ototnya terlihat kaku seperti batu karang.

Rui berkacak pinggang. Tidak ada ketakutan dalam wajahnya. “Ayolah kawan, sesama teman tidak boleh saling menyerang.”

Inilah janji yang telah dijunjungnya selama hidup di dunia penuh kehancuran ini: menjadi orang baik dan memberikan ganjaran pada orang jahat!

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca