Bagian 1: Warisan yang Terlupakan
> “Aku menemukan kaleng biskuit tua warisan ayahku. Isinya bukan kue, bukan surat, tapi recehan yang selama ini kupandang sebelah mata. Dan hari itu… aku berani bilang: receh inilah yang akan mengubah hidupku.”
---
Angin sore itu membawa bau tanah basah dari pekarangan, mengalir pelan lewat celah-celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Lampu kamar menggantung redup di atas kepala, memantulkan cahaya kuning lembut pada tumpukan kardus dan tas sekolah lama yang berserakan di sudut ruangan.
Aku duduk bersila di atas tikar tipis yang sudah mulai berbulu, di kamar yang dulunya adalah milik Ayah.
Setelah Ayah meninggal tiga tahun lalu, kamar ini jarang dibuka. Ibu menguncinya, katanya untuk menjaga kenangan. Tapi hari ini, atas izinku sendiri, Ibu memberiku kunci kamar Ayah. Alasannya sederhana: aku ingin mencari barang-barang lama yang mungkin bisa kujual online. Mungkin jam tangan rusak, radio tua, atau buku-buku jadul—apa saja, asal bisa menghasilkan sedikit uang.
Aku sedang mengumpulkan modal, dan tak ada yang terlalu kecil bagiku saat ini.
Tanganku menyapu permukaan lemari tua di pojok ruangan. Debunya tebal, seperti menyimpan seluruh waktu yang terhenti sejak kepergian Ayah. Dengan hati-hati, kubuka salah satu laci. Isinya penuh kertas usang, kertas rekening listrik, catatan pengeluaran, dan di bagian paling belakang...
Kaleng biskuit bundar berwarna merah, sudah mulai berkarat di tepinya.
Aku mengenali kaleng itu. Ayah dulu sering menyimpannya di bawah tempat tidur, katanya “buat nyimpen masa depan”. Dulu aku pikir itu hanya lelucon khas Ayah yang tak pernah serius kalau bicara uang.
Kupeluk kaleng itu erat. Rasanya seperti memegang secuil masa lalu yang masih utuh.
Perlahan aku membukanya.
Klink. Klink.
Isinya bukan surat warisan, bukan emas, bukan kunci rahasia menuju harta karun.
Hanya recehan.
Ratusan koin logam dari berbagai tahun dan pecahan. Ada lima ratusan, dua ratusan, seribuan, bahkan koin-koin tua yang sudah tak berlaku.
Aku hampir tertawa. Masa depan katanya? Yang benar saja, Yah.
Tapi… entah kenapa aku tidak bisa menertawakannya lama-lama. Koin-koin itu, meski nilainya kecil, memiliki sesuatu yang tak bisa dinilai uang—kenangan, ketekunan, dan niat.
Ayah tidak pernah sempat mengajarkanku tentang bisnis. Tapi mungkin, lewat kaleng ini… dia sedang mencoba.
---
Sore itu, setelah menghitung semua recehan—jumlahnya sekitar dua puluh tujuh ribu lima ratus rupiah—aku duduk termenung di teras rumah.
Angka itu kecil. Bahkan tak cukup untuk beli satu porsi ayam geprek.
Tapi mataku tak bisa lepas dari bayangan kaleng biskuit itu. Seolah aku sedang melihat lebih dari sekadar uang. Aku melihat kemungkinan. Aku melihat… awal.
“Put, kamu lagi mikirin apa?” suara Ibu menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh. Ibu datang membawa dua gelas teh manis, wajahnya lelah, tapi hangat seperti biasa.
“Recehan di kaleng Ayah,” jawabku pelan. “Kira-kira… kalau aku pakai buat jualan, bisa jadi apa, ya?”
Ibu mengerutkan dahi. “Recehan? Mau jualan pakai itu? Bisa apa, Put?”
“Aku nggak tahu… tapi aku pengen coba.”
Ibu terdiam sejenak. Ia meletakkan gelas di sebelahku, lalu menatap jauh ke ujung jalan. “Kalau Ayah masih ada, dia pasti bilang: ‘Yang penting bukan jumlahnya, tapi niatnya.’ Tapi… kamu yakin? Kamu kan masih sekolah.”
“Justru karena itu, Bu,” jawabku cepat. “Aku nggak mau nunggu lulus buat mulai berusaha.”
---
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku habiskan waktu dengan mencari ide usaha kecil-kecilan di ponsel bututku. Ku-scroll TikTok dan YouTube, kulihat anak-anak muda lain yang sudah mulai jualan dari rumah—ada yang jual stiker, keripik, bahkan jasa ketik tugas.
Kepalaku penuh. Tapi semangatku juga penuh.
Akhirnya, aku memutuskan. Besok aku akan membeli barang pertama untuk dijual—apa pun yang bisa kubeli dengan modal kecil.
Dan receh di kaleng biskuit itu akan jadi modal pertamaku.
Aku tidak tahu akan jadi apa ke depannya. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa… punya kendali atas hidupku sendiri.
---
Pagi harinya, aku berangkat ke warnet seberang sekolah. Di sana, dengan hati-hati, aku masukkan recehan ke dalam plastik kecil. Suara logam saling bertumbukan mengiringi langkahku seperti musik semangat ala orang-orang nekat.
Kupesan waktu sejam, lalu langsung membuka situs e-commerce.
Setelah satu jam membandingkan harga dan ongkos kirim, aku memesan sepuluh buah cable protector lucu—barang murah yang sering laris di kalangan anak SMA. Modalnya? Pas dengan uang recehku: Rp27.500.
Kubayar lewat minimarket dan merasa seperti pebisnis sejati untuk pertama kalinya.
---
Siang itu, aku pulang ke rumah dengan hati ringan.
Aku duduk kembali di kamar dan menulis catatan pertama di buku harian bisnisku:
> Hari pertama: Investasi recehan. Barang akan dikirim 2–3 hari. Semoga laku.
Kupandangi kaleng kosong di hadapanku.
Kaleng itu kini bukan lagi tempat menyimpan recehan… tapi tempat awal dari mimpi.
Aku tidak tahu apakah aku akan berhasil atau gagal. Tapi satu hal pasti—aku sudah memulai.
Dan itu lebih dari cukup.
---
Bagian 2 – Jualan Pertama, Luka Pertama
---
Tiga hari berlalu.
Setiap pulang sekolah, aku menatap gerbang rumah dengan degup jantung lebih cepat dari biasanya—menanti paket pertamaku. Aku bahkan sudah menyiapkan label kecil untuk pembungkusnya, hasil belajar desain lewat HP dan aplikasi gratisan.
“Putra’s Stuff,” tulisanku dengan font tebal di tengah bulatan stiker. Sederhana. Tapi bagiku itu adalah awal brand.
Hari ketiga, saat matahari baru saja naik tinggi dan suara motor paket terdengar dari depan rumah, aku langsung melonjak dari tempat duduk.
“Mas! Mas!” seruku dari depan rumah.
Kurirnya mengangguk dan menyerahkan bungkusan kecil berwarna abu-abu. Di pojoknya tertulis namaku—Putra Pradipta. Tanganku gemetar saat menerimanya.
Aku membawa paket itu ke kamar, menutup pintu pelan, lalu meletakkannya di atas meja. Kubuka dengan hati-hati, seolah itu harta karun yang tak ternilai.
Plastik dibuka.
Kotaknya muncul.
Kukeluarkan isinya…
…tapi tak ada apa-apa di dalamnya.
Kosong.
Kosong.
Kutinggalkan isinya tergeletak. Tak ada cable protector. Tak ada barang dagangan. Cuma plastik pembungkus yang ringkih, segel sobek, dan bekas lem yang tak rapi.
Dadaku tercekat. Aku ulangi membuka bungkusan itu, berharap mungkin saja barangnya tersembunyi… tapi tak ada.
Uangku—hasil recehan yang kukumpulkan dari kaleng warisan Ayah—lenyap. Begitu saja.
Aku terduduk lemas.
Tiga hari harapan.
Tiga malam lamunan.
Semua sirna dalam satu detik.
---
Setengah jam aku hanya terdiam. Genggaman tanganku masih memegang plastik pembungkus itu. Dingin. Kosong. Seperti pikiranku.
Aku tidak tahu harus marah pada siapa. Diriku sendiri? Penjual itu? Takdir?
Kupandangi foto Ayah di dinding kamar.
“Yah… aku gagal. Bahkan sebelum mulai.”
Air mata yang kutahan sejak tadi mulai menetes diam-diam. Aku berusaha menyeka cepat-cepat, tapi tak bisa menghentikannya.
Pintu kamar diketuk.
“Put, kamu nggak makan?” suara Ibu.
Aku buru-buru menyembunyikan plastik itu ke bawah meja dan berdiri. “Sebentar, Bu…”
Kulangkahkan kaki ke dapur dengan senyum palsu yang kupaksakan. Ibu menghidangkan nasi dan telur dadar—menu sederhana yang kami makan hampir setiap hari.
“Kamu kenapa? Kelihatan lesu banget,” tanya Ibu sambil duduk di hadapanku.
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa, cuma capek sekolah.”
Ibu menatapku, lama. Tapi tak bertanya lagi. Mungkin dia tahu, tapi memilih membiarkanku menyimpannya sendiri.
Malam itu, aku kembali ke kamar dan memandang kaleng biskuit yang kini benar-benar kosong. Tak hanya dari receh… tapi juga dari harapan.
---
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah dengan langkah malas. Teman-temanku bercanda, tertawa seperti biasa. Tapi aku hanya duduk di bangku pojok, membuka buku pelajaran tanpa benar-benar membaca.
“Bro, kenapa lo?” tanya Rian, teman sebangkuku.
“Nggak apa-apa,” jawabku pendek.
“Lo nggak biasa kayak gini. Cerita, deh.”
Aku menatap wajahnya. Rian adalah teman yang paling ngerti aku sejak kelas satu. Akhirnya, aku menceritakan semuanya—tentang kaleng biskuit, modal receh, dan penipuan itu.
Dia mendengarkan tanpa menyela, lalu menepuk bahuku.
“Put… lo udah jauh lebih hebat daripada yang lo pikir.”
“Hebat gimana? Gue baru mulai aja udah gagal.”
“Justru karena lo mulai, Put. Banyak orang punya ide, mimpi, tapi takut mulai. Lo punya keberanian buat ngambil langkah pertama. Itu luar biasa, bro.”
Aku terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi menghangatkan.
Rian mengeluarkan brosur kecil dari tasnya.
“Nih, sekolah kerja sama sama dinas UMKM. Minggu depan ada pelatihan bisnis gratis buat anak SMA. Lo harus ikut.”
Aku menatap brosur itu. Warna hijau pucat dengan gambar orang berdasi dan tulisan:
"Pelatihan Wirausaha Muda – Modal Kecil, Mimpi Besar."
Untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku merasa ada cahaya kecil lagi di ujung lorong gelap.
---
Malam itu aku duduk kembali di kamar, menulis di buku catatan kecilku:
> Hari keempat: Gagal. Tapi mungkin ini bukan akhir. Mungkin ini baru benar-benar awal.
Aku menatap kaleng kosong itu, dan kali ini aku tak melihat kekosongan—aku melihat ruang.
Ruang untuk tumbuh.
Ruang untuk belajar.
Ruang untuk membuktikan pada dunia bahwa anak muda juga bisa bermimpi… dan melangkah.
---
[BERSAMBUNG di Bab 2 – Warung Kecil, Mimpi Besar]