Embun pagi masih melekat di dedaunan, menciptakan kilauan seperti kristal di antara rerumputan yang tumbuh liar. Suara kokok ayam bersahut-sahutan, disusul deru mesin pompa air dari sawah seberang. Udara masih sejuk, segar, dan membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Siulan burung juga bersahutan menandai pergantian malam ke pag..
Seorang anak remaja laki laki mulai menanggalkan selimut dan mengintip dari celah kamar. Memastikan bahwa mentari belum muncul di balik bukit kecil di sebelah timur, di Desa Mulya Tani. Sebuah Desa yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang diapit Gunung Kelud di sebelah timur dan Gunung Arjuno di sebelah barat laut. Desa ini terletak di ketinggian 300-500 mdpl. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, lalu diikuti pedagang, pegawai dan wiraswasta. Juga profesi lain seperti tentara, polisi, guru dan wiraswasta. Tanah subur dan udara segar dengan air cukup, membuat desa ini selalu cocok untuk ditinggali.
Edfrans Syahputra, membuka jendela kamarnya perlahan. Pemuda berusia 18 tahun yang saat ini duduk di bangku kelas XI SMK jurusan otomotif ini sudah merapikan kamar dan buku pelajaran. Bau kayu dari dinding rumah panggung sederhana milik keluarganya menyambut pagi. Ia menghirup udara dalam-dalam, lalu tersenyum kecil,
“Pagi yang cerah,” gumamnya.
Tubuhnya masih dibalut kaos tipis dan celana pendek yang sudah agak pudar warnanya. Tapi matanya penuh semangat, tak seperti biasanya. Hari ini, sesuatu dalam dirinya terasa berbeda, seperti ada bara kecil yang mulai menyala.
Setelah membaca buku tentang Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer semalam, dia terbawa suasana. Bukan karena penokohan atau konflik yang terjadi dalam roman tersebut, melainkan sosok Nyai Ontosoroh yang berhasil kaya raya karena dunia pertanian dan peternakan di Surabaya. Edfrans melihat bahwa pertanian sudah berjasa sejak dulu dan karena pertanian yang dibalut kesuburan tanah itu menjadikan Indonesia primadona dimata dunia. Bahkan, menjadi rebutan untuk ladang jajahan Eropa.
Dari buku tersebut, Edfrans memimpikan negara Indonesia kaya dan makmur dari dunia pertanian. Sejajar dengan negara lain dan mampu berdikari dibidang pangan. Buku tersebut memantik bara yang kini tertancap kuat di dadanya.
Edfrans melangkahkan kaki ke dapur, di mana ibunya, Bu Wiwit Sanjaya Syahputra, sedang menanak nasi sambil sesekali meniup bara tungku. Di sudut lain, ayahnya, Supardi Jadi Syahputra, sibuk memeriksa parang tua dan sabit yang akan dibawa ke kebun juragannya. Iya, keluarga Edfrans adalah petani lebih tepatnya buruh tani. Buruh tani tanaman pangan dan semua yang bisa dikerjakan. Kini, ayahnya pegawai toko sembako milik keturunan Tionghoa di desanya. Rencananya, siang nanti ayahnya diminta kerja menebang pisang yang sudah tua milik Pak Kokok, juragan nya.
“Bangun pagi sekali, nak, sholat subuh dulu” sapa ibunya tanpa menoleh.
“Iya bu, sudah sholat. Nggak bisa tidur lagi,” jawab Edfrans sambil mengambil segelas air dari teko loreng. Teko peninggalan neneknya sudah berumur lebih tua dari Edfrans.
“Bagus. setelah subuh jangan tidur lagi.”Tambah ibunya.
Ayahnya hanya mengangguk tipis. Ia memang bukan pria yang banyak cakap kata, tapi dari sikapnya, Edfrans tahu sang ayah menghargai kebiasaannya bangun pagi.
Tak lama kemudian mereka duduk di atas tikar rotan usang, menikmati sarapan sederhana: nasi, tempe goreng, dan sambal terasi buatan ibu. Bergantian ibunya mengambilkan nasi dan lauk. Edfrans memimpin doa sebelum mereka makan bersama. Keluarga kecil itu memulai aktivitas sarapan pagi dan obrolan pun mengalir ringan di atas tikar.
“Kata ibu-ibu arisan PKK, harga cabai lagi naik, Fan,” kata ibu sambil mengunyah pelan.
“Bagus kalau begitu. Kebun kita ada cabai juga kan?” sahut Edfrans.
“Cabai kita cuma sedikit, baru ditanam seminggu lalu oleh ayahmu. Lagi pula, kamu masih mau nyoba PKL ke kota, kan?” selip ibu dengan nada setengah bercanda.
Edfrans terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Tapi di dalam hati, ia mulai ragu. Apakah benar PKL di kota adalah satu-satunya jalan? Apa tidak bisa PKL di dekat desa agar dia tetap bisa membantu keluarga? Jika harus PKL di luar kota tentu dia akan menambah beban keluarga. Harus bayar kos, transportasi dan makan sehari- hari. Kalau dekat desa tentu tidak.
Setelah makan, ia berjalan keluar rumah, menuruni jalan setapak kecil yang membelah sawah. Kaki telanjangnya menyentuh tanah lembut, dan setiap langkahnya seolah mengingatkan akan akar tempat ia tumbuh.
Dia ingat filosofi leluhur. Dimana manusia berasal dari tanah, berdiri diatas tanah, makan dan berobat dari tanah. Nanti tentu akan kembali ke tanah. Filosofi ini adalah filosofi pala pendem yang mematri dalam jiwanya.
Di depan rumah, berdiri sebidang tanah berukuran 4 m x 5 m. Tanah tersebut adalah peninggalan dari kakeknya. Disanalah dulu ayahnya menanam sayuran untuk kebutuhan sehari-hari. Kini, sebagian besar lahan itu dibiarkan kosong karena tidak cukup menguntungkan untuk dikelola.
Edfrans menatap tanah kosong itu lama. Angin semilir membuat dedaunan bergoyang pelan. Di pikirannya, ia teringat percakapan dengan Doni, sahabatnya yang sejak kecil selalu ada di sampingnya.
“Fan, kamu tahu nggak? Tanaman hias itu harganya gila-gilaan di kota. Cuma tanaman monstera kecil aja bisa dijual seratus ribu!” kata Doni beberapa hari lalu sambil menunjukkan ponsel miliknya dan memperlihatkan tanaman berbentuk daun monster menjari tersebut. Saat itu, Edfrans hanya tertawa, menganggap Doni bercanda. Tapi sekarang, pikirannya kembali ke kata-kata itu.
Dia kembali melihat tanah kosong di depan rumahnya dan mengingat percakapan dengan sahabatnya itu seolah menangkap pesan tersembunyi. Jika tanah itu ditanami sayur tidak menguntungkan, tentu ada yang salah.
Bisa jadi tanaman yang ditanam atau metode lain yang tidak tepat digunakan. Buktinya sejak dulu kakek- neneknya cukup- cukup saja memenuhi hidup dengan menggarap tanah tersebut.
"Kenapa nggak nyoba dari sini aja ya?" bisiknya.
Dia kembali teringat saat masih belum sekolah dan kakek- neneknya masih hidup mengelola tanah tersebut. Tanah tersebut selalu menjadi lahan yang subur dipenuhi tanaman sayur seperti sawi, kangkung, bayam, kacang panjang, terong, ubi, singkong dan cabai. Sayuran tersebut selalu lebih kalau hanya dimakan sekeluarga, oleh karenanya nenek biasa menjual ke tetangga sekitar dan Edfrans yang kebagian mengantar. Dari sana Edfrans sadar kalau dari halaman bisa menghasilkan.
Ia masuk kembali ke kamar dan menarik keluar sebuah buku catatan berwarna coklat. Buku itu penuh coretan lama, kebanyakan ide-ide usaha yang pernah ia pikirkan sejak SD. Ia membuka lembar baru dan menulis dengan huruf besar dan tegas:
“Tujuan: Rp 100.000.000 dari tanah sendiri. Kamu Bisa Edfrans!”
Tangannya sempat berhenti, tapi senyumnya tak luntur. Untuk pertama kalinya, tujuan itu terasa mungkin. Tidak mudah, tentu. Tapi Edfrans tahu, semua hal besar pasti dimulai dari mimpi yang dianggap kecil. Semua hal besar dimulai dari berani melawan diri sendiri.
Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. “Fan! Kamu di mana, Fan?” teriak seseorang. Itu suara Doni Widodo, tetangga sekaligus sahabatnya yang tadi dia ingat kata-katanya.
Doni berlari kecil dari jalanan tanah depan rumah sambil melambaikan tangan. “Ayo bantu aku angkat pupuk untuk kegiatan karang taruna desa. Pagi-pagi gini udah banyak kerjaan!”
Edfrans tertawa kecil, menutup buku catatannya, lalu memasukkannya ke dalam laci meja belajar. “Datang juga semangat baru,” bisiknya pada diri sendiri, sebelum berlari menyusul Doni.
Petualangan Edfrans baru saja akan dimulai. Dia sudah memutuskan,
“Don, aku mau jadi petani muda!”