Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Hierarki Berdarah: Jeruji Sekolah

Hierarki Berdarah: Jeruji Sekolah

Ash Grenadine | Bersambung
Jumlah kata
84.5K
Popular
507
Subscribe
48
Novel / Hierarki Berdarah: Jeruji Sekolah
Hierarki Berdarah: Jeruji Sekolah

Hierarki Berdarah: Jeruji Sekolah

Ash Grenadine| Bersambung
Jumlah Kata
84.5K
Popular
507
Subscribe
48
Sinopsis
PerkotaanSekolahGangsterBadboyKriminal
Mereka pikir, dia 'ternak' yang tersesat. Gana Adibrata, mantan penguasa sekolah elit, kini terdampar di sekolah buangan yang terletak di sudut kelam ibu kota. Di balik citra sekolah yang nyaris ditinggalkan pemerintah itu, tersembunyi sistem kekuasaan brutal yang menjadikannya lebih mirip arena survival dibandingkan sebuah lembaga pendidikan. Awalnya Gana hanya ingin diam dan tetap tidak terlibat. Tapi dunia kekerasan ini tidak akan membiarkan orang sepertinya tetap diam.
01. Langkah Pertama di Penjara

Tik … tok … tik … tok ….

Suara jam dinding tua di ruang kepala sekolah yang pengap itu mengisi keheningan untuk beberapa saat, menemani Gana yang dengan sabar menunggu pria paruh baya bertubuh gemuk di hadapannya selesai membolak-balikkan dokumen yang baru saja ia serahkan.

Gana duduk dengan tegap, matanya menyapu seluruh ruangan. Selain cat tembok yang hampir seluruhnya mengelupas karena lembab, ia menemukan meja kayu di hadapannya penuh goresan, serta jendela kusam di sisi kanan ruangan itu tampak dihalangi dengan jeruji besi.

Ini bukan sekolah. Ini penjara berlabel institusi pendidikan.

Di balik kaca jendela yang buram, Gana melihat halaman sekolah yang lebih mirip lahan kosong bekas proyek mangkrak. Ia lalu melirik kembali meja di hadapannya, menatap asbak penuh puntung rokok di sudut meja, rak piala penuh debu, lalu bendera merah-putih di sudut ruangan dengan warna merah yang sudah memudar menjadi pink salmon, benar-benar kehilangan aura nasionalisme-nya.

"Gana Adibrata?" Suara parau kepala sekolah membuatnya spontan menoleh, terdengar seperti ia habis merokok dua batang sekaligus.

Gana segera merespon dengan anggukan pelan.

Pria gemuk itu tampak memperbaiki posisi kacamata berbingkai tebalnya, lalu berkata, "Bapak tahu kamu pindahan dari SMA Maha Prakarsa, sekolah elit, dengan nilai yang … cukup memuaskan. Tapi di sini—" Ia menatap Gana tajam. "—kita punya aturan sendiri.

Bapak tidak bisa melindungi kamu. Kalau kamu bikin masalah, itu urusanmu.”

Gana hanya mengangguk. Ia sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu sejak kecil. ‘Tidak akan ada yang melindungimu’. ‘Kau harus bisa menghadapinya sendiri’.

“Dan ... melihat alasanmu dipindahkan, bapak hanya bisa berpesan, jangan menonjol. Atau jangan cari perhatian sama sekali." Kepala sekolah menambahkan. “Kamu bisa ke ruanganmu sekarang, 11 IPS 3 ada di ujung koridor lantai dua gedung timur.”

Gana akhirnya berdiri, membungkukkan sedikit tubuh sebagai tanda pamit, lalu berjalan keluar dari ruangan yang pengap itu.

Baru saja keluar dari ruang kepala sekolah, aroma udara yang dipenuhi asap rokok menyambutnya.

Bukan hanya itu, lorong sekolah seperti lorong rumah susun reyot—lengket, bau, dan terlalu ramai. Terdapat coretan bulpen, spidol, dan tip-ex hampir di seluruh sisi tembok, Gana bahkan tidak dapat menebak warna awal dari cat yang digunakan.

“Buangan ….” gumam Gana dengan putus asa.

Sepanjang perjalanan, mata para siswa mengawasinya. Itu bukan tatapan ramah, atau sekadar penasaran, tapi mencurigakan, mengukur, dan penuh spekulasi. Di saat itu juga, Gana menjadi sadar bahwa sekolah ini didominasi oleh para siswa. Jumlah siswi keseluruhannya mungkin hanya sekitar 20%.

“Baru, nih!” sahut salah seorang siswa yang melirik dari balik tiang.

Siswa lainnya dengan tato temporer di leher ikut menceletuk, “Anak orang kaya, paling. Lihat sepatunya ….”

Gana tidak peduli. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian sejak SMP. Walaupun ini bukan jenis perhatian yang menyenangkan, alias para siswa di sini terkesan seperti ingin segera menelannya hidup-hidup.

Para siswa kemudian mulai mencibir, ada yang tertawa sinis, dan sisanya hanya terdiam dan mengamati.

“Anak pejabat mane, lu? Rapi amat!”

“Pakai parfum segala! Banci, nih.”

Gana tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju ruang kelas yang ditunjukkan kepala sekolah padanya.

Bukannya takut, ia hanya tidak ingin memberikan perhatiannya kepada orang-orang yang tidak pantas mendapatkannya.

Kelas 11 IPS 3 terletak di ujung koridor, yang cat temboknya sudah berubah warna jadi abu kehijauan. Pintunya bahkan tidak memiliki gagang lagi, jadi Gana hanya bisa mendorongnya dengan bahu.

Saat Gana masuk, suara berisik di dalam kelas langsung berhenti. Seisi kelas kini sedang menatapnya penuh selidik.

Guru belum datang, jadi para murid saat ini sedang duduk santai. Beberapa di antaranya bermain game mobile, beberapa sedang bermain kartu di sudut belakang kelas, sisanya mengobrol dan bahkan ada yang tidur.

Gana tidak memperkenalkan diri. Ia hanya mengambil bangku kosong di deretan tengah dekat jendela, duduk, lalu melepaskan ranselnya.

"Dapet anak mami lagi kita …." bisik seorang siswa yang duduk di belakang Gana dengan nada kecewa. Meskipun begitu, Gana masih bisa mendengarnya.

"Tapi mukanya songong. Jagoan kalik, ya?" balas siswa di sebelahnya.

"Jangan ada yang gangguin. Kita belum tahu siapa backingan-nya …" sahut siswa lain yang duduk di seberang bangku mereka.

Gana tetap mengabaikan mereka dan memutuskan untuk menatap keluar jendela, melihat pemandangan berupa deretan tanaman mati yang tidak terurus.

Beberapa saat kemudian, Guru mata pelajaran pertama masuk. Seorang pria dengan kemeja lengan pendek, dasi longgar, dan wajah lesu.

Beberapa siswa langsung duduk di tempat masing-masing dengan malas, sisanya keluar-masuk ruangan seolah tak peduli.

Namun seperti sudah terbiasa akan hal itu, si Guru hanya cuek dan menatap ke arah Gana sambil membuka daftar absen.

“Gana Adibrata, ya?” ia bertanya sambil menggaruk kepala.

Gana mengangguk.

Guru itu diam sejenak, lalu berjalan mendekat ke arah meja Gana. Saat ia bicara, aroma nasi uduk tercium kuat, “Cuman mau ngingetin … saya guru sosiologi. Saya nggak ada urusan sama hal-hal yang terjadi di luar jam pelajaran kita, ya.” Lalu ia kembali ke depan kelas.

Sambil membuka buku, guru itu kembali menoleh ke arah Gana lalu mengangkat jari dan menunjuk salah satu siswi yang duduk di bangku paling depan. “Kamu bisa minta salinan materi kita bulan lalu dari Mirela, ketua kelas.”

Siswi yang ditinjuk sedikit memutar kepala untuk memperlihatkan wajahnya kepada Gana. Ia lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya kembali ke depan.

Setelah itu, si guru mulai membacakan isi buku di tangannya dengan suara monoton. Tapi Gana tidak lagi fokus, sebab ucapan guru itu di awal sedikit mengganggunya.

Gana awalnya mengira sekolah ini hanya berisi kumpulan anak bodoh dan pemalas, atau buangan yang dikeluarkan dari sekolah lain karena melakukan pelanggaran berat. Tapi dari obrolan yang didengarnya, sikap para siswa, serta tatapan-tatapan penuh makna itu … ia mulai menyadari bahwa sepertinya ada sesuatu yang ‘berbeda’ di sini.

Namun lagi, Gana tidak peduli. Ia tidak ingin terlibat dengan apapun. Ia sudah berjanji pada ibunya bahwa ia tidak akan membuat masalah lagi di sekolah baru.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca