Senja merayap turun di Desa Kalijaga, mewarnai langit barat dengan gradasi jingga, lembayung, dan keemasan. Cahaya lembut membelai hamparan sawah yang menghijau, tempat padi mulai menguning, menjanjikan panen yang melimpah. Aroma tanah basah dan bunga melati yang ditanam di pekarangan rumah-rumah sederhana bercampur dengan asap tipis dari tungku kayu, menciptakan kehangatan yang khas di penghujung hari.
Di salah satu gubuk beratap daun nipah, tampak seorang pemuda tegap berusia sekitar delapan belas tahun sedang membantu ayahnya mengikat batang-batang padi yang baru dipanen. Kulitnya cokelat terkena sengatan matahari, namun matanya menyimpan keteduhan dan kecerdasan. Dialah Bayu Angkasa, putra tunggal keluarga petani sederhana yang dikenal ramah dan memiliki kepekaan terhadap alam di sekitarnya.
"Sudah cukup untuk hari ini, Nak," ujar Bapak Wiryo, ayah Bayu, dengan suara serak namun penuh kasih. Kerutan di wajahnya semakin jelas di bawah cahaya senja, menceritakan kisah kerja keras dan dedikasi pada tanah.
"Sebentar lagi, Bapak. Tinggal beberapa ikat lagi," jawab Bayu sambil mengusap peluh di dahinya dengan lengan. Ia merasakan kedamaian yang selalu menyelimuti dirinya saat bekerja di sawah, menyentuh tanah yang memberinya kehidupan.
Dari kejauhan, terdengar suara gamelan yang sayup-sayup, mengiringi latihan tari Sembah Bumi yang rutin diadakan di balai desa menjelang panen. Irama lembut itu seolah menyatu dengan desiran angin yang membawa aroma bunga liar dari tepi hutan.
"Kau tidak ingin melihat para gadis menari, Bayu?" goda seorang pemuda sebaya bernama Arya yang baru saja bergabung dengan mereka. Arya adalah putra kepala desa, memiliki sifat riang dan selalu tertarik dengan keramaian.
Bayu tersenyum tipis. "Nanti saja, Arya. Pekerjaan belum selesai. Lagipula, gerakan mereka terlalu lincah untuk mata seorang petani yang seharian berkutat dengan lumpur."
"Ah, kau ini terlalu serius, Bayu. Sekali-kali nikmati hiburan. Kudengar Laras menari dengan anggun malam ini," Arya menyenggol lengan Bayu dengan nakal, menyebut nama gadis yang diam-diam dikagumi Bayu.
Bayu hanya menggelengkan kepala sambil terus bekerja. "Fokus pada panen dulu, Arya. Itu lebih penting."
Tiba-tiba, langkah kaki tergesa-gesa mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan wajah cemas, Ibu Sekar, menghampiri mereka.
"Pak Wiryo, Bayu! Kalian harus segera pulang! Ada sesuatu yang aneh terjadi di dekat sungai," serunya dengan nada khawatir.
"Aneh bagaimana, Bu Sekar?" tanya Bapak Wiryo, mengerutkan kening.
"Air sungai tiba-tiba surut drastis. Ikan-ikan tampak gelisah, melompat-lompat ke darat seperti ketakutan. Dan yang lebih mengerikan..." Ibu Sekar menggantungkan kalimatnya, matanya memandang ke arah hutan dengan raut ngeri. "...aku mendengar suara gemuruh aneh dari arah sana. Belum pernah aku mendengar suara seperti itu sebelumnya."
Bayu dan Bapak Wiryo saling pandang. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti mereka. Kedamaian senja di Kalijaga seolah tercoreng oleh berita buruk ini.
"Gemuruh seperti apa, Bu Sekar?" tanya Bayu, menyimpan ikatan padi terakhirnya.
"Sulit dijelaskan, Nak Bayu. Seperti raungan binatang buas yang sangat besar, tapi juga seperti... tanah yang bergetar hebat. Beberapa warga yang pergi ke hutan mencari kayu bakar juga kembali dengan wajah pucat, mengatakan ada kabut aneh yang tiba-tiba muncul dan menghilang," jawab Ibu Sekar dengan suara bergetar.
Arya yang tadinya bercanda, kini menunjukkan ekspresi serius. "Kabut aneh? Biasanya hutan Kalijaga tidak pernah berkabut setebal itu di sore hari."
Bapak Wiryo menghela napas. "Sebaiknya kita lihat sendiri. Bayu, Arya, mari ikut denganku."
Mereka bertiga mengikuti Ibu Sekar menuju tepi desa yang berbatasan dengan sungai kecil yang mengalir tenang selama bertahun-tahun. Namun, pemandangan yang mereka saksikan membuat mereka terkejut. Air sungai memang surut jauh lebih rendah dari biasanya, memperlihatkan bebatuan dan dasar sungai yang berlumpur. Ikan-ikan kecil tampak megap-megap di genangan air yang tersisa.
"Lihatlah," bisik Ibu Sekar dengan suara tercekat, menunjuk ke arah hutan. Di antara pepohonan yang mulai gelap, tampak gumpalan kabut putih tebal yang bergerak tidak beraturan, seolah memiliki kehidupan sendiri. Kabut itu muncul dan menghilang dalam hitungan detik, menciptakan pemandangan yang mengganggu.
"Ini tidak wajar," gumam Bapak Wiryo, matanya menyipit menatap kabut aneh itu. "Aku belum pernah melihat fenomena seperti ini."
Tiba-tiba, dari arah hutan terdengar lagi suara gemuruh yang membuat tanah di bawah kaki mereka terasa bergetar halus. Suara itu terdengar lebih dekat dan lebih mengancam dari sebelumnya. Beberapa anak kecil yang sedang bermain di dekat situ menangis ketakutan dan berlari menuju rumah mereka.
"Suara apa itu?" tanya Arya dengan nada gentar.
Bayu merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ada perasaan aneh yang menjalari tubuhnya, seolah alam di sekitarnya sedang memberikan peringatan. Ia menatap kabut aneh itu dengan tatapan penuh tanya dan kekhawatiran.
"Entahlah," jawab Bapak Wiryo, raut wajahnya menunjukkan kebingungan dan sedikit ketakutan. "Tapi ini bukan pertanda baik."
Saat mereka masih terpaku menatap hutan, seorang lelaki tua dengan tongkat kayu berukir, Kakek Among, berjalan mendekat dengan langkah pelan namun pasti. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak keriput oleh kekhawatiran.
"Kalian merasakan getaran itu?" tanya Kakek Among dengan suara serak.
"Ya, Kek," jawab Bayu. "Dan kabut aneh itu..."
Kakek Among mengangguk pelan. "Ini pertanda. Pertanda bahwa keseimbangan telah terusik."
"Keseimbangan apa, Kek?" tanya Arya dengan nada ingin tahu.
Kakek Among menghela napas panjang, matanya memandang ke arah langit yang semakin gelap. "Keseimbangan antara kita, alam, dan... mereka yang menjaga kita dari kegelapan."
"Maksud Kakek... Dewa Penghuni?" tanya Bayu, teringat akan cerita kakeknya beberapa waktu lalu.
Kakek Among mengangguk lagi. "Dahulu kala, para Dewa Penghuni menciptakan Pusaka Nagari, sebuah artefak yang menjaga harmoni dan melindungi Swarnadwipa dari kekuatan jahat. Namun, legenda mengatakan bahwa jika keserakahan dan kejahatan merajalela di hati manusia, kekuatan pusaka itu akan melemah, dan kegelapan akan kembali bangkit."
Suara gemuruh terdengar lagi, kali ini lebih keras dan disertai dengan suara ranting patah dari dalam hutan. Ketakutan mulai menyebar di antara warga desa yang berkumpul di tepi sungai.
"Apa yang terjadi, Kek?" tanya Ibu Sekar dengan suara bergetar.
Kakek Among menggelengkan kepala dengan wajah muram. "Aku tidak tahu pasti. Tapi firasatku mengatakan sesuatu yang buruk telah terbangun."
Tiba-tiba, dari dalam gumpalan kabut aneh itu, muncul sesosok bayangan hitam yang tinggi dan mengerikan. Bentuknya samar, namun aura dingin dan mengancamnya terasa begitu kuat hingga membuat bulu kuduk Bayu berdiri. Beberapa warga desa berteriak ketakutan dan mundur.
"Apa... apa itu?" bisik Arya dengan mata terbelalak.
Bayangan itu bergerak perlahan keluar dari kabut, dan meskipun wujudnya belum sepenuhnya jelas, samar-samar tampak seperti sosok humanoid dengan anggota tubuh yang memanjang dan cakar-cakar tajam. Mata merahnya yang menyala menatap ke arah desa dengan penuh kebencian.
Kakek Among memegang erat tongkatnya, wajahnya menunjukkan ketegangan. "Ini... ini tidak mungkin..." gumamnya lirih.
Sosok itu mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan, membuat udara di sekitar mereka terasa dingin. Kemudian, ia mengulurkan tangannya yang bercakar ke arah salah satu rumah di tepi desa.
Tiba-tiba, seberkas cahaya ungu melesat dari arah rumah itu dan menghantam tangan sosok hitam tersebut. Sosok itu menggeram kesakitan dan menarik tangannya kembali. Dari balik pintu rumah yang terbuka, tampak seorang wanita tua renta dengan mata yang bersinar redup memegang sebuah tongkat kayu yang ujungnya memancarkan cahaya ungu.
"Pergi kalian, makhluk kegelapan! Tanah ini tidak akan kalian renggut!" seru wanita tua itu dengan suara lantang yang mengejutkan semua orang.
Sosok hitam itu kembali mendesis marah dan bergerak cepat menuju rumah wanita tua itu. Kakek Among berteriak, "Mbah Semi! Awas!"
Namun, sebelum sosok hitam itu mencapai rumah Mbah Semi, Bayu merasakan dorongan kuat yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba, tangannya terasa panas, dan dari telapak tangannya memancar cahaya putih kebiruan yang menyilaukan. Cahaya itu melesat ke arah sosok hitam, menghantamnya dengan kekuatan yang tak terduga.
Sosok hitam itu terhuyung mundur, terkejut dengan serangan tiba-tiba tersebut. Ia menatap Bayu dengan mata merah menyala, penuh amarah dan kebingungan. Kemudian, dengan geraman frustrasi, ia berbalik dan menghilang kembali ke dalam kabut aneh, yang perlahan mulai menghilang bersamaan dengan kepergiannya.
Keheningan canggung menyelimuti tepi sungai. Warga desa saling pandang dengan wajah penuh keterkejutan dan kebingungan. Mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang luar biasa dan menakutkan.
Bapak Wiryo menatap Bayu dengan mata terbelalak.
"Bayu... apa yang... apa itu tadi?"
Bayu sendiri tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tangannya masih terasa sedikit panas, dan ia merasakan sisa-sisa energi aneh yang mengalir dalam tubuhnya. Ia menatap tangannya dengan bingung, sama terkejutnya dengan orang lain.
Kakek Among mendekati Bayu dengan langkah cepat, matanya menatap pemuda itu dengan tatapan penuh minat dan sedikit keterkejutan. "Nak Bayu... kau... dari mana kekuatan itu berasal?"
Mbah Semi, wanita tua yang tadi mengeluarkan cahaya ungu, berjalan mendekat dengan langkah tegap. Matanya yang tadinya bersinar redup kini menatap Bayu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Anak muda," katanya dengan suara serak namun penuh otoritas. "Kau memiliki sesuatu... sesuatu yang terhubung dengan masa lalu desa ini."
Bayu menatap wanita tua itu, lalu ke tangannya sendiri yang masih terasa aneh. Ia merasakan ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya berbeda dari pemuda petani biasa.
Ancaman yang baru saja mereka saksikan terasa nyata dan menakutkan, namun di saat yang sama, ia merasakan secercah harapan yang aneh muncul dalam hatinya.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka kembali bergetar lebih kuat dari sebelumnya. Dari arah hutan, kabut aneh itu kembali muncul, kali ini lebih tebal dan bergerak lebih cepat menuju desa. Di tengah kabut, samar-samar terlihat lebih banyak bayangan hitam dengan mata merah menyala bergerak maju. Kakek Among menatap pemandangan itu dengan wajah pucat dan berbisik, "Mereka kembali... dan jumlah mereka lebih banyak..."