Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Tangan Ajaib Sang Buronan

Tangan Ajaib Sang Buronan

Rowen Valsch | Bersambung
Jumlah kata
172.9K
Popular
15.0K
Subscribe
1.4K
Novel / Tangan Ajaib Sang Buronan
Tangan Ajaib Sang Buronan

Tangan Ajaib Sang Buronan

Rowen Valsch| Bersambung
Jumlah Kata
172.9K
Popular
15.0K
Subscribe
1.4K
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalBalas DendamSistemIdentitas Tersembunyi
Dituduh membantai keluarganya, Rey dijebloskan ke penjara tanpa sempat membela diri. Di ambang kematian, seorang kakek misterius meniupkan sesuatu ke keningnya. Sejak itu… sentuhan Rey bukan lagi hal biasa. Tapi, apa sebenarnya yang masuk ke tubuhnya?
BAB 1 : TUDUHAN

BAB 1 : TUDUHAN

Langit sore di Kota Jakarta berwarna jingga, perlahan meredup menuju senja. Jalanan masih cukup ramai oleh orang-orang yang pulang kerja, termasuk Del Rey. Dengan langkah pelan, dia menyusuri trotoar menuju rumahnya, membawa kantong plastik berisi beberapa bahan makanan. Tangan kanannya masih berbau bawang, sisa dari tugasnya sebagai asisten koki di restoran tempatnya bekerja.

Sesampainya di depan rumah, Rey merasa ada sesuatu yang aneh. Biasanya, suara tawa adiknya, Sitha, atau ocehan ibunya, Dania, terdengar dari dalam. Namun, sore itu sunyi. Pintu depan terkunci, dan saat Rey mencoba mengetuk, tidak ada jawaban.

"Kenapa sepi?" gumamnya.

Dia memasukkan kunci dan memutar kenop, pintu terbuka dengan sedikit suara berdecit. Ruangan dalam rumah terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun tirai jendela tidak tertutup sepenuhnya. Rey melangkah masuk, menaruh kantong plastik di meja dapur, lalu berkeliling memeriksa ruangan.

"Sitha? Ibu?" panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Rey merogoh ponselnya, hendak menghubungi seseorang, tetapi sebelum sempat menekan tombol panggilan, suara sirene mobil polisi tiba-tiba meraung di luar. Beberapa mobil hitam berhenti di depan rumahnya, dan belasan polisi bersenjata turun dengan cepat.

"Angkat tangan! Jangan bergerak!" teriak salah satu dari mereka.

Rey membeku.

Beberapa detik kemudian, tubuhnya ditekan ke lantai, tangannya ditarik ke belakang, dan borgol dingin melingkar di pergelangannya. Rey masih berusaha memahami apa yang terjadi ketika seorang polisi berbadan tegap menunduk di sampingnya.

"Kamu ditangkap atas tuduhan pembunuhan massal," kata polisi itu tegas.

Rey menoleh dengan tatapan bingung. "Apa?"

Dia mencoba melawan, tetapi pegangan polisi terlalu kuat. Dengan paksa, dia diseret keluar rumah, matanya menangkap beberapa tetangga berkumpul di sekitar, berbisik-bisik dan memandangnya dengan ekspresi ngeri.

"Apa yang kalian bicarakan? Aku baru pulang kerja! Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi!" seru Rey, tetapi polisi tetap membawanya masuk ke mobil.

Pintu tertutup dengan keras, dan suara sirene kembali meraung.

—-

Di kantor polisi, ruangan interogasi berbau kertas dan keringat. Rey duduk di kursi besi dengan tangan masih terborgol. Di hadapannya, seorang penyelidik menatapnya dengan dingin, sambil meletakkan beberapa lembar dokumen dan sebuah foto di meja.

Rey menatap foto itu. Foto ruang tamu rumahnya, tetapi tidak seperti yang dia ingat. Karpet berwarna krem yang biasa dipijaknya kini dipenuhi darah. Beberapa tubuh terlihat tertutup kain putih, dan dindingnya bercak merah kehitaman.

"Ini... rumahku?" Suara Rey bergetar.

Penyelidik mengangguk. "Keluargamu ditemukan tewas dua jam lalu. Ayah, ibu, kakak, adikmu, serta dua kerabat dekat, dan seorang pembantu. Semua mati terbunuh."

Dada Rey terasa sesak. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi pikirannya kosong.

"Aku... aku baru pulang kerja... Bagaimana mungkin…"

"Kami punya bukti," potong penyelidik itu. Dia mengambil sebuah kantong plastik transparan dan meletakkannya di atas meja. Di dalamnya, sebuah pisau berlumuran darah.

Rey menatapnya. Pisau itu... miliknya. Pisau dapur yang biasa ia gunakan di restoran san di rumah.

Sidik jarimu ada di pisau ini," lanjut penyelidik. "Dan ada seorang saksi mata yang melihatmu memasuki rumah lima menit sebelum kejadian."

Rey menggeleng keras. "Tidak mungkin! Aku tidak melakukan ini!"

Namun, ekspresi penyelidik itu tetap datar. "Bukti sudah cukup. Kamu akan segera diadili."

—-

Beberapa hari kemudian, sidang digelar. Ruang sidang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan kasus besar ini. Di kursi terdakwa, Rey duduk diam dengan tangan terkepal.

Jaksa membacakan tuduhan dengan suara lantang, memperlihatkan bukti-bukti yang membuatnya tampak bersalah. Pisau dengan sidik jarinya, saksi mata yang memberikan keterangan dari balik tirai hitam, dan fakta bahwa tidak ada jejak orang lain di rumahnya saat kejadian.

Rey ingin berteriak bahwa semua ini salah, bahwa dia dijebak. Tetapi siapa yang akan percaya? Bahkan pengacaranya sendiri yang di sewa bosnya di restoran hanya bisa memberi tatapan simpati tanpa jawaban.

Setelah perdebatan panjang, hakim akhirnya mengetukkan palunya.

"Del Rey dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana. Dengan ini, terdakwa dijatuhi hukuman penjara 25 tahun."

Rey menutup matanya. Semua sudah berakhir.

—-

Di dalam mobil tahanan, Rey duduk terdiam. Ia bahkan tidak tahu di mana keluarganya dimakamkan. Tidak ada kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal. Hatinya remuk membayangkan kematian tragis seluruh keluarganya.

Mobil itu akhirnya berhenti di depan gerbang besar berwarna abu-abu. Tulisan di atasnya menyatakan dengan jelas, Rumah Tahanan Kota Jakarta.

Saat gerbang terbuka, dua penjaga menariknya keluar, membawanya masuk ke dalam. Setelah melewati pemeriksaan dan pergantian baju tahanan, Rey dikawal ke sebuah sel besar yang sudah berisi beberapa pria bertubuh besar dengan wajah keras.

Langkah Rey melambat.

Di sudut sel, ia melihat beberapa narapidana berbicara dengan santai. Tetapi, saat dirinya masuk, suasana berubah. Beberapa orang menatapnya dengan tatapan tajam, seakan menelannya bulat-bulat.

Rey melangkah mundur, mencari sudut kosong, lalu duduk dengan kepala menunduk.

Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama.

Suara langkah berat bergema di ruangan. Seorang pria besar dengan banyak tato di lengannya berdiri di depan Rey. Di belakangnya, beberapa pria lain menyeringai, seakan menunggu perintah.

Rey mengangkat wajahnya perlahan.

Pria besar itu menatapnya dengan mata penuh tekanan. "Jadi, ini bocah yang katanya membantai keluarganya sendiri?"

Rey menggertakkan giginya.

Pria itu menyeringai. "Selamat datang di neraka, anak manis."

Pria bertubuh besar itu berdiri tepat di depan Rey, menatapnya dengan mata penuh tekanan. Ruangan terasa semakin sempit, seakan udara pun enggan bergerak. Beberapa narapidana di belakang pria itu mulai berbisik, beberapa bahkan menyeringai, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rey, yang masih terduduk di sudut sel, hanya diam. Matanya tetap menatap lurus, tak ada sedikit pun ekspresi takut atau marah.

Pria itu menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan, terdengar suara tulang yang berderak. "Apa bocah ini bisu?" tanyanya, diikuti tawa pelan dari beberapa anak buahnya.

Rey tetap diam.

"Apa kau tuli?" lanjut pria itu, kini menunduk lebih dekat, napasnya yang berbau tembakau hampir mengenai wajah Rey.

Masih tidak ada jawaban.

Hening.

Ruangan terasa semakin tegang. Pria bertato itu mengernyit, matanya menyipit, menilai Rey seolah mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Namun, Rey tetap seperti batu… tidak menunjukkan emosi apa pun.

Dan itu membuatnya marah.

Tanpa peringatan, kepalan tangan besar itu meluncur dengan cepat.

Bugh!

Tinju keras mendarat tepat di pipi Rey, membuat kepalanya tersentak ke samping.

Beberapa narapidana yang menonton bersiul kecil, ada yang berseru, "Itu pukulan yang lumayan keras!"

Namun, yang membuat semua orang terdiam bukanlah pukulan itu, melainkan reaksi Rey.

Dia tetap diam.

Dia tidak membalas, tidak juga meringis kesakitan. Bahkan, dia tidak menyentuh pipinya yang kini memerah akibat pukulan itu. Dia hanya menatap lantai, seolah pukulan tadi tidak berarti apa-apa.

Pria bertato itu menggeram. "Kurang keras, ya?"

Bugh!

Tinju kedua menghantam perut Rey, membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Namun, pemuda itu tetap tidak mengeluarkan suara. Hanya napasnya yang sedikit lebih berat.

Pria itu tertawa kecil, tetapi jelas ada ketidakpuasan dalam suaranya. "Kau pura-pura kuat, ya? Aku benci bocah sok keras kepala sepertimu."

Bugh!

Bugh!

Dua pukulan lagi mendarat di wajah dan bahu Rey. Kali ini, ada rasa sakit yang menjalar di tubuhnya, tetapi dia tetap bertahan.

Ruangan semakin ramai dengan suara narapidana lain yang menyaksikan. Beberapa tampak menikmatinya, sementara yang lain mulai menyadari ada sesuatu yang aneh.

"Bocah ini gila atau apa?" bisik salah satu tahanan kepada rekannya.

"Seharusnya dia sudah jatuh dengan pukulan seperti itu," gumam yang lain.

Namun, Rey masih duduk diam di sudut sel. Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, tetapi dia tidak bereaksi.

Pria bertato itu menarik napas panjang, lalu menendang Rey tepat di dadanya. Kali ini, Rey jatuh ke lantai.

"Berhenti pura-pura kuat, dasar sampah!" bentak pria itu.

Rey terbatuk pelan, darah segar menetes dari bibirnya ke lantai. Namun, dia tetap tidak melawan. Dia hanya berbaring di sana, menatap langit-langit sel yang kotor dan penuh goresan.

Di matanya, tidak ada ketakutan, tidak ada kemarahan. Hanya kehampaan.

Pria bertato itu mengangkat kakinya, siap menghantam kepala Rey dengan sepatu botnya, tetapi sebelum sempat melakukannya, suara dari luar sel menghentikannya.

"Hei! Ada apa di dalam?"

Seorang sipir muncul di depan sel, matanya menyapu keadaan di dalam. Pria bertato itu dengan cepat melangkah mundur, memasukkan tangannya ke saku, pura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Ah, hanya menyambut penghuni baru, Pak," katanya dengan senyum palsu.

Sipir itu mengernyit, tetapi tidak berkata apa-apa. "Jangan cari masalah. Kalau ada yang berkelahi, aku tak segan-segan memasukkan kalian ke sel isolasi."

Setelah memastikan tidak ada yang terluka parah, sipir itu pergi.

Pria bertato itu kembali menatap Rey yang masih terbaring di lantai.

"Kau beruntung," gumamnya. "Tapi jangan pikir ini sudah selesai."

Dia melangkah pergi, diikuti anak buahnya, meninggalkan Rey sendirian di sudut sel.

Rey tetap diam. Dia tidak menangis, tidak mengeluh, tidak menunjukkan rasa sakitnya.

Di dalam kepalanya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar, "Siapa yang menjebakku?"

###

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca