Bab 01 Outline Yang Baru.
Rendi Wibisono melangkah santai di lorong rumah sakit, tatapannya tenang sambil sesekali memperhatikan sekeliling. Beberapa dokter mengikuti dari belakang, saling menunjuk dan berbisik-bisik.
"Lihat dia… suami Aurora Larasati," ujar seorang dokter muda dengan nada sinis, menahan tawa. "Kabarnya dia orang idiot. Tapi sekarang dia berjalan di sini seolah semua orang harus mengaguminya."
Seorang dokter lain menimpali, mukanya memerah karena iri. "Sungguh keterlaluan! Aurora Larasati, dokter tercantik di rumah sakit ini, malah milik orang bodoh macam dia. Rasanya… tidak masuk akal."
Beberapa pria lain di sekitar mengerutkan dahi, menahan rasa kesal yang bercampur iri. Mereka yakin diri mereka jauh lebih pantas untuk Aurora, dengan prestasi medis, pengetahuan, dan sikap profesional mereka.
"Bayangkan kalau itu aku yang menikahinya… semua orang pasti akan kagum," gumam seorang dokter lirih, menatap Rendi dengan tatapan sinis dan penuh frustrasi.
Namun Rendi Wibisono tetap berjalan tenang, tidak menoleh sama sekali.
Saat melewati kamar jenazah, Rendi Wibisono menoleh penasaran dan mengintip ke dalam. Beberapa orang di dekatnya mengejek dengan nada sinis.
"Orang bodoh macam dia pasti nggak berani masuk. Pasti ketakutan sampai ngompol di celana!" ujar salah satu perawat sambil tertawa.
"Betul, dia nggak pantas ada di sini. Pergi saja, jangan ganggu pasien lain," sahut dokter muda lain, mukanya memerah menahan tawa.
Rendi tersenyum tipis, tak menanggapi ejekan mereka. Tanpa ragu, ia melangkah masuk ke kamar jenazah, langkahnya mantap.
Beberapa orang yang mengejeknya tetap terdiam, tak menyangka Rendi akan benar-benar masuk.
"Eh… serius dia masuk sendiri?" tanya salah satu perawat lirih.
"Lihat saja, dia nggak takut sama apa pun," ucap dokter muda yang sebelumnya mengejek, suaranya penuh kekagetan.
Tapi yang tak di harapkan oleh mereka tindakan Rendi berikutnya, justru dengan lancang menanggalkan pakaian mayat perempuan, lalu memijat tubuh bagian atasnya.
Melihat tindakan Rendi Wibisono di dalam kamar jenazah, para dokter yang ada di sana saling berpandangan. Senyum miring bermunculan di wajah mereka, seolah menemukan peluang emas.
"Wah, ini bisa jadi masalah besar," ujar salah satu dokter dengan nada penuh kepuasan.
"Betul. Rekam cepat, ini bukti yang jelas!" sahut yang lain sambil mengangkat ponselnya, merekam setiap gerakan Rendi.
"Dengan ini, dia pasti nggak akan bisa lolos," ucap dokter muda tadi sambil tertawa kecil, matanya berbinar penuh intrik.
Padahal, mayat yang berada di atas meja itu bukan orang sembarangan. Dialah Tasya Hutama, putri dari Keluarga Hutama, keluarga terkaya di kota Tarubaya.
Keluarga Hutama sebenarnya sudah menyimpan dendam pada pihak rumah sakit karena Tasya meninggal di sana. Kini, dengan adanya peristiwa ini, apalagi tubuh Tasya diperlakukan semena-mena, tentu amarah mereka akan meluap tak terbendung.
"Ini sudah lebih dari cukup. Keluarga Hutama pasti tidak akan melepaskan Rendi Wibisono," jawab seorang dokter senior dengan nada penuh keyakinan.
Yang lain menimpali dengan senyum licik, "Dan begitu masalah ini pecah, Aurora Larasati pasti menceraikannya. Saat itu tiba, barulah kita punya kesempatan mendekatinya."
Tawa kecil terdengar, mencampur ketegangan ruangan dengan aroma intrik yang makin menebal.
Salah satu dokter bergegas keluar ruangan, napasnya memburu.
"Cepat, cari Pak Bayu Ardiansyah! Direktur harus tahu soal ini. Panggil juga Aurora Larasati, biar dia lihat sendiri aib suaminya," ujarnya panik sambil setengah berlari.
Sementara itu, beberapa dokter lain justru bertahan di tempat. Alih-alih menghentikan, mereka malah saling berbisik penuh intrik.
"Lepaskan celananya juga, biar lebih jelas kelakuannya!" ujar seorang dokter muda dengan nada licik, seolah ingin memastikan Rendi benar-benar terperangkap dalam skandal besar.
"Ya, semakin parah, semakin mudah kita menjatuhkannya," sahut yang lain dengan senyum menyeringai.
Namun Rendi Wibisono tidak sedikit pun menoleh atau menanggapi. Ia tetap fokus pada tubuh yang terbujur kaku di hadapannya. Bibirnya bergerak pelan, gumaman lirih terucap dari mulutnya.
"Perempuan ini… beruntung bertemu denganku. Kalau tidak, kau pasti benar-benar mati. Tapi aku bisa membuka kembali kesadaran spiritualmu…" ucapnya dengan suara rendah, penuh keyakinan, seolah berbicara pada arwah itu sendiri.
Tak lama kemudian, langkah tergesa terdengar di lorong.
Bayu Ardiansyah muncul bersama Aurora Larasati, wajah mereka menegang begitu melihat kerumunan di depan kamar jenazah.
Begitu masuk, Aurora Larasati menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak.
"Rendi… apa yang kau lakukan?!" teriaknya dengan suara bergetar. Wajahnya memerah, tubuhnya hampir limbung, seakan hendak pingsan karena marah dan malu bercampur aduk.
"Cukup! Hentikan sekarang juga!" bentak Bayu Ardiansyah sambil melangkah cepat, tangannya terulur hendak menarik kerah Rendi Wibisono.
Namun, sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi. Begitu tangannya hampir menyentuh, Rendi justru menepis kasar dan mendorongnya.
Tubuh Bayu Ardiansyah terlempar keras, menghantam pintu kayu hingga menimbulkan dentuman keras.
"A-apa?!" Bayu terperangah, tubuhnya terhuyung kesakitan.
Matanya melebar tak percaya. Sejak kapan si bodoh ini punya tenaga sebesar itu?! pikirnya panik.
Sementara itu, Aurora Larasati menahan napas, matanya berair. Ia menggenggam erat dadanya, tidak percaya pria yang selama ini dianggapnya lemah bisa menyingkirkan Bayu dengan sekali dorongan.
Rendi Wibisono mengangkat wajahnya, tatapannya tajam menusuk ke arah semua orang di ruangan. Suaranya dalam dan penuh tekanan. "Jangan ada yang menggangguku. Kalau terlambat sedikit saja… orang ini benar-benar akan mati!"
Ruangan mendadak hening.
Bayu Ardiansyah bangkit dengan wajah merah padam, menahan sakit sekaligus amarah.
"Aurora! Kendalikan suamimu! Kalau tidak, semua orang di sini akan kena masalah besar!" bentaknya tajam, nadanya penuh tekanan.
Aurora Larasati menoleh cepat, napasnya tersengal. Ia menggigit bibirnya, ragu sejenak, lalu memberanikan diri maju ke arah Rendi Wibisono.
"Rendi… cukup! Jangan bikin masalah lebih besar!" ucapnya sambil mencoba menarik lengan suaminya.
Namun sebelum sempat menyentuh, Aurora justru terperangah. Di atas meja dingin itu, tubuh Tasya Hutama yang tadinya kaku kini tampak bergetar pelan. Dada yang semula tak bergerak mulai naik turun tipis, napas lemah terdengar jelas.
"Ya Tuhan…" bisik Aurora, matanya membelalak. Ia segera menoleh ke arah para dokter.
"Cepat! Bawa dia ke ruang gawat darurat! Dia masih hidup!" serunya penuh panik.
Para dokter yang tadi sibuk menertawakan dan merekam, kini terperanjat. Beberapa buru-buru mendorong brankar, yang lain berlari mengambil peralatan darurat. Situasi berubah drastis, dari ejekan menjadi kehebohan yang tak terkendali.
Namun sebelum mereka beranjak lebih jauh, suara Rendi terdengar mantap, penuh keyakinan. "Jangan bodoh. Kalau kalian yang menangani, dia akan mati lagi."
Semua menoleh kaget, termasuk Aurora. Rendi menatap lurus ke arah istrinya, nadanya tak bisa ditawar. "Aku yang membangunkan kembali kesadarannya. Aku juga yang harus ikut masuk ke ruang gawat darurat. Hanya aku yang benar-benar bisa menyelamatkannya."
Namun Bayu Ardiansyah mendengus sinis, dan tatapan matanya jelas tak mempercayainya perkataan Rendi.
"Omong kosong! Itu jelas salah diagnosis. Pasti ada kelalaian dalam pemeriksaan awal sehingga pasien keliru dinyatakan meninggal," ucapnya dengan suara keras, mencoba menutupi rasa gentarnya.
Ia menatap para dokter di sekelilingnya. "Jangan buang waktu! Segera bawa dia ke ruang gawat darurat!"
Para dokter pun segera bergerak. Beberapa mendorong brankar dengan terburu-buru, yang lain sudah bersiap dengan peralatan medis.
Ruang gawat darurat dipenuhi hiruk-pikuk, suara perintah bersahut-sahutan, mencoba menutupi rasa panik yang masih menyelimuti mereka.
Aurora Larasati yang sejak tadi masih terkejut, akhirnya meledak. Ia menoleh tajam ke arah suaminya.
"Rendi! Apa yang kau pikirkan, hah?! Kau sadar tidak tindakanmu bisa membuat kita hancur?! Bagaimana bisa kau bertindak seenaknya di kamar jenazah?!" bentaknya penuh emosi.
Rendi hanya terdiam, tatapannya dingin, seolah tidak terusik oleh amarah istrinya.
Aurora menggertakkan giginya, dadanya naik turun menahan amarah. Namun, setelah meluapkan emosi, ia akhirnya merasakan sesuatu menusuk dalam hatinya.
Pandangannya merendah, suaranya melemah. "Aku… mungkin terlalu keras padamu."
Sejenak Aurora Larasati terdiam, perasaan campur aduk berputar dalam kepalanya. Dia memang bodoh, tapi tetap suamiku. Aku yang seharusnya menjaganya, bukan membiarkannya membuat masalah besar seperti ini.
Ia menggenggam kedua tangannya erat, menatap ke arah Rendi dengan tatapan penuh rasa bersalah.
Dalam hati, ia bergumam lirih, Mungkin aku harus mengambil cuti… untuk mengurusnya sendiri. Kalau tidak, dia akan terus membuat masalah yang lebih besar lagi.
Aurora Larasati masih menunduk, hatinya diliputi rasa bersalah. Namun sebelum ia sempat berkata lebih jauh, suara Rendi Wibisono terdengar mantap, berbeda dari biasanya.
"Aurora," katanya pelan tapi tegas, menatap lurus ke arah istrinya, "aku sudah tidak bodoh lagi. Kau tidak perlu menjagaku."
Aurora mengangkat wajahnya, terperangah mendengar ucapan itu. Nada Rendi sama sekali tidak terdengar seperti pria lugu dan penurut yang ia kenal.
"Aku sedang terburu-buru menolong orang. Jadi jangan halangi aku," lanjut Rendi dengan sorot mata penuh keyakinan.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berlari menuju ruang penyelamatan, langkahnya cepat dan mantap.
Aurora Larasati tersentak, hatinya diliputi kegelisahan.
"Rendi! Tunggu!" serunya sambil tergesa mengejarnya. Pakaian kerjanya berayun mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
Aurora semakin mempercepat langkahnya, takut kehilangan Rendi yang kini sudah berada di depan pintu ruang gawat darurat. Hatinya berdebar, untuk pertama kalinya ia merasa tidak mengenali pria yang sudah menjadi suaminya.
Saat Rendi Wibisono dan Aurora Larasati bergegas menuju ruang gawat darurat, pintu mendadak terbuka dari dalam. Bayu Ardiansyah keluar dengan wajah sumringah, senyumnya lebar.
"Pasien sudah stabil. Hebat sekali, benar-benar keberuntungan luar biasa," ujarnya sambil menghela napas lega.
Para dokter di sekitar mengangguk, wajah mereka ikut berbinar, seolah beban besar baru saja terangkat.
Namun begitu matanya bertemu dengan Aurora Larasati, ekspresi Bayu berubah drastis. Senyum itu lenyap, berganti dengan wajah serius dan tatapan menusuk.
"Aurora," ucapnya datar, namun penuh tekanan. "Karena kesalahan diagnosismu, kau resmi dijatuhi skors. Suratnya akan segera diproses."
Aurora membeku di tempat.
"Apa?!" serunya lantang, tidak percaya dengan tuduhan itu. "Jangan seenaknya, Bayu! Kau tahu betul bukan aku yang menangani langsung pasien ini. Bukankah kau sendiri yang menandatangani surat kematiannya?"
Beberapa dokter yang ikut mendengar langsung menundukkan kepala, pura-pura sibuk, padahal jelas mereka penasaran dengan pertengkaran dua sosok penting itu.
Aurora melangkah maju, wajahnya memerah karena marah. "Jangan coba-coba lempar kesalahan padaku! Semua prosedur ada catatannya. Tanda tangan di dokumen resmi itu milikmu, Bayu Ardiansyah, bukan aku!"
Bayu Ardiansyah menatapnya dingin, lalu perlahan mendekat. Suaranya merendah, tapi setiap kata mengandung ancaman yang menusuk. "Kalau kau berani membantahku lagi… aku akan segera memberi tahu Keluarga Hutama bahwa suamimu, Rendi Wibisono, telah melecehkan mayat Tasya di kamar jenazah."
Aurora tersentak, wajahnya pucat seketika. Ia menoleh sekilas ke arah Rendi yang berdiri tenang di sisinya, lalu kembali menatap Bayu dengan tatapan gamang.
Bayu melanjutkan dengan senyum tipis penuh kemenangan. "Kau tentu tahu apa akibatnya. Keluarga Hutama tidak akan segan menghancurkan hidup kalian berdua. Jadi… pilihannya sederhana, Aurora. Kau akui kesalahan diagnosismu, atau kau dan suamimu hancur bersama."
Aurora menggigit bibirnya, dadanya naik turun menahan emosi yang bercampur dengan ketakutan. Dalam hati, ia tahu semua ini jebakan kotor. Namun tatapan licik Bayu Ardiansyah membuatnya terpojok tanpa jalan keluar.
Akhirnya, dengan suara bergetar, ia menunduk dan berkata lirih, "Baik… aku yang salah diagnosis."
Beberapa dokter yang mendengar langsung saling pandang, ada yang mengangkat alis, ada pula yang tersenyum tipis, menyadari drama politik kecil ini.
Bayu Ardiansyah tersenyum puas, lalu menepuk bahu Aurora seolah ia memang atasannya yang berhak menghakimi. "Itu baru bijak. Kau masih bisa menyelamatkan karirmu… setidaknya untuk sementara."
Bayu Ardiansyah menatap Rendi Wibisono dengan mata berbinar, namun nada suaranya sarat kenangan dan peringatan.
"Rendi… kau harus tahu, Keluarga Hutama adalah keluarga terkaya di kota ini. Tasya Hutama… satu-satunya putri mereka, sangat disayang. Jika mereka sampai mengetahui jenazah putri mereka dilecehkan… akibatnya akan sangat berat," ucapnya perlahan, seolah mengingatkan Rendi akan posisi gentingnya.
Ia menunduk sejenak, lalu menambahkan dengan nada bangga, "Dan lihat ini… aku, yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan pasien, justru dipandang sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan."
Ucapan itu memancing amarah Rendi Wibisono. Matanya membara, rahangnya menegang.
"Bayu Ardiansyah! Kau benar-benar tidak tahu malu!" teriaknya. "Dengar baik-baik, Tasya Hutama hanya bisa diselamatkan olehnya, bukan olehmu! Kau tidak akan pernah mampu. Sebentar lagi pasien itu pasti akan kembali kritis. Saat itu… kau hanya bisa berlutut, menangis, dan memohon padaku. Barulah aku akan menolongnya."
Bayu Ardiansyah mendengus tidak percaya. Amarahnya hampir meledak, ia sudah hendak memaki balik.
Namun sebelum kata-katanya sempat meluncur, seorang perawat berlari keluar dari ruang perawatan dengan wajah panik.
"Cepat! Kondisi Tasya Hutama kritis lagi!"
Suasana pun mendadak mencekam.