Di kamar mayat Rumah Sakit kota Tarubaya, suasana dingin dan sunyi seperti biasa. Namun pagi itu, suasana berubah drastis karena seorang pria tengah berlutut di sisi meja baja tempat seorang jenazah wanita terbujur kaku.
Rendi Wibisono—dikenal sebagai suami dari dokter paling cantik di rumah sakit ini, Aurora Larasati—sedang meremas-remas dada jenazah itu sambil menggumam pelan.
"Beruntung sekali kamu hari ini..." bisiknya pada tubuh dingin itu. "Takdir membuatmu bertemu denganku… Aku sudah menguasai warisan itu. Dunia ini tak bisa menyelamatkanmu, kecuali aku."
Tangan Rendi bergerak cepat, aneh, dan teratur. Seolah tubuhnya mengikuti irama ilmu yang tidak dimengerti manusia biasa. Ia menekan dada lalu menempelkan telapak ke dahi jenazah itu, seakan sedang menyambungkan sesuatu.
Tiba-tiba—tanpa peringatan—jenazah itu duduk tegak seperti didorong oleh kekuatan tak kasatmata. Matanya terbuka separuh, lalu tubuhnya terkulai kembali.
Seketika, terdengar jeritan dari arah pintu.
"ASTAGA! JENAZAHNYA BANGKIT!!" teriak seorang perawat muda yang kebetulan lewat dan melihat kejadian itu. Ia menjatuhkan baki logam yang dibawanya, menimbulkan denting keras yang memecah keheningan.
"ITU SUAMI DOKTER AURORA! DIA GILA! DIA NGGANGGU MAYAT!!" teriak perawat lain, panik.
Suasana mendadak kacau.
Petugas keamanan yang mendengar keributan langsung bergerak. Tak lama, Bayu Ardiansyah—Direktur Rumah Sakit—datang dengan napas memburu, diikuti oleh beberapa dokter dan staf.
"Apa-apaan ini?!"
Begitu melihat siapa yang berada di dalam kamar mayat, Bayu langsung berteriak marah, "Rendi Wibisono, brengsek! Kau pikir ini rumah dukun?!"
Beberapa staf menunduk, tak berani menyahut. Semua orang tahu siapa Rendi. Suami dari Aurora Larasati, dokter bedah muda yang paling cantik dan berbakat di rumah sakit itu.
Sayangnya, Aurora menikah dengan pria yang kemudian dikabarkan mengalami gangguan mental parah. Sebuah tragedi yang sering jadi bisik-bisik di ruang istirahat pegawai.
Kini, mereka bahkan merasa lebih kasihan pada Aurora.
Karena mayat yang diganggu Rendi bukan orang sembarangan—melainkan Tasya Hutama, putri keluarga Hutama, konglomerat pemilik banyak rumah sakit dan bisnis besar di kota.
Bayu mengepal tangan. "Sial… keluarga Hutama sudah mau gugat kita karena Tasya meninggal di sini. Sekarang mayatnya malah diganggu orang gila?! Kau benar-benar cari mati, Ren!"
Rendi tak menoleh. Matanya fokus pada tubuh Tasya, jemarinya terus bergerak menekan dada dan kepala sang gadis.
"Aku belum selesai… kalau kalian tarik aku sekarang, dia akan mati sungguhan," ucap Rendi datar.
"Berhenti sekarang juga sebelum aku perintahkan petugas mengikatmu!" ancam Bayu.
Tapi Rendi hanya menjawab lirih, "Kalau aku berhenti sekarang, detaknya tak akan kembali."
Bayu melangkah maju, hendak menarik Rendi dengan tangannya sendiri, namun Rendi malah mendorongnya kuat hingga ia tersandung dan hampir jatuh.
"JANGAN SENTUH AKU!" teriak Rendi.
Aurora Larasati muncul dari pintu belakang, wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Ia baru selesai menangani pasien gawat darurat dan nyaris tak percaya melihat suaminya berada di sana.
"Rendi?! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" jeritnya.
"Ssst..." Rendi tak menoleh. "Aku tahu apa yang aku lakukan, Aurora."
Bayu menunjuk dengan marah. "KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB! Tarik suamimu sekarang juga! Keluarga Hutama bisa menuntut kita semua!"
Aurora menahan napas dan melangkah maju. Ia meraih tangan Rendi, hendak menariknya paksa.
Namun saat tangannya menyentuh dada Tasya—ia terdiam.
Deg.
Sebuah detakan lemah terasa di bawah kulit dingin gadis itu.
Deg... deg...
Aurora membelalak. "Ini... ini jantungnya. Aku rasa... dia... dia hidup!"
Bayu yang mendengarnya langsung maju. "Apa?! Jangan omong sembarangan!" Ia memeriksa nadi Tasya, lalu menyentuhkan stetoskop ke dada. Wajahnya perlahan berubah pucat.
"Cepat! Bawa dia ke ruang gawat darurat! Panggil ICU! SEKARANG!!" teriak Bayu.
Petugas segera membawa ranjang dorong. Tasya segera dibawa keluar dari kamar mayat di tengah tatapan bingung para staf yang menyingkir dari lorong.
Aurora masih berdiri terpaku. Rendi berdiri di sampingnya, wajahnya tenang seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan misi penting.
"Prosesnya belum selesai," ucap Rendi pelan. "Dia masih dalam bahaya. Tapi... jiwanya belum pergi sepenuhnya."
Bayu, masih berkeringat karena panik, menoleh tajam. "Jangan berpikir ini keajaibanmu! Ini jelas kesalahan diagnosis! Kesalahan kita! Orang hidup dianggap mati!"
Ia menatap Aurora dingin. "Kita akan bicara soal ini nanti. Aku pastikan, akan ada yang bertanggung jawab penuh."
Orang-orang mendorong ranjang darurat Tasya Hutama dengan tergesa. Perawat dan dokter mengelilingi ranjang itu sambil memberi komando, mendorongnya menuju ruang gawat darurat.
Dalam sekejap, lorong kembali sunyi, menyisakan Aurora Larasati dan Rendi Wibisono berdiri berhadapan di depan kamar mayat yang masih terbuka lebar.
Aurora menatap Rendi dengan wajah gelap. "Kau ngapain di sana?! Di kamar mayat?!"
Rendi mengangkat bahu santai. "Mengobati orang."
"APA?!"
Nada tinggi Aurora menggema di lorong. Ia mengepalkan tangan, menahan emosi. "Kau tahu nggak, kau itu pasien kejiwaan! Sudah aku titipkan ke suster, ke bagian psikiatri. Kenapa bisa-bisanya kau nyasar ke kamar mayat?!"
Rendi masih tenang. "Aku nggak nyasar. Aku ke sana memang untuk menyembuhkan seseorang."
Aurora terdiam, matanya menyipit menatap pria yang selama ini dianggapnya beban.
Tapi untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang lain—ketidakpastian. Rendi tidak terlihat kacau seperti biasanya. Bahkan, cara bicaranya... jernih.
Aurora menarik napas panjang. "Ini... semua salahku. Aku yang salah. Seharusnya aku nggak ninggalin kamu. Seharusnya aku awasi kamu terus."
Ia mendesah, lalu merogoh ponsel dari saku jubah dokternya. "Aku akan ajukan cuti. Aku antar kamu pulang. Ini sudah keterlaluan."
Namun Rendi mengangkat tangannya, menahan.
"Tak perlu. Aku sudah sembuh," katanya, ringan.
Aurora mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Sembuh?"
"Tadi, tiba-tiba... semuanya terasa terang. Tidak ada suara-suara. Tidak ada bayangan. Tidak ada kekacauan," ucap Rendi perlahan, sambil menatap mata istrinya. "Aku merasa sadar. Utuh."
Aurora terpaku. Dalam hatinya timbul gejolak. Sudah bertahun-tahun Rendi meminum obat antipsikotik, dan selalu ada gejala sisa. Tapi sekarang… pria itu berdiri di hadapannya dengan mata yang penuh kesadaran.
"Rendi…" gumamnya ragu. "Kenapa kamu bisa ada di kamar mayat?"
Rendi menjawab tanpa ragu, "Karena aku harus mengobati seseorang."
Aurora terdiam. Kali ini benar-benar kehilangan kata. Apa yang barusan ia dengar… rasanya semakin tidak masuk akal. Ia mulai meragukan kewarasannya sendiri.
Bagaimana bisa ia mendengarkan dan mempertimbangkan ucapan seseorang yang barusan berada di kamar mayat dan mengaku menyembuhkan mayat?
Dia menggigit bibir, kesal pada dirinya sendiri. "Astaga… aku ikut gila…"
Rendi masih menatapnya. Kali ini dengan ekspresi yang sulit ditebak. Lembut, tapi penuh tekad. Matanya tidak lepas dari wajah Aurora.
Aurora segera mengalihkan pandangan, canggung. "Sudahlah. Kita ke UGD. Aku nggak mau ada kejadian aneh lagi."
Ia menggandeng tangan Rendi dan menariknya tanpa menunggu persetujuan.
Namun di tengah lorong, mereka berpapasan dengan Bayu Ardiansyah yang baru keluar dari ruang UGD.
Wajah pria itu semula tampak cerah, seakan membawa kabar baik. Tapi ekspresinya berubah seketika saat melihat Aurora dan Rendi bersama.
"Dokter Aurora," ucapnya dingin. "Anda diskors mulai sekarang."
Aurora menegang. "Apa maksudmu?!"
"Pagi ini terjadi salah diagnosis pada pasien bernama Tasya Hutama. Dan dokter jaga saat itu adalah kamu."
"APA?!" Aurora melotot. "Yang periksa dia dan tanda tangan surat kematian adalah kamu, Bayu! Bukan aku!"
Bayu mendekat, wajahnya tetap dingin. "Kalau kamu tidak mengaku, aku akan sampaikan pada keluarga Hutama… bahwa suamimu telah mengganggu jenazah putri mereka."
Aurora membeku. Ancaman itu lebih kejam dari tamparan. Keluarga Hutama adalah raja dari segala sponsor rumah sakit ini. Tasya adalah satu-satunya putri yang mereka cintai.
Jika mereka tahu bahwa jenazah anaknya sempat 'dikerjai' oleh pria yang punya riwayat kejiwaan...
"Bayu…" gumam Aurora lirih. "Kamu tega…"
Bayu mendekat lebih dekat. "Kalau kamu mengaku salah, masalah selesai. Keluarga Hutama tidak akan tahu. Aku akan katakan padanya bahwa akulah yang menyelamatkan Tasya."
Aurora mencengkeram tangannya kuat. Rahangnya mengeras. Tapi dia tahu, dalam posisi sekarang, dia tak punya pilihan.
Ia mengangguk perlahan, menunduk. "Baik. Aku yang salah."
Bayu tersenyum miring. "Bagus."
Rendi, yang sedari tadi diam, akhirnya bicara. "Kau tidak tahu malu, Bayu."
Bayu melirik tajam. "Apa kau bilang?"
"Dengan kemampuanmu yang begitu... dangkal, kau yakin bisa menyelamatkan Tasya?" Rendi menatap tajam. "Kau bahkan tidak bisa bedakan orang mati dan orang pingsan."
Bayu melangkah maju dengan marah, tapi sebelum sempat membalas, seorang perawat muncul dari ruang UGD dengan wajah panik.
"Dokter Bayu! Kondisi pasien Tasya kembali kritis!"
Bayu menegang. Aurora tersentak.
Rendi menatap tajam ke arah pintu UGD, lalu berkata datar, "Sudah kukatakan. Aku belum selesai."