Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kurir Tampan

Kurir Tampan

Nurul Jung | Bersambung
Jumlah kata
76.1K
Popular
8.3K
Subscribe
867
Novel / Kurir Tampan
Kurir Tampan

Kurir Tampan

Nurul Jung| Bersambung
Jumlah Kata
76.1K
Popular
8.3K
Subscribe
867
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeIdentitas TersembunyiUrbanCinta Sekolah
Kalau malam ia menjadi seorang kurir, tapi kalau pagi ia seorang murid sekolah biasa. Ia adalah pejuang hidup yang tak pernah di anggap. Namanya Keano, seorang remaja yang hidupnya jauh dari kata baik-baik saja. Kalau di rumah ia di injak-injak sedangkan kalau di sekolah dia di abaikan. Tapi semua berubah saat ia mengantar makanan ke rumah Clarine, cewek populer di sekolah yang tak sengaja mengetahui rahasia Keano, yakni jadi kurir. Satu pertemuan. Satu rahasia. Ini adalah perjuangan hidup dan cinta seorang remaja yang akan mencabik hatimu. Bisakah Keano dan Clarine bersatu di tengah kesenjangan sosial mereka?
Si pendiam

---

Pagi itu, suasana sekolah SMA Pelita Bangsa tak berbeda dari biasanya. Siswa-siswi berlalu-lalang dengan seragam yang sama, namun wajah dan energi mereka memancarkan semangat yang berbeda-beda. Beberapa tampak ceria menyambut mata pelajaran favorit, beberapa lainnya berjalan malas sambil memandangi layar ponsel, dan sebagian besar hanya berusaha sampai ke kelas tepat waktu. Di antara kerumunan itu, seorang siswa tampak berjalan dengan langkah ringan namun pasti, menyusuri lorong kelas lantai dua tanpa bersuara.

Namanya Keano Julian.

Siswa kelas XII IPS 3 itu bukanlah sosok yang populer. Tak banyak yang tahu nama lengkapnya, apalagi asal-usulnya. Namun mereka semua mengenal sosoknya—si pendiam yang selalu duduk di pojok belakang kelas, nyaris tak pernah bersuara kecuali saat dipanggil guru. Keano adalah potret murid yang tidak menonjol secara sosial, tapi tak bisa diabaikan sepenuhnya. Penampilannya bersih, rambut hitamnya selalu rapi, dan wajahnya menyimpan kesan datar yang sulit dibaca, tak ramah, tapi juga tidak angkuh.

Keano bukan tipe murid yang suka cari perhatian. Ia datang saat bel nyaris berbunyi, duduk di kursinya dengan tenang, mencatat pelajaran dengan rapi, lalu pergi tanpa menoleh ke siapa pun. Teman-teman sekelasnya sudah terbiasa dengan dia yang seperti itu. Beberapa mencoba mengajak bicara di awal tahun, namun Keano hanya menjawab seadanya, tanpa memberi celah untuk obrolan lebih lanjut. Sejak saat itu, mereka memilih tak menemaninya karena membosankan.

“Eh itu, si manusia robot datang. Perhatikan dia, dia akan duduk di sana dan ketika jam pulang, ia akan pulang begitu aja,” celetuk salah satu siswa pada teman sebangkunya, yang mana mereka memperhatikan Keano secara diam-diam.

Namun tak seorang pun tahu bahwa setiap gerakan Keano sudah diaturnya sedemikian rupa karena keterbatasan waktu. Baginya, sekolah ya sekolah, salah satu tempat persinggahan mencari ilmu, bukan tempat untuk menetap. Ia datang karena harus, bukan karena ingin.

Selesai kelas hari itu, Keano langsung menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam ransel butut berwarna hitam. Tidak ada coretan nama, tidak ada gantungan lucu seperti milik teman-teman lainnya. Semua barang Keano sederhana, fungsional, dan cenderung usang.

Di luar kelas, langit mulai berubah warna. Keano menuruni tangga dengan cepat, lalu berjalan kaki menuju halte. Ia tak pulang ke rumah lebih dulu. Sejak beberapa bulan terakhir, rumah bukan lagi tempat untuknya beristirahat. Itu adalah tempat ia harus menjaga diri, menahan suara, dan menunduk agar tak menambah beban emosi keluarga angkatnya.

Keano tinggal bersama keluarga Rahardian teman mendiang ayahnya, sedangkan istrinya bernama Dewi, mereka mengangkat Keano hanya karena alasan kasihan—atau mungkin tekanan sosial. Namun dari sikap dan nada bicaranya sehari-hari, Keano tahu bahwa keberadaannya tak pernah benar-benar diinginkan mereka.

Setiap malam, sepulang sekolah, Keano mengganti seragamnya dengan jaket lusuh dan helm yang warnanya sudah pudar. Ia bekerja sebagai kurir makanan lewat aplikasi online. Dengan sepeda motor tua yang kadang mogok, ia menyusuri jalanan kota untuk mengantar pesanan dari rumah ke rumah.

Bukan karena ia ingin mengisi waktu. Tapi karena ia harus seperti itu.

Keluarga angkatnya hanya memberinya tempat tidur dan makan seadanya. Untuk uang sekolah, transportasi, dan kebutuhan pribadi, Keano harus mencarinya sendiri. Tidak ada yang tahu hal ini, bahkan gurunya. Ia merahasiakan semua ini karena tidak ingin dikasihani, dan lebih parahnya di permalukan teman-temannya .

Ketika tiba di rumah, suasana berbeda dari kesibukan jalanan. Ruangan kamar yang sempit, masakan yang selalu terasa hambar, dan nada suara Dewi yang selalu terdengar penuh keluhan. Anak-anak kandung keluarga itu sering mengejek Keano sebagai anak pungut atau benalu. Sedangkan sang kepala keluarga, Rahardian. Pria itu jarang berbicara, lebih banyak diam dan di luar rumah dan kalau pun berbicara padanya selalu saja brrnada lebih mirip ke memerintah.

Namun Keano tidak pernah membalas mereka. Ia hanya diam, menerima, dan menunduk. Bukan karena lemah, tapi karena ia tahu melawan tidak akan mengubah apapun. Ia hanya ingin lulus sekolah dan pergi dari rumah itu secepat mungkin.

Di sekolah, Keano tidak pernah mendapat nilai jelek. Tapi ia juga tidak pernah ikut lomba atau tampil di depan umum. Ia tergolong murid yang pintar, tapi tidak terlihat menonjol karena ada yang lebih pintar. Bagi remaja itu, menjadi pusat perhatian hanya akan membuka celah untuk orang lain menyentuh kehidupannya—sesuatu yang ingin ia hindari.

Kadang, ada guru yang memperhatikan Keano lebih dalam. Namanya bu Andira, guru Bahasa Indonesia. Guru wanita itu pernah menanyakan soal tugas esai yang ditulis Keano tentang makna pulang. Tulisannya dalam dan menyakitkan, menyiratkan perasaan seorang anak yang tidak punya rumah sejati. Namun ketika ditanya apakah ia baik-baik saja, Keano hanya tersenyum dan mengangguk pelan.

Senyuman itu hanyalah tameng. Keano sudah terbiasa memakainya sejak kecil.

***

Hari itu, selepas mengantar pesanan terakhir, Keano berhenti di pinggir jalan, menatap layar ponsel yang menampilkan penghasilan harian. Jumlahnya cukup untuk dua hari makan dan ongkos bensin. Tidak lebih.

Udara malam mulai dingin, tapi remaja rajin itu tidak mengeluh. Ia hanya mengenakan helmnya kembali dan melaju pelan di jalanan kota yang makin sepi.

Ketika sampai di rumah, lampu ruang tamu sudah dimatikan. Ia membuka pintu dengan hati-hati, melepas sepatunya tanpa suara, lalu menuju kamar kecilnya yang hanya dipisahkan triplek dari dapur. Di dalam sana, ia merebahkan diri tanpa mengganti baju, lalu memejamkan mata dengan cepat.

Hari ini berlalu dengan baik dan besok pagi, hidupnya akan berulang lagi seperti hari ini, yakni sekolah, kerja, diam dan bertahan sedikit lagi.

Namun jauh di lubuk hatinya ada keinginan Keano, yakni ia tak menginginkan hidup seperti ini selamanya. Ia berharap suatu saat nanti, hidupnya akan berubah. Meski ia tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi, tapi ia percaya bahwa ia tidak akan selamanya menjadi si pendiam yang tak dianggap siapa-siapa oleh dunia.

Namun sejujurnya tidak semua orang menutup mata pada keberadaan Keano. Ada satu siswa di kelasnya yang diam-diam memperhatikan remaja itu—Raina. Gadis berambut sebahu itu duduk dua meja di depan Keano. Ia bukan tipe siswi yang cerewet, tapi juga tidak terlalu pendiam. Raina cukup disukai karena sifatnya yang tenang dan sopan, serta sering membantu teman jika diminta.

Awalnya, Raina hanya merasa penasaran. Setiap hari, Keano datang dengan wajah yang sama—dingin, tenang, dan tanpa ekspresi. Namun di balik ketenangan itu, Raina merasa ada sesuatu yang disembunyikan temannya itu. Mungkin rahasia besar tentang hidupnya.

Ia pernah melihat Keano menatap kosong ke luar jendela saat jam istirahat. Tatapan itu bukan milik remaja biasa. Ada beban berat di baliknya—seperti seseorang yang lelah hidup tapi tetap memaksakan diri untuk berjalan.

Suatu hari, tanpa sengaja Raina menjatuhkan pulpennya ke arah belakang. Saat ia membalikkan badan untuk mengambilnya, matanya bertemu dengan mata kelam milik Keano. Hanya sepersekian detik. Namun tatapan itu seperti menelanjangi dinding keheningan yang selama ini membungkus mereka.

Keano langsung menunduk. Raina pun tak berkata apa-apa. Tapi sejak hari itu, perhatiannya terhadap remaja itu makin besar.

Sayangnya, bagi Keano, perhatian adalah awal dari bahaya. Ia sudah terlalu sering dikecewakan orang-orang yang mendekat laku setelah tahu mereka pergi. Maka setiap kali seseorang tampak tertarik padanya, remaja itu memilih mundur lebih jauh.

Namun, hidup tak pernah bisa ditebak. Dan kadang, seseorang yang mencoba menjaga jarak justru akan bertemu takdir paling tak terhindarkan.

tbc---------

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca