Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Hari-Hari yang Kita Tutup dengan Tawa, Meski Dunia Tak Ramah

Hari-Hari yang Kita Tutup dengan Tawa, Meski Dunia Tak Ramah

Ombob | Tamat
Jumlah kata
236.7K
Popular
100
Subscribe
12
Novel / Hari-Hari yang Kita Tutup dengan Tawa, Meski Dunia Tak Ramah
Hari-Hari yang Kita Tutup dengan Tawa, Meski Dunia Tak Ramah

Hari-Hari yang Kita Tutup dengan Tawa, Meski Dunia Tak Ramah

Ombob| Tamat
Jumlah Kata
236.7K
Popular
100
Subscribe
12
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeDarah MudaPertualanganUrban
Di sebuah kota kecil yang penuh dengan ketidakpastian, empat remaja — Raka, Dito, Bayu, dan Jaka — menghadapi realita kehidupan yang tidak selalu ramah. Berasal dari latar belakang keluarga dan masalah berbeda, mereka menemukan satu sama lain sebagai pelarian dan kekuatan. Bersama-sama, mereka belajar arti sejati persahabatan, berbagi tawa di tengah kesedihan, dan berani bermimpi meski masa depan terlihat suram. Melalui perjalanan mereka, novel ini mengangkat bagaimana ikatan persahabatan bisa menjadi cahaya penuntun di tengah gelapnya dunia.
Bab 1 : Awal Persahabatan

Langit masih berwarna abu-abu kelam ketika alarm ponsel tua Raka bergetar pelan di samping bantal tipisnya. Ia membuka mata dengan malas, menarik nafas panjang, lalu duduk perlahan agar tak membangunkan ibunya yang masih terlelap. Dapur kontrakan mereka hanya beberapa langkah dari kasur gulung, dan suara desisan minyak panas segera terdengar setelah ia menyalakan kompor minyak tanah.

Setiap pagi, sebelum ayam jago tetangga sempat berkokok, Raka sudah menyiapkan gorengan yang akan dibawa ibunya ke pasar. Usianya baru 15 tahun, tapi tanggung jawab di pundaknya seakan telah melewati batas umur. Ia tahu ibunya kelelahan, dan satu-satunya cara untuk meringankan beban itu adalah membantu. Bukan karena disuruh, tapi karena cinta.

Setelah semua selesai, ia buru-buru mandi dan berganti seragam. Kaus kaki bolong sebelah dan sepatu yang sudah berbicara tak menjadi alasan untuk terlambat. Sekolah baginya bukan sekadar tempat belajar, tapi satu-satunya ruang untuk bermimpi.

Hari itu, suasana di gerbang sekolah sedikit berbeda. Ada angkot berhenti, dan seorang anak baru turun dengan langkah berat. Celananya sedikit kependekan, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tak menunjukkan semangat. Ia berdiri seperti orang yang sedang menyesal telah sampai.

Raka memperhatikan dari kejauhan. Ada sesuatu dalam mata anak itu — bukan rasa takut, tapi rasa sudah terlalu sering kecewa.

“Lu anak baru ya?” tanya Raka, mendekat setelah memberanikan diri.

Anak itu menoleh pelan, mengangguk. “Gue Dito. Pindahan dari Medan.”

Singkat. Dingin. Tapi Raka tersenyum kecil dan mengangguk. “Gue Raka. Yuk masuk bareng.”

Di kelas, mereka duduk sebangku. Dito lebih banyak diam, sesekali mencatat, sesekali melamun. Tapi ketika jam istirahat tiba, Raka mengeluarkan bekalnya: dua potong gorengan sisa pagi tadi.

“Lu mau?” tawar Raka.

Dito ragu, tapi akhirnya mengambil satu. Mungkin bukan karena lapar, tapi karena tahu itu bentuk sapaan yang tak tertulis.

Hari-hari berikutnya mereka mulai akrab. Dan dalam waktu singkat, dua sosok lain bergabung dalam lingkar kecil mereka.

Bayu, anak tukang becak, datang dengan tawa yang tak pernah habis. Ia selalu membawa cerita lucu, meski kadang kaos kakinya tidak sama sebelah. Di balik sikapnya yang ceria, Bayu menyimpan banyak luka yang tak pernah diceritakan dengan serius.

Jaka, anak seorang polisi, justru kebalikannya. Tegas, pendiam, dan terlihat selalu kuat. Tapi Raka tahu, kekuatan itu berasal dari tekanan yang tak bisa diceritakan ke siapa-siapa.

Mereka berempat — Raka, Dito, Bayu, dan Jaka — menjadi kelompok kecil yang tak menonjol. Tidak populer, tidak keren, tapi memiliki sesuatu yang orang lain tidak punya: kejujuran dalam berteman.

Hujan turun gerimis saat mereka pulang sekolah sore itu. Raka dan Dito berteduh di bawah atap warung kecil, sementara Bayu sibuk menulis sesuatu di halaman belakang buku catatannya yang nyaris penuh coretan. Jaka datang belakangan, basah kuyup tapi tak peduli.

“Astaga, Jak… basah semua tuh seragam,” tegur Dito.

“Biarin. Gue lari dari rumah tadi,” jawab Jaka sambil menjatuhkan tasnya ke lantai.

Ketiganya saling pandang. Tak satu pun bertanya lebih lanjut. Mereka tahu, Jaka bukan tipe orang yang mau dikasihani. Tapi tatapan matanya saat itu—kosong, sedikit berkaca—cukup untuk memberi tahu ada yang tak beres.

Raka mengeluarkan sisa gorengannya dari kantong plastik. Ia sodorkan ke Jaka tanpa bicara.

Jaka menerimanya, lalu duduk. “Bokap gue mukul nyokap tadi pagi. Di depan gue.”

Tak ada yang tertawa, tak ada yang berkata apa-apa. Hanya diam. Tapi di antara diam itulah tumbuh pengertian yang lebih dalam dari sekadar kalimat penghibur. Sebab mereka semua tahu: hidup mereka jauh dari kata sempurna.

Di lingkungan sekolah, keempat anak ini jarang dilirik. Mereka bukan atlet, bukan juara kelas, dan bukan anak yang punya uang untuk jajan di kantin tiap hari. Tapi justru dari keterasingan itu, mereka menemukan ruang aman—dalam tawa, ejekan ringan, dan diam yang saling memahami.

Bayu, yang biasanya paling cerewet, hari itu hanya duduk memandangi jalan yang becek. “Gue pernah liat ibu gue nangis sambil ngerakit sapu lidi. Gak pernah lupa wajahnya waktu itu,” katanya lirih.

“Lu masih tinggal di kolong flyover?” tanya Raka hati-hati.

Bayu mengangguk. “Tapi sekarang udah agak mendingan. Dapet kamar petak di pinggir kali. Nggak kehujanan lagi, walau kalau pas banjir, kasur ikut ngambang.”

Dito tertawa pelan. “Gokil sih. Kasur ngambang.”

“Emang asik. Kayak punya kasur kapal pesiar sendiri,” sahut Bayu, tersenyum lebar walau matanya berkaca.

Tawa kecil itu menular. Mereka akhirnya tertawa, bukan karena lucu, tapi karena itu satu-satunya cara agar hidup tak terasa terlalu berat.

Hujan pun mereda, tapi tidak dengan awan dalam hidup mereka. Namun sejak hari itu, mereka tahu: jika langit tak bisa dijinakkan, maka setidaknya mereka bisa saling jadi payung.

Hari-hari berikutnya mereka habiskan bersama, hampir tanpa jeda. Sepulang sekolah, mereka sering duduk di taman kecil dekat rel kereta yang sudah lama tak terawat. Tempat itu jadi semacam “markas rahasia”—tak ada guru, tak ada orang dewasa, hanya rerumputan liar, suara roda besi dari kejauhan, dan kebebasan untuk menjadi diri sendiri.

Di sana, impian-impian liar sering dilontarkan begitu saja.

“Kalau gue jadi kaya nanti,” kata Bayu sambil menggigit batang rumput, “gue mau bangun rumah gede banget buat nyokap. Kamar mandinya bisa buat main bola.”

“Kalau gue,” sambung Raka, “mau kuliah. Jadi guru. Biar anak-anak dari keluarga kayak kita ngerasa nggak sendirian.”

Dito hanya tersenyum. Ia tak langsung menjawab.

“Lu, Dit?” tanya Jaka sambil melempar kerikil ke rel.

Dito termenung sejenak. “Gue pengen punya studio musik kecil. Yang penting cukup buat gue main gitar tiap malam. Sendiri juga nggak apa-apa.”

Jaka tidak langsung bicara. Tapi tiba-tiba ia berdiri dan berkata dengan nada datar, “Gue nggak tahu pengen jadi apa. Tapi gue janji nggak akan jadi kayak bokap.”

Sunyi. Lalu angin berhembus pelan, membawa keheningan yang terasa berat, tapi juga penuh pengertian. Tak ada yang menyela. Karena mereka tahu, kadang impian bukan soal ingin jadi siapa, tapi ingin lepas dari siapa.

Sore itu mereka pulang terlambat. Raka harus berlari karena tahu ibunya akan khawatir. Bayu naik becak ayahnya sambil mendorong dari belakang karena ban kempes. Dito menyusuri gang sempit ke rumah barunya, mencoba membiasakan diri dengan bau kayu lapuk dan atap bocor. Dan Jaka... Jaka hanya berjalan pelan ke arah barat, ke rumah yang lampunya tak pernah hangat.

Namun satu hal yang tak berubah: mereka menyapa malam dengan hati yang lebih tenang. Karena tahu, besok masih ada tempat untuk duduk bersama, bercanda, dan menertawakan hidup yang seringkali tak lucu.

Malam itu, Raka memandangi langit dari jendela kamarnya yang tanpa kaca. Ibunya sudah tidur. Radio butut di atas meja memutar lagu lama dari pita kaset. Lagu itu bukan favoritnya, tapi malam ini terdengar seperti pelukan.

Ia menulis di buku tulis sisa pelajaran hari ini:

"Kadang, tawa adalah satu-satunya hal yang kita punya. Tapi selama itu bisa dibagi, hidup tetap bisa dinikmati."

Ia tersenyum. Lalu memejamkan mata.

Hari Senin datang dengan langit mendung. Udara terasa berat, seperti membawa firasat. Di lapangan upacara, para siswa berdiri berbaris, wajah-wajah bosan menatap ke depan. Raka, Dito, Bayu, dan Jaka berdiri sejajar, seperti biasa—berempat di barisan belakang.

Saat kepala sekolah memberi sambutan panjang lebar tentang kedisiplinan, mata Dito tak henti melirik jam tangan murahan di pergelangan tangannya. Raka menyikutnya pelan. “Buru-buru amat. Naksir anak barisan depan ya?”

Dito melirik dengan malas. “Bukan. Gue cuma lagi mikir, ngapain hidup harus penuh aturan padahal kita aja enggak pernah ditanya mau hidup kayak gimana.”

Raka terdiam. Kata-kata Dito sering seperti itu—dingin, tapi mengandung luka yang dalam.

Selesai upacara, pelajaran hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin karena guru Matematika yang galak, atau karena Dito mendapat teguran karena tak membawa buku tugas. Tapi hal paling mengejutkan datang saat istirahat: ada pengumuman lomba band akustik antar kelas, untuk perayaan Hari Ulang Tahun Sekolah bulan depan.

Dito, yang biasanya malas, tiba-tiba terlihat duduk tegak. Tangannya mengepal. “Gue mau ikut,” katanya pelan pada teman-temannya di bawah pohon beringin tua.

“Lu bisa main alat musik?” tanya Bayu dengan mata melebar.

“Gitar. Dulu bokap sering ngajarin... sebelum semuanya jadi berantakan,” jawab Dito lirih.

Raka menatapnya dalam-dalam. “Kalau gitu, kita bantu lu. Kita jadi tim lu.”

“Tapi kita bukan anak musik,” celetuk Jaka. “Gue bisa pukul meja doang, itu pun cuma waktu marah.”

Mereka tertawa. Tapi tawa itu justru meyakinkan Dito—bahwa meski mereka bukan musisi, mereka bisa jadi tim.

Dalam waktu singkat, siang dan sore mereka habiskan dengan latihan. Dito meminjam gitar tua dari Pak RT, Raka menulis lirik, Bayu belajar jadi vokalis meski sering fals, dan Jaka... akhirnya benar-benar jadi pemain cajon dari kardus bekas mie instan.

Suara mereka tak sempurna, tapi penuh hati. Mereka bukan mengejar juara—mereka sedang membuktikan bahwa hidup bisa dinyanyikan, meski nada-nadanya sering sumbang.

Salah satu lagu ciptaan Raka berjudul: “Tawa yang Kita Sisakan”. Lagu itu bercerita tentang tawa-tawa kecil yang bisa menyelamatkan jiwa, tentang sahabat yang tak sempurna tapi selalu ada.

Dito menyanyikannya dengan mata setengah tertutup, seolah bernyanyi pada luka-lukanya sendiri.

Saat latihan usai, Bayu berkomentar sambil mengelap keringat, “Kalau nanti kita gak menang, minimal kita udah ngebuktiin: hidup emang susah, tapi bukan berarti kita harus diem aja.”

Raka menambahkan, “Dan mungkin... ini bukan soal lomba. Tapi soal kita yang saling nemuin satu sama lain.”

Jaka berdiri, menyandarkan gitar ke tembok, dan berkata pelan, “Gue pikir... ini awal dari sesuatu yang bakal lama. Mungkin bukan sekadar persahabatan.”

Sore itu matahari temaram, tapi hati mereka terang. Meski dunia tak ramah, mereka menemukan tempat untuk pulang: satu sama lain.

Malam itu, keempatnya duduk di pinggir rel seperti biasa. Tapi kali ini suasananya berbeda. Tak banyak canda, tak banyak kata. Hanya embusan angin malam yang menyapu rambut mereka yang basah oleh keringat latihan.

Dito memetik gitar pelan, memainkan intro lagu ciptaan mereka yang belum sempurna. Raka menulis ulang liriknya di buku bekas pelajaran Biologi, dengan coretan dan revisi di sana-sini. Bayu melipat kardus bekas, menyusunnya kembali menjadi cajon darurat. Dan Jaka hanya menatap langit, sesekali menggigit ujung pulpen seperti sedang menimbang sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Lu sadar gak,” ujar Raka tanpa menoleh, “sebelum kita kenal, hidup kita masing-masing kayak... jalan buntu.”

Bayu mengangguk. “Kayak orang yang jalan sendirian di lorong gelap, gak tahu kapan bakal ketemu ujung.”

“Tapi sekarang,” lanjut Dito pelan, “meski jalannya masih gelap, setidaknya kita bisa pegang tangan satu sama lain.”

Jaka menghela napas. “Kalau hidup itu perang, kalian... satu-satunya pasukan yang gue percaya.”

Hening.

Lalu keempatnya berdiri. Raka merangkul pundak Dito, Dito merangkul Bayu, dan Bayu merangkul Jaka. Berdiri dalam satu barisan, menghadap rel yang entah mengarah ke mana.

Saat kereta malam lewat dengan suara gemuruh, mereka tak menutup telinga. Mereka menatapnya lekat, seolah sedang berkata: “Kami masih di sini. Kami belum kalah.”

Dan malam itu, di bawah langit gelap tanpa bintang, empat anak laki-laki berusia lima belas tahun mengikat janji tak tertulis: bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menutup hari dengan tawa. Meski dunia tak ramah, mereka akan selalu menemukan cara untuk tetap bertahan—bersama.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca