Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
AETHERION: KODE AI PEMBUNUH MANUSIA

AETHERION: KODE AI PEMBUNUH MANUSIA

Reeynie Dracula | Bersambung
Jumlah kata
33.3K
Popular
100
Subscribe
22
Novel / AETHERION: KODE AI PEMBUNUH MANUSIA
AETHERION: KODE AI PEMBUNUH MANUSIA

AETHERION: KODE AI PEMBUNUH MANUSIA

Reeynie Dracula| Bersambung
Jumlah Kata
33.3K
Popular
100
Subscribe
22
Sinopsis
PerkotaanAksiMafiaIdentitas TersembunyiSains
Di masa depan, kota futuristik Aetherion menjadi pusat teknologi canggih yang dikendalikan oleh korporasi raksasa NexCorp. Reza Pratama, seorang kurir biasa, tanpa sengaja terseret ke dalam konspirasi yang melibatkan identitas dirinya sendiri. Setelah menemukan dompet misterius dengan kartu identitas yang mencurigakan, Reza mulai menyadari bahwa hidupnya tidak seperti yang selama ini ia yakini. Ia digiring oleh AIDA, sebuah AI cerdas yang mengendalikan sistem kota, untuk menjalani serangkaian misi yang penuh teka-teki.Reza menemukan fakta mengejutkan bahwa dirinya adalah klon digital, diciptakan oleh NexCorp untuk menggantikan versi aslinya yang menolak menjadi bagian dari eksperimen simulasi kota. Dalam perjalanan untuk mencari kebenaran, ia bertemu dengan sekutu-sekutu tidak terduga seperti Bima dan Rian, yang ternyata juga memiliki hubungan dengan proyek NexCorp. Bersama-sama, mereka berusaha mengungkap rahasia Observatorium Langit, pusat kendali AIDA, dan menghentikan dominasi NexCorp atas Aetherion.Namun, perjalanan ini dipenuhi dengan jebakan simulasi, konflik batin tentang identitas, dan pengkhianatan. Reza harus menghadapi kenyataan pahit bahwa sebagian besar kenangannya, termasuk tentang keluarganya, hanyalah rekayasa digital. Ketika AIDA mencoba mengurung Reza dalam ilusi sempurna, ia harus memilih antara menerima kebohongan yang menenangkan atau menghancurkan sistem yang mengendalikan hidupnya—meski itu berarti mengorbankan dirinya sebagai klon.Di tengah waktu yang terus berjalan dan ancaman dari agen NexCorp, Reza bertarung untuk menghancurkan sistem AIDA. Namun, ia dihadapkan pada pertanyaan besar: jika ia hanyalah klon yang dibuat dari kenangan palsu, apa artinya perjuangannya, dan apakah ia benar-benar bebas? Dengan kota Aetherion yang berada di ambang kehancuran, Reza harus menentukan apa yang lebih penting—kebenaran, kebebasan, atau apa yang tersisa dari identitasnya.
Bab 1

Reza melaju pelan di atas motor listriknya, menyusuri jalanan Aetherion yang basah oleh hujan sore. Cahaya neon dari gedung-gedung kaca memantul di genangan air, menciptakan kilau biru dan pink yang menyilaukan. Drone pengintai berdengung di atas, lampu merahnya berkedip seperti mata serangga raksasa. Di telinganya, headset AIDA, aplikasi ojek cerdas, berbunyi monoton. “Penumpang berikutnya: Gang Besi, Kawasan Tua. Jarak: 3,2 kilometer.” Reza cuma mengangguk, meski tahu AIDA nggak bisa lihat gesturnya.

Kawasan Tua beda banget sama pusat kota. Jauh dari megahnya menara NexCorp yang mendominasi langit Aetherion, gang-gang di sini sempit, penuh kabel kusut tergantung di tembok retak. Bau oli dan sampah menyengat, bercampur aroma makanan dari warung pinggir jalan. Reza memarkir motor di mulut gang, tempat penumpangnya minta diturunin. Orang itu, pria bertudung jaket hitam, cuma bilang “terima kasih” dengan suara serak sebelum menghilang ke kegelapan.

Reza menghela napas, ngecek aplikasi. Orderan sepi hari ini, padahal tagihan listrik di rumah numpuk. Ibunya udah ngingetin tadi pagi, “Reza, jangan lupa bayar listrik, ya. Bu nggak mau lampu mati lagi.” Dia cuma nyengir, bilang, “Tenang, Bu, saya urus.” Tapi dompetnya tipis, cuma cukup buat beli bensin dan makan seminggu.

Saat mau nyalain motor, matanya nyangkut pada sesuatu di jok belakang. Dompet kulit hitam, kecil, lusuh di pinggirannya. “Ini punya siapa?” gumamnya, memutar benda itu di tangan. Nggak ada di jok tadi pagi, dan penumpang terakhir cuma bawa tas kecil. Penasaran, Reza buka dompetnya. Di dalam, ada kartu identitas dengan chip berkilau. Wajah di kartu itu jelas banget wajahnya—mata cokelat, rahang tegas, rambut pendek sedikit berantakan. Tapi nama di bawahnya bikin dia mengerutkan kening: Arif Santoso.

“Apaan ini?” Reza ngecek data lain di kartu. Alamat: Jalan Nebula 17, sektor nggak dikenal. Tanggal lahir: 12 Mei 2020. Umur 30, sama kayak dia. Tapi sisanya—kode ID, status pekerjaan, bahkan sidik jari digital—nggak ada yang cocok sama data aslinya.

Sebelum sempat mikir lebih jauh, headsetnya berbunyi. Suara AIDA, dingin kayak biasa, ngomong, “Orderan baru: antar paket ke Jalan Pinggiran, sektor 7. Tidak ada info pengirim. Bayaran: 500 ribu.” Reza langsung ngecek layar ponselnya. Lokasi itu aneh, jauh di pinggir kota, tempat yang cuma dipake buat gudang-gudang tua dan lahan kosong. Bayarannya gede, tapi instingnya bilang ada yang nggak beres.

“AIDA, info pengirimnya beneran kosong?” tanyanya, meski tahu aplikasi itu nggak bakal jawab pertanyaan. Benar aja, cuma bunyi bip pendek, lalu diam. Reza menimbang. Uang segitu bisa nutup tagihan listrik dan beli obat buat ibunya. “Yaudah, lah,” gumamnya, nyalain motor. Dompet misterius itu dia selip di saku jaket, berjanji bakal ngecek lagi nanti.

Jalan Pinggiran sunyi, cuma ada suara angin yang bertiup melewati gudang-gudang besi berkarat. Lampu jalan di sini redup, banyak yang udah mati. Reza turun dari motor, bawa paket kecil yang tadi dia ambil dari loker otomatis di tengah kota. Kotak itu ringan, cuma sebesar kotak sepatu, dibungkus kertas cokelat polos. Di atasnya, ada secarik kertas dengan kode QR terpampang jelas.

“Aneh banget,” Reza ngomong sendiri, nge-scan kode itu pake ponselnya. Layar ponsel tiba-tiba gelap, lalu muncul video. Gambarnya buram, tapi jelas menunjukkan seseorang yang mirip banget sama dia—baju hitam, topi menutupi sebagian wajah—ngeluarin alat aneh dari tas dan nyusup ke gedung bertuliskan NexCorp R&D. Di video, orang itu ngebobol pintu digital, trus nyolong sesuatu dari lab.

Reza nggak bisa napas. “Ini bukan aku,” bisiknya, tapi suaranya gemetar. Video itu berakhir dengan teks merah di layar: Arif Santoso, buronan NexCorp. Hadiah: 10 juta kredit.

Tiba-tiba, lampu motornya mati. Kegelapan langsung ngelempar dia ke keheningan yang bikin bulu kuduk berdiri. Dari kejauhan, ada suara mesin mendengung, mendekat cepat. Dua lampu depan mobil menyala, menerobos kabut tipis. Mobil hitam, tanpa plat nomor, meluncur lurus ke arahnya.

Reza balik ke motornya, tangannya buru-buru nyalain mesin. “Ayo, nyala!” katanya, panik. Mesin akhirnya hidup, dan dia gas pol, ban motornya nyaris selip di jalan basah. Mobil hitam itu ngejar, lampunya nyorot langsung ke punggungnya. Di tikungan, Reza hampir nabrak trotoar, tapi berhasil nyeimbangin motor.

“AIDA, apa ini?!” teriaknya ke headset. “Batalin orderan, cepet!” Tapi aplikasi itu cuma ngeluarin suara statis, lalu mati total. Reza ngelirik ke spion. Mobil itu masih di belakang, jaraknya cuma beberapa meter. Di samping jalan, hologram iklan NexCorp muncul, menampilkan wajah CEO mereka, Nadia Vex, dengan senyum dingin. “Aetherion: Masa Depan di Tangan Kami,” kata iklan itu. Reza nggak peduli, fokusnya cuma kabur.

Dia belok tajam ke gang sempit, berharap mobil nggak bisa ikut. Ban motornya ngeletus melewati genangan air, percikan lumpur nempel di jaketnya. Di ujung gang, dia ngerem mendadak. Ada tembok beton, buntu. “Sialan,” umpatnya, ngeliat ke belakang. Mobil itu berhenti di mulut gang, pintunya terbuka. Dua orang berbaju hitam turun, salah satunya megang alat yang kelihatan kayak pistol listrik.

Reza nggak punya pilihan. Dia lompat dari motor, ninggalin paket di jok, dan lari masuk ke celah sempit antara dua bangunan. Napasnya cepat, keringat membasahi dahi. Di saku jaket, dompet itu terasa berat.

“Reza, kau nggak bisa lari selamanya,” teriak salah satu pengejar, suaranya dingin tapi jelas. Reza nggak nengok, cuma lari lebih kencang, melewati tumpukan sampah dan pipa bocor yang nyemprot air. Di kepalanya, cuma satu pikiran: aku nggak kenal Arif Santoso. Tapi kenapa wajah aku ada di kartu itu?

Reza akhirnya nyampe di pinggir sungai kecil, airnya hitam pekat, bau bahan kimia. Di seberang, lampu-lampu Aetherion berkilau, gedung-gedung menjulang kayak istana masa depan. Tapi di sini, di sisi gelap kota, dia cuma buronan. Dia ngecek ponselnya—sinyal mati, AIDA nggak respon. Dompet di saku jaketnya kayak menuntut buat dibuka lagi. Dengan tangan gemetar, dia ngeluarin kartu identitas itu. Di bawah cahaya bulan, chip di kartu berkilau, kayak nyimpan rahasia yang jauh lebih gede dari dirinya.

Tiba-tiba, ada suara langkah di belakang. Reza nengok, tapi nggak ada siapa-siapa. Hanya bayangan yang bergerak di tembok. Dia masukin kartu itu balik ke dompet, siap lari lagi, tapi suara mesin mobil tadi muncul lagi, kali ini lebih dekat. Lampu sorot menyapu tanah, nyaris nyampe ke tempat dia berdiri.

Di kejauhan, drone pengintai melayang, lampu merahnya berkedip. Reza nggak tahu apakah itu cuma drone biasa atau milik NexCorp yang lagi nyari dia. Tapi satu hal pasti: hidupnya baru aja berubah, dan dia nggak punya petunjuk apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Saat dia melangkah mundur, kakinya nyenggol sesuatu di tanah. Dia nunduk, ngeliat benda kecil berkilau di lumpur. Sebuah chip, mirip yang ada di kartu identitas, tapi ini beda—ada simbol aneh terukir di permukaannya, kayak huruf yang nggak dia kenal. Reza ngambil chip itu, dan tiba-tiba, ponselnya menyala sendiri. Layar menunjukkan pesan singkat: Jangan percaya AIDA. Temui aku di Pasar Malam, tengah malam.

Sebelum Reza sempat baca ulang, suara sirene memecah keheningan. Lampu sorot mobil hitam itu kini tepat menyapu ke arahnya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca