Ryan Leonardo berjalan tergesa-gesa dengan membawa baki berisi empat gelas minuman yang masih mengepulkan asap panas.
Wajahnya tampak keruh menyiratkan sebuah kekhawatiran.
"Aku bilang tehnya yang pakai susu, bukan kopinya. Tolol!" Daniel Samanto berkacak pinggang di hadapan Ryan dengan dada naik turun pertanda emosinya yang siap meledak.
Tatapan matanya menghujam wajah Ryan dengan sorot mata tajam dan lapar seperti singa yang siap menerkam hewan buruannya.
Daniel Samanto adalah karyawan senior di PT. Bara Negara, sementara Ryan belum genap satu tahun bekerja di perusahaan tersebut.
"Tapi, Bang. Aku ingat benar lho tadi Bang Daniel bilang pesan kopi susu sama teh manis ...." Ryan coba membela diri dengan suara sedikit tergagap-gagap. Keringat sebesar biji jagung bermunculan di dahi Ryan.
Ryan tahu kalau dirinya laksana sebuah telur yang sedang berada di ujung tanduk sekarang.
Mendengar jawaban Ryan, sontak Daniel dan tiga rekannya tertawa lantang. Jenis tawa mencemooh penuh hinaan.
Tampak sekali mereka sangat menikmati rutinitas pagi mereka ini. Karena ngerjain Ryan sudah seperti hiburan wajib sebelum mulai bekerja.
Mendengar tawa empat orang di hadapannya, nyali Ryan pun mengerut dengan cepat seperti kerupuk yang jatuh ke dalam air. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
Karena bukan sekali ini saja hal seperti ini terjadi, Ryan pun seperti sudah pasrah menerima hal-hal di luar nalar yang dilakukan oleh Daniel dan teman-temannya pada dirinya.
Daniel dan kroninya saling bertukar pandang penuh arti lalu Daniel maju satu langkah. "Memangnya apa yang bisa kau ingat? Nggak usah kayak orang bener deh, aku tahu kalau kepalamu ini isinya cuma sampah!" Daniel menoyor kepala Ryan hingga Ryan sedikit terhuyung ke belakang dan harus berusaha menyeimbangkan tubuh agar minuman dalam baki tidak tumpah.
"Bener, Bang ... sumpah ... aku inget tadi Bang Daniel bilangnya kopi sus ...."
'PLAK!'
Belum sempat Ryan menyelesaikan kalimatnya, satu tamparan tangan kanan Daniel sudah mendarat di pelipis Ryan. Saking kerasnya tamparan Daniel, kepala Ryan bahkan sampai terpuntir ke samping.
Salah satu gelas berisi teh terguling di atas nampan dan cairan panas melebar di atas nampan membasahi baju bagian depan Ryan.
Demi melihat seragam kerja kesayangannya basah, Ryan sampai lupa pedihnya tamparan Daniel dan secara refleks menjauhkan nampan dari tubuhnya.
Malang bagi Ryan. Karena ia terlalu kuat mengayunkan nampan di tangannya, teh panas yang menggenang di atas nampan terpercik dan mengenai tubuh Daniel hingga pria berangasan itu pun jadi semakin muntab.
"BOCAH TOLOL!" Daniel meraung murka dan dua tangannya seketika terayun ke depan menghantam bagian bawah nampan hingga nampan terbalik dan semua isinya membuncah ke udara seperti ledakan gunung berapi.
Tiga teman Daniel yang lain seketika melompat menjauh menghindari percikan kopi dan teh panas. Sementara Ryan tak punya pilihan lain selain menyilangkan menyilangkan kedua lengannya di depan wajah untuk meminimalisir kekacauan yang menimpa dirinya pagi ini.
Nampan jatuh berkelontangan di lantai membuat seorang wanita muda cantik menawan menoleh ke arah keributan. Wanita itu mendorong kursi roda dengan seorang wanita lanjut usia duduk di atasnya.
Karena terlalu fokus dengan apa yang sedang terjadi, baik Ryan maupun Daniel dan juga teman-temannya tidak ada yang melihat wanita itu melintas di seberang ruangan.
Wanita itu adalah Celine Melinda, dia sangat kaya dan memiliki banyak perusahaan, dia juga merupakan salah satu CEO PT. Bara Negara, perusahaan tambang batu bara tempat Ryan dan Daniel bekerja. Sementara wanita yang duduk di kursi roda adalah Maya Melinda, ibunya.
Maya Melinda, menderita kanker stadium akhir dan pihak rumah sakit pun sudah angkat tangan dengan penyakit yang diderita wanita super kaya tersebut.
Maya harus terus rutin rawat jalan di rumah sakit untuk mempertahankan hidupnya dari penyakit yang terus menggerogoti hidupnya dari dalam.
Tapi, bahkan dalam keadaan seperti itu pun, yang paling dikhawatirkan oleh Maya adalah Celine, putri tunggalnya. Ia takut kalau nanti saat dirinya meninggal, putrinya itu belum menemukan pria yang sesuai seperti apa yang ia inginkan.
"Ada baiknya kalau kau bisa memiliki anak dari Ryan itu ...." lirih Maya saat ia dan Celine sudah duduk nyaman di mobil yang akan membawa mereka menuju rumah sakit.
"Mama apaan sih?" Celine memandang Maya dengan tatapan khawatir karena ia mengira penyakit telah membuat mamanya linglung.
"Mama serius, Celine ... Mama nggak mau mati saat kamu masih sendiri, Sayang ... Setidaknya masih ada anak yang bisa menemanimu." Suara Maya terdengar lemah, tapi tegas. Membuat Celine yakin kalau mamanya masih waras.
"Maksud Mama?" Celine menelengkan kepalanya yang cantik, memfokuskan seluruh perhatiannya pada Maya.
"Mama masih ingat kalau Ryan mendapatkan nilai paling tinggi saat dulu mengikuti ujian nasional, tapi kasihan sekali dia, berubah menjadi seperti ini karena sebuah kecelakaan."
Sebuah mobil berisi penuh batu bara menghantam Ryan hingga tubuhnya terpental beberapa meter dari lokasi kejadian, dan kecelakaan itu telah sepenuhnya merenggut kecerdasan dan kecemerlangan Ryan.
Mengubahnya menjadi pemuda linglung yang suka melamun dan susah menerima instruksi pekerjaan. Bahkan beberapa kali saat bekerja ia terlihat mengenakan sarung tangan kiri di tangan kanan, atau sebaliknya.
Hal itu pun membuat Ryan selalu jadi bulan-bulanan oleh rekan kerjanya dan bahkan mereka memperlakukan Ryan layaknya seorang pembantu.
"Ya lalu?" Tanya Celine lembut untuk mengejar apa yang sebenarnya diinginkan oleh mamanya.
"Ryan ini pintar, tinggi dan tampan. Jika bisa melahirkan anaknya, anaknya pasti akan pintar dan tampan atau cantik... Dan satu lagi, kamu tidak perlu khawatir untuk berebutan hak asuhnya. Orang seperti Ryan, tak akan terpikir untuk mengeruk keuntungan dari keluarga kita sebagaimana teman-teman mama yang selama ini terus ingin menjodohkan anak mereka dengan kamu ...."
Maya menarik napas panjang seolah semua yang ia katakan barusan telah menyedot habis seluruh energi dari tubuhnya yang memang sudah sangat lemah.
Dalam diam, Celine menimbang-nimbang ide dari mamanya dan diam-diam ia merasa kalau itu adalah sebuah ide yang cemerlang.
Ia memandang wajah pucat mamanya dengan begitu terpesona. Bahkan dalam keadaan yang sudah sangat lemah seperti ini sekali pun, mamanya masih sanggup memberinya sebuah ide yang gilang gemilang demi masa depan dirinya dan juga kelanjutan nasib keluarga mereka.
Mobil terus melaju menuju rumah sakit. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seolah berlarian di luar jendela.
Celine tersenyum tipis sambil membayangkan wajah Ryan yang meskipun sering melakukan hal-hal di luar nalar, tapi Celine juga tahu kalau Ryan memiliki wajah yang cukup enak dipandang.
"Bagaimana, Sayang? Kamu bisa, kan? Ini semua demi keamanan kamu dan keberlangsungan perusahaan keluarga. Perusahaan yang sudah mama bangun dengan darah dan air mata. Mama ingin memastikan kalau kamu tidak akan sendiri saat nanti tiba waktunya mama harus pergi ...."
Suara lemah dan tatapan mata sayu penuh harap Maya menyadarkan Celine dari lamunan. Mendapat tatapan yang mengibakan hati dari orang yang paling ia sayangi, tak ada pilihan lain bagi Celine selain mengganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Maya menggenggam erat tangan Celine sebagai ucapan terima kasih kepada putrinya tersebut.
Mereka sampai di rumah sakit dan setelah memastikan kalau Maya aman di bawah pengawasan dokter dan perawat pribadi keluarga, Celine pun kembali ke kantor.
Celine masuk ke ruangannya dan ingin berganti baju karena ia merasa baju yang ia pakai jadi ada bau rumah sakitnya.
Saat sedang berganti baju, sekilas mata Celine menangkap gerakan seseorang dari celah pintu dan baru ia sadari kecerobohannya yang lalai merapatkan pintu.
Karena ingin cepat-cepat ganti baju dan tidak tahan dengan bau rumah sakit yang menempel di bajunya, Celine jadi ceroboh.
"Siapa?" Celine yang lagi mandi mendadak menoleh kemari.
"Cepat mundur!"
"Cepat keluar kalian!" Celine berteriak, "Tunggu saja kalian semua kalau sampai ketahuan aku siapa orangnya!"
"Gawat! Kalau masalah ini ketahuan, kita akan dihukum berat!" Daniel pun mulai gelisah.
Karena berjalan dengan pikiran yang tidak menentu di koridor yang sempit, tanpa sengaja Daniel menubruk Ryan dan seketika saja sebuah ide melintas di kepala Daniel yang licik seperti ular berbisa.