Suara mesin jahit tua mengisi pagi yang mendung di sebuah sudut lorong kecil di pinggiran Palembang. Di sebuah rumah sederhana yang juga berfungsi sebagai tempat usaha kecil-kecilan, seorang lelaki tua duduk membungkuk di depan meja kayu dengan tangan yang masih cekatan mengarahkan kain batik ke arah jarum.
Raka, remaja laki-laki berusia 17 tahun, berdiri di dekat pintu, memandangi kakeknya dengan wajah setengah bosan setengah heran.
"Kek, nggak capek? Dari subuh, lho," ucap Raka, tangan kirinya masih memegang ponsel, jempol sibuk menggulir layar TikTok.
Kakeknya tak langsung menjawab. Hanya senyuman kecil dan gerakan pelan dari kaki mesin jahit yang terus berdenting.
"Kalau kau punya sesuatu yang kau cintai, lelahnya berubah jadi doa," katanya pelan. "Lagian, siapa lagi yang mau nerusin kalau bukan aku?"
Raka mendengus, bukan mengejek, hanya lelah mendengar kalimat itu berulang-ulang. Usaha jahit kakeknya sudah berdiri sejak sebelum Raka lahir. Tapi kini, pelanggan makin sepi, anak muda lebih tertarik beli baju jadi di e-commerce daripada pesan jahit custom.
Bagi Raka, rumah ini hanya tempat tinggal dan tempat istirahat dari sekolah. Sejak ibunya meninggal dua tahun lalu karena kanker, dan ayahnya merantau ke Batam untuk kerja proyek bangunan, hanya kakeknya yang jadi satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia masih ingat malam ibunya berpulang—aroma rumah sakit, suara selang oksigen, dan genggaman hangat yang perlahan melemah.
Sejak itu, dunia Raka seperti menyempit. Ia lebih sering bermain dengan gadget daripada berbicara dengan orang lain. Percaya pada manusia terasa jauh lebih rumit daripada mempercayai layar ponsel.
---
Di sekolah, suasana pagi tak lebih menarik. Raka masuk ke kelas seperti biasa, duduk di bangku pojok dekat jendela, membuka ponsel, lalu mematikan suara.
"Anak-anak! Hari ini kita akan mulai program baru dari sekolah, ya," suara Bu Mira, guru kewirausahaan, terdengar dari depan kelas.
"Namanya: Proyek Wirausaha Remaja. Setiap siswa atau kelompok akan diminta membuat bisnis kecil dalam waktu dua bulan. Di akhir program, kalian harus presentasi dan menjelaskan konsep, hasil, dan pelajaran yang kalian dapat."
Ruang kelas langsung riuh. Beberapa sudah berbisik-bisik: "Kita jual boba aja, ya?", "Aku bikin kue leleh, dong!", "Kita sablon hoodie, rame tuh di IG."
Raka hanya menunduk. Dunia bisnis bukan dunianya. Ia bahkan nyaris tak pernah keluar rumah kecuali untuk sekolah.
"Raka!" panggil Bu Mira. "Kamu bisa ajak siapa pun jadi timmu, tapi harus maksimal tiga orang, ya. Sudah ada ide mau bisnis apa?"
Raka mengangkat bahu. "Belum, Bu."
"Ayo, jangan pasif. Ini bukan tugas yang bisa ditunda seminggu sebelum deadline. Mulai pikirin dari sekarang."
---
Saat istirahat, Raka duduk sendiri di bawah pohon flamboyan dekat lapangan voli. Ponselnya menampilkan video konten fashion lokal yang dibuat di pinggiran kota. Ia menontonnya bukan karena suka, tapi karena algoritma TikTok-nya sudah tahu dia jarang bersosialisasi.
"Hei, kamu Raka, kan?"
Raka menoleh. Seorang cewek berdiri di depannya, rambutnya dikuncir setengah, mengenakan jaket denim oversized dengan pin-pin lucu di kerahnya. Senyum lebar, mata tajam tapi hangat.
"Aku Zilla. Duduk sebelahmu di kelas, tapi kamu kayaknya lebih sering ngobrol sama layar."
Raka nyaris membalas sinis, tapi cewek ini punya energi yang sulit diabaikan.
"Emang iya," jawab Raka singkat.
"Aku denger kamu tinggal sama kakekmu yang punya usaha jahit, ya? Jahit beneran? Bukan jualan di online shop?"
"Iya. Kenapa?"
Zilla duduk tanpa permisi. "Aku pengen jadi desainer. Bukan yang main di TikTok doang, tapi benar-benar ngerti proses bikin baju dari awal. Nah, aku nggak punya alat dan nggak bisa jahit. Tapi aku bisa gambar dan punya ide. Kamu punya alat, kan? Mesin jahit, bahan, tempat?"
"Ada."
"Ya udah. Kita kerjasama aja. Jadi tim. Nanti kita gabungin ide, kamu yang urus produksi, aku yang desain, terus kita cari satu orang lagi yang bisa bantu bagian promosi dan jualan. Deal?"
Raka menatapnya lama. Seumur hidupnya belum pernah ditawari kolaborasi segamblang dan seberani ini.
"Kalau gagal?"
"Ya gagal bareng. Tapi setidaknya kita nyoba. Dan kalo berhasil, ya siapa tahu, kita beneran bisa bikin usaha beneran."
---
Petang hari, Raka menceritakan semuanya pada kakeknya.
"Namanya Zilla. Anak baru. Punya cita-cita jadi desainer. Katanya mau kerja bareng di sini, bikin proyek buat tugas sekolah."
Kakek diam lama. Matanya menatap jarum jahit yang diam.
"Kalau dia serius, kamu bantu. Tapi jangan main-main. Ini tempat cari makan, bukan tempat main rumah-rumahan."
Raka mengangguk. Dalam diamnya, ada rasa takut, tapi juga penasaran.
---
Hari Sabtu, Zilla datang ke rumah Raka. Membawa tas penuh kertas, pulpen warna, sketsa, bahkan majalah mode yang digunting-gunting.
"Nih, aku udah bikin beberapa konsep desain. Gaya kasual lokal, pakai bahan kain tradisional. Biar unik. Nanti kita namain produknya 'Nusabodi'. Gimana?"
Kakek hanya mengangguk pelan. Tapi Raka bisa lihat dari caranya memperbaiki posisi duduk, kakek mulai tertarik.
Tiga jam berlalu, dan workshop mini di ruang tengah rumah itu mulai terasa hidup. Zilla menggambar, Raka belajar motong pola, kakeknya kadang mengawasi sambil menyeduh teh. Sore itu, semesta terasa berbeda.
---
Beberapa hari kemudian, Raka memberanikan diri menghubungi Kenzi. Dulu teman dekat di SMP, kini sudah dikenal sebagai content creator lokal. Mereka dulu sering main bareng, sebelum Raka menjauh karena perubahan hidupnya.
"Bro, ini ide keren. Gua bisa bantu bikin branding, konten, foto, video, semua. Tapi harus keren, ya. Jangan cuma jualan kain kayak nenek-nenek. Harus ada taste-nya."
"Kita pakai nama 'Nusabodi'," kata Zilla semangat. "Fashion lokal, cita rasa global."
Kenzi tertawa. "Oke, tagline-nya keren. Ayo gas!"
---
Tantangan mulai datang. Beberapa guru meremehkan proyek mereka. Teman-teman sekelas malah mengolok, "Eh, jualan baju lebaran ya?" atau "Wah, produsen sarung baru nih."
Tapi Raka mulai menemukan sesuatu yang belum pernah ia rasakan: gairah. Ia bangun pagi lebih cepat, belajar potong kain lewat YouTube, bahkan memperbaiki mesin jahit lama milik kakek.
Di sela-sela kerja, Zilla mulai sering curhat tentang ibunya yang keras, tentang impiannya kuliah di jurusan fashion. Kenzi juga ternyata punya cerita sendiri—tentang ayahnya yang memaksa dia masuk sekolah teknik, bukan jadi pembuat konten.
Mereka bertiga jadi lebih dari sekadar tim proyek.
Mereka jadi sahabat.
---
Suatu malam, setelah menjahit dua potong kemeja laku perdana mereka, Raka duduk di teras sambil minum teh. Zilla duduk di sebelahnya.
"Raka. Kamu tahu nggak, aku iri sama kamu."
"Iri? Sama aku? Yang bahkan nggak punya ibu?"
Zilla menoleh, pelan. "Kamu punya tempat buat pulang. Kamu punya seseorang yang percaya sama kamu bahkan sebelum kamu percaya pada dirimu sendiri. Itu mahal."
Raka menatap ke dalam rumah, ke arah ruang kerja kecil tempat kakeknya tidur di kursi karena terlalu lelah menjahit.
"Iya... mungkin aku baru sadar sekarang."
Dan di malam itu, di bawah cahaya lampu temaram dan suara jangkrik, sebuah benang baru mulai dijahit di hidup Raka.
Bukan cuma usaha baru, tapi hidup baru.