Mentari pagi menelusup pelan ke sela-sela jendela kamar itu. Bayangan pepohonan di luar membentuk siluet tenang yang bergerak pelan karena angin. Di sudut kamar, seorang pria muda duduk diam di meja belajarnya. Namanya Ares. Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia. Seseorang yang bagi dosennya adalah calon lulusan terbaik. Namun di balik semua itu, Ares adalah teka-teki yang bahkan dirinya sendiri tak mampu pecahkan.
Tiga tahun lalu, ia terbangun di sebuah rumah sakit di Jakarta. Tubuhnya kurus, rambutnya tumbuh liar, dan tatapannya kosong. Dokter berkata ia korban selamat dari bencana besar di kota Kazan, sebuah ledakan misterius yang menghancurkan hampir seluruh kota dan banyak korban jiwa. Tak ada yang tahu penyebab ledakan itu, dan Ares adalah salah satu dari sedikit yang ditemukan hidup di reruntuhan.
Tapi Ares tak ingat apapun.
Tidak tentang Kazan. Tidak tentang siapa dirinya sebelum koma.
Yang ia tahu, sejak tiga tahun lalu, hidupnya dimulai ulang. Nama Ares adalah nama aslinya, yang diberikan dari sang paman bernama Manaf. Seorang pria karismatik berusia 50-an, pemilik berbagai lini bisnis dari tambang hingga digital media. Sosok flamboyan yang terkenal sebagai pengusaha tersukses di Indonesia. Manaf mengatakan kepada Ares bahwa dia yang merawat Ares dari kecil. Ares tentu tidak percaya begitu saja, tapi bagi Ares, Manaf adalah keluarga satusatunya. Orang yang menyelamatkannya dari keterasingan dan membawanya ke rumah besar di kawasan Kemang.
Meski hidupnya kini serba cukup, Ares tak pernah benar-benar merasa utuh. Ia rajin kuliah, pintar, dan tampak tenang di luar. Tapi malam-malamnya sering diwarnai mimpi aneh, gambar-gambar pecahan cahaya, suara-suara bisikan, dan medan perang yang terasa terlalu nyata. Ia pernah bertanya kepada Manaf tentang Kazan, tapi pamannya hanya menjawab singkat, "Itu masa lalu yang tidak akan membawamu ke mana-mana."
Di kampus, Ares dikenal sebagai mahasiswa yang tertutup. Ia selalu duduk di barisan tengah saat kuliah, tak pernah angkat tangan, tapi nilainya selalu sempurna. Ia hanya memiliki dua orang teman dekat. Wisnu, anak Bekasi yang cerewet dan hobi fotografi dan Anita, mahasiswi cerdas dan tenang yang diam-diam menyimpan rasa penasaran lebih dari sekadar akademis terhadap Ares.
Anita sering memperhatikan Ares dari kejauhan. Ia bukan tipe gadis yang mudah bicara, tapi ada sesuatu pada tatapan Ares yang membuatnya terpaku. Bukan hanya karena ketampanan atau misteri di balik sikap pendiamnya, tapi karena entah mengapa Ares selalu tampak seperti orang yang sedang menunggu sesuatu. Sesuatu yang ia sendiri tidak sadari. Hari itu, seusai kelas terakhir, Ares duduk sendirian di taman belakang fakultas. Angin sore membawa suara anak-anak debat yang sedang latihan, bercampur dengan bunyi angin menggesek daun-daun mahoni. Ia membuka laptop dan mulai menyentuh naskah skripsinya. Tapi pikirannya sulit fokus.
“Masih nulis soal stabilitas politik?” tanya Anita yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Ares menoleh. “Iya. Tapi kayaknya harus aku ganti angle. Terlalu... datar.”
Anita mengangguk pelan. “Aku pernah baca artikel kamu di jurnal kampus. Gaya tulisanmu beda dari anak-anak lain. Lebih... tajam.”
Ares hanya tersenyum kecil, tak menjawab.
“Kamu pernah merasa... kayak ada lubang di hidupmu? Yang nggak bisa kamu jelasin?” tanya Anita tiba-tiba.
Ares menatapnya. Dalam sepersekian detik, ada sesuatu dalam dirinya yang bergelombang. Tapi ia hanya berkata, “Tiap malam.”
Percakapan mereka terhenti di sana, tapi Anita tahu: ini awal dari sesuatu. Ia hanya belum tahu apa.
Malam harinya, Ares kembali ke rumah Manaf. Paman Manaf sedang di luar kota, jadi rumah itu sunyi. Di kamarnya, Ares menatap jaket tua yang tergantung di kursi. Jaket yang sama yang dikenakannya saat ditemukan tiga tahun lalu. Tangannya perlahan menyentuh saku dalamnya, meraba permukaan kasar kristal kecil yang ia temukan pagi tadi.
Kristal itu masih ada.
Ia tak tahu apa benda itu, atau mengapa seperti menyala saat disentuh. Tapi untuk malam ini, ia hanya ingin tidur dan bermimpi biasa. Tanpa medan perang, tanpa suara bisikan, tanpa bayangan reruntuhan.
Namun harapannya tak dikabulkan.
Saat ia menutup mata, suara-suara itu kembali. Tapi kali ini lebih jelas. Suara dentingan logam, suara seseorang berteriak memanggil nama...
"Ares...!"
Ares terbangun dengan keringat dingin.
Di saku jaketnya, kristal kecil itu menyala redup untuk pertama kalinya sejak ditemukan. Dan di langit Jakarta, sesuatu mulai bergerak. Tapi Ares belum tahu. Belum malam itu.