

Malam itu, Angkara Setya duduk termenung di teras rumah kayunya yang sederhana, tatapannya kosong menatap kedua tangannya yang terbuka di atas pangkuan.
Tangan yang sempat menjadi sumber rezeki saat mengurut badan orang lain kini malah banyak memakan korban yaitu beberapa tetangga dekatnya sendiri.
"Kenapa kekuatan tanganku jadi berlebihan gini?" bisiknya lirih.
Ingatannya melayang ke masa lalu, ke saat ia masih bocah berumur sepuluh tahun. Waktu itu, halaman belakang rumah ini masih dipenuhi pohon kamboja yang berbau harum.
Di sanalah ayah dan kakeknya mengajarkan ilmu pijat turun-temurun keluarga mereka. Ilmu pijat refleksi sekaligus ilmu silat dari Kerajaan Sangkala Widya.
Kakek bilang, dirinya adalah keturunan yang tersisa dari kerajaan tersebut.
Angkara saat itu masih belum mengerti perihal kerajaan yang diucapkan kakeknya tapi biar dia jadikan motivasi untuk hidup lebih baik.
Pagi menyingsing dengan cuaca mendung. Angkara tidak tidur semalaman. Ia duduk di teras, menatap langit kelabu dengan mata sembab.
Pikirannya berkutat dengan kesalahannya kepada Pak Ari kemarin. Karena dipijat oleh Angkara, pinggang Pak Ari kesakitan dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Suara ayam berkokok terdengar sumbang di telinganya, seolah mengejek nasibnya.
Dari kejauhan, dia melihat sekelompok orang berjalan menuju rumahnya.
Di depan rombongan itu, Pak Sutrisno, kepala desa yang bertubuh besar dengan kumis tebal berjalan dengan wajah tegas.
Di belakangnya, ada sekitar sepuluh warga yang merasa dirugikan karena tindakan pijat Angkara.
Angkara berdiri, mencoba terlihat tenang meski lututnya gemetaran.
"Pak," sapanya pelan. “Bagaimana keadaan pak Ari?”
Ia berhenti di depan teras, menatap Angkara dengan tatapan menghakimi.
"Pak Ari harus dioperasi. Tulang pinggangnya retak parah hingga menelan biaya sepuluh juta. Kau harus bertanggung jawab."
Angkara menelan ludah. Sepuluh juta rupiah adalah jumlah yang mustahil baginya. Tabungannya hanya tersisa lima ratus ribu.
"Pak... saya... saya akan mencari uang. Saya janji akan bertanggung jawab."
"Bertanggung jawab bagaimana?!" bentak salah satu anak Pak Ari. “Kamu sudah mencelakakan tulang punggung keluarga kami!”
“Iya! Anggota keluarga kami juga patah tulang gara-gara dipijit Angkara! Pak Sutrisno, dia berbahaya!”
"Benar! Dia berbahaya! Dia harus diusir dari desa ini!" seru warga lain.
“Dia tukang urut setan!” cetus warga lain yang juga merasa jadi korban.
"USIR! USIR! USIR!" Kerumunan mulai berteriak serempak.
Pak Sutrisno mengangkat tangan, meminta ketenangan. Kerumunan perlahan diam, meski tatapan penuh kebencian masih tertuju pada Angkara.
"Angkara," kata Pak Sutrisno dengan nada lebih rendah. "Aku tidak mau sembarangan mengusir warga desaku.”
Kerumunan meledak dalam kemarahan.
“Usir saja, pak!”
“Iya! Usir saja dia!”
Pak Sutrisno berusaha melerai.
“Saya paham kalian tidak puas dengan keputusan saya. Tapi, ini pengusiran paksa bukan jalan yang baik.”
“Pak, kalau bapak tidak mau mengusir dia, kami yang akan usir dia!”
“IYA! Usir dia!”
"Tangkap dia! Dia setan! Dia bukan manusia!"
"Seret dia keluar dari desa!"
“Sudah cukup! Berhenti!” lerai Pak Sutrisno. “Angkara, saya kasih kamu waktu dua minggu untuk melunasi hutang-hutang kami. Kalau tidak bisa, silahkan pergi dari desa ini.”
Tanpa berkata apa-apa, Angkara berbalik dan berjalan pulang. Kerumunan membuka jalan, tidak ada yang berani menghalanginya.
Angkara masuk ke rumahnya dan menutup pintu. Ia bersandar di balik pintu, tubuhnya merosot ke lantai.
Ia menatap langit-langit rumah dengan tatapan kosong. Murni keluar dari kamar dengan mata merah dan wajah keras.
"Angkara, aku sudah tidak tahan lagi," katanya dengan suara dingin.
"Kita tidak punya uang. Anak kita butuh makan. Kau tidak bisa kerja. Untuk apa aku bertahan?"
"Murni, kumohon... beri aku waktu. Aku akan cari jalan keluar."
"Jalan keluar gimana?!" bentak Murni. "Kau sudah mematahkan tulang banyak orang! Siapa yang mau memanggil tukang urut setan?!"
Angkara terdiam. Kata-kata Murni seperti pisau yang menusuk jantungnya.
"Besok," kata Murni dengan nada final. "Kalau besok kau tidak bawa uang, aku pergi. Aku bawa anak kita dan pergi dari hidupmu. Selamanya."
Angkara berdiri mematung di tengah ruang tamu yang sempit. Tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih.
Handphone-nya bergetar lagi. Angkara mengerutkan dahi. Nomor tak dikenal. Biasanya dia tidak akan mengangkat, tapi entah kenapa kali ini tangannya bergerak sendiri.
"Halo?"
Suara di seberang saluran terdengar tua tapi tegas. "Angkara Setya. Kamu sudah lama aku cari."
Bulu kuduk Angkara berdiri. "Siapa ini? Bagaimana Anda tahu nama saya?"
"Aku tahu lebih dari sekadar namamu."
Jantung Angkara berdegup kencang. "Apa maksud Anda?"
"Datanglah ke puncak candi di ujung desa. Malam ini tepat pukul sembilan. Kamu akan mendapat jawaban tentang siapa dirimu sebenarnya."
"Tunggu!"
Sambungan terputus.
Angkara menatap layar handphone-nya yang retak. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya. Ini bisa jadi jebakan.
Tapi di sisi lain, dia memang butuh jawaban tentang dirinya, tentang apa yang terjadi di dalam dirinya.
“Mungkin memang sudah waktunya aku mencari tahu,” batin Angkara.
Angkara bangkit, memutuskan untuk menemui orang misterius itu.
Candi di ujung desa dikenal keramat oleh warga sekitar sehingga tidak ada yang berani mendekat.
Pohon-pohon beringin tua di sepanjang jalan menuju candi menjulang tinggi, cabang-cabangnya seperti tangan raksasa yang meraih langit malam.
Angkara tiba tepat pukul sembilan. Suasana sunyi mencekam. Hanya suara jangkrik dan angin yang berdesir di antara daun-daun kering.
Dia menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mengencang.
"Kamu datang."
Angkara terlonjak.
Dari balik bebatuan besar muncul sosok kakek berjenggot putih panjang. Pakaiannya menggunakan kain jarik dan beskap lusuh tapi auranya berbeda.
Ada kesan bijaksana sekaligus misterius dari tatapan matanya yang tajam.
"Siapa Anda?" tanya Angkara, waspada.
Kakek itu melangkah lebih dekat, tongkat kayunya mengetuk tanah dengan ritme teratur.
"Namaku tidak penting. Yang penting adalah siapa dirimu, Angkara Setya."
"Anda bilang mengenal saya lebih dari sekedar nama saya. Maksudnya apa?"
“Yang aku maksud adalah kekuatan.”
Kakek itu tersenyum tipis.
"Kamu merasakan sendiri, bukan? Kekuatan yang mengalir di tubuhmu. Sentuhan yang bisa menyembuhkan, tapi juga bisa melukai. Itu bukan kebetulan. Itu warisan."
"Warisan?"
"Kamu adalah keturunan terakhir dari Penjaga Spiritual Kerajaan Sangkala Widya."
Kakek itu mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah langit.
"Leluhurmu adalah orang-orang pilihan yang memiliki energi spiritual untuk menyembuhkan, melindungi, bahkan melawan kekuatan jahat yang mengancam kerajaan."
Angkara terdiam, otaknya berusaha mencerna informasi itu. "Tapi... kenapa kekuatan saya malah melukai orang?"
"Karena kekuatan itu belum terkendali. Kekuatan tanpa penguasaan adalah bencana."
Kakek itu melangkah lebih dekat, mata tuanya menatap dalam.
"Energi spiritual itu seperti pedang bermata dua. Kalau kamu tidak tahu cara memegangnya, kamu akan melukai dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu."
"Lalu bagaimana cara mengendalikannya?"
Angin malam tiba-tiba bertiup kencang. Dedaunan berguguran, debu beterbangan.
Angkara menutup matanya sebentar karena debu masuk. Ketika dia membuka mata lagi, kakek itu sudah menghilang.
"Tunggu! Kakek!"
Hanya kesunyian yang menjawab.
Tiba-tiba, Angkara menyadari bahwa sekarang ia ada di dalam sebuah ruangan kecil. Ruangan itu terasa penuh nilai spiritual dan suasana keramat.
“Di mana ini?”
Di tengahnya ada altar batu dengan ukiran naga dan burung garuda. Dan di atas altar itu, tergeletak sebuah kitab tua yang tebal.
Angkara mendekat perlahan. Kitab itu terbuat dari kulit hewan yang sudah menguning, dengan tulisan Jawa Kuno di sampulnya. Dia bisa membaca tulisan itu.
Entah bagaimana, seolah pengetahuan itu sudah ada di dalam kepalanya sejak dulu.
“Ini … Kitab Penyembuhan Nusantara …”
Tangannya bergetar saat mengulurkan tangan untuk menyentuh kitab itu.
Begitu jari-jarinya menyentuh permukaan kulit tua itu, petir tiba-tiba menyambar dari langit-langit ruangan.
CTAR! KRAK!
Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Angkara terpental ke belakang, tapi matanya tidak bisa lepas dari kitab itu.
Kitab tua itu terbakar. Tidak dengan api biasa, tapi dengan cahaya murni yang memakan setiap halaman, setiap kata, setiap ilmu yang tertulis di dalamnya.
Dalam hitungan detik, kitab itu hancur menjadi abu.
Tapi abu itu tidak jatuh ke lantai. Abu emas itu melayang di udara, berputar membentuk pusaran, lalu melesat ke arah Angkara.
Angkara berteriak saat abu itu meresap masuk ke dalam dadanya. Panas. Dingin. Sakit. Semua sensasi itu bercampur aduk.
Dia merasakan ribuan pengetahuan mengalir masuk ke dalam pikirannya berupa pengetahuan tentang penyakit, tentang energi tubuh manusia, tentang cara menyembuhkan dengan menyalurkan energi spiritual.
Matanya terbuka lebar. Iris mata coklatnya berubah, berkilau dengan cahaya emas yang memancar dari dalam.
Angkara jatuh berlutut, napasnya tersengal tapi dia dapat merasakannya. Ada kekuatan baru yang mengalir di tubuhnya.
Kekuatan yang berbeda dari sebelumnya. Kekuatan yang terkendali.
Dia mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya yang kini memancarkan cahaya tipis berwarna emas.
Dia tahu, dia sudah berubah. Dia bukan lagi Angkara yang lemah, yang tak berguna.
Dan sekarang, waktunya bagi dia untuk bangkit.