Hari itu langit mendung, seolah ikut meratapi kehidupan Darrel. Suara hujan gerimis mengetuk atap seng kos-kosan tua itu dengan irama lambat dan menyayat. Langit nyaris seperti ingin menangis. Seolah-olah alam ikut merasakan tekanan yang menindih dada Darrel.
Ia duduk di tepi kasur tipis di atas ranjang sempit yang berderit di kos-kosannya. Darrel terduduk membungkuk dengan tubuh lunglai serta tatapan kosong pada selembar kertas yang sudah basah oleh keringat di tangannya.
Matanya sudah lelah menatap baris demi baris tulisan resmi dari pihak kampus, tapi pikirannya tetap tak bisa berhenti memutar ulang kalimat utama.
Surat Peringatan Dari Kampus.
Saudara Darrel Revas mendapatkan teguran akademik akibat ketidakhadiran dan performa akademik yang tidak memuaskan. Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 14 hari, maka tindakan akademik lanjutan akan diberlakukan.
Kalimat itu mencolok di bagian atas. Isinya jelas, Darrel bisa dikeluarkan dari kampus jika tak menunjukkan perbaikan dalam dua minggu.
Ia tertawa kecil nan pahit.
Surat itu beraura dingin dan tentu saja formal. Tak peduli bahwa Darrel bukannya malas, bukan juga bodoh, tapi hidupnya sedang ambyar sejak beberapa minggu terakhir.
Baru seminggu lalu, ia dipecat dari pekerjaan paruh waktunya di rumah makan.
Pria tampan itu mengembuskan napas pelan, mencoba menenangkan dirinya namun baru saja surat itu ia letakkan di meja, layar ponselnya berkedip menyala.
Satu pesan masuk.
'Maaf, Rel. Aku udah coba bantu, tapi kamu udah dipecat dari tempat makan. Manajer bilang kamu bolos kerja dua kali."'
Tulis Rayan teman kerja Darrel di tempat makan dekat kampus. Darrel memejamkan mata elangnya. Rahangnya mengeras.
Rayan, seorang teman kerja yang awalnya terlihat ramah, ternyata diam-diam menghasut manajer bahwa Darrel sering mangkir. Padahal seminggu lalu justru Ray yang minta Darrel tukar shift, dan Darrel menyanggupi. Tapi di hadapan manajer, semua dibalikkan. Rayan bersih, Darrel yang jadi kambing hitam.
Darrel ingin marah. Tapi kepada siapa?
Ia menganggur, kehilangan satu-satunya penghasilan kerja paruh waktu di rumah makan kecil dekat kampus. Dan kali ini ia terancam di DO.
Dan sebagai tambahan menyenangkannya hari ini, pintu kosnya mendadak digedor keras dari luar.
Duk! Duk! Duk!
Suara ketukan keras menggema dari balik pintu. Disusul teriakan yang tak asing oleh Darrel.
“Darreeeel! Bukain pintu! Ini jam berapa hah?!”
“Darreeel! Jangan pura-pura nggak ada di dalem ya!”
“Uang kos kamu udah seminggu nunggak! Mau sampai kapan saya sabar?!”
Darrel langsung tersadar dari lamunannya. Itu ibu kos, namanya bu Rahmi.
Si tampan pun bergegas menuju pintu, membukanya dengan pelan dan pasrah. Di hadapannya berdiri sosok wanita bertubuh tambun dengan daster penuh motif bunga mencolok. Rambutnya diikat asal, dan wajahnya menampakkan kemarahan yang meletup.
"Kamu pikir saya ini siapa? Bank Indonesia?"
Darrel hanya menatap dalam diam seraya menelan ludah.
"Saya tagih uang kos, kamu cuma bilang sebentar bu, sebentar bu, terus! Ini udah seminggu nunggak!”
Darrel menunduk dengan muka memelas ia pun berucap. “Saya, saya belum gajian, Bu.”
“Gajian dari mana? Kamu aja udah nggak kerja! Saya tahu dari Sari! Jangan bohongi saya ya! Kalau minggu depan belum bayar juga, saya gembok kamar kamu! Biar tidur di emperan sekalian," ujar bu Rahmi meluap-luap karena emosi.
"Saya lagi cari kerja lagi, Bu. Tolong kasih waktu ....”
"Cari kerja? Jangan banyak alasan kamu, ya! Minggu depan kalau masih belum bayar juga, saya beneran kunci kamarmu. Pindah sana ke kolong jembatan!”
Tak lama, pintu tak bersalah itu dibanting dengan keras. Suara langkah ibu kos menjauh, tapi gema kemarahannya masih menggantung di udara. Darrel berdiri diam beberapa detik sebelum menutup pintu perlahan. Matanya mulai panas, tapi ia menahannya. Ia sudah terlalu sering menangis, dan toh tidak ada yang peduli.
Ia berjalan kembali ke kasurnya, duduk dengan tubuh yang lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit yang kusam dan berlubang di sudut. Pikirannya kosong. Dunia ini seperti terus menertawakannya.
Ponselnya masih tergeletak, dengan layar yang mulai meredup. Ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Bunyi notifikasi muncul lagi. Tapi kali ini bukan dari kontak yang dikenalnya.
Nomor Tidak Dikenal.
Pesan hanya satu baris. Bukan dari aplikasi pesan biasa. Ada notifikasi aneh dengan latar hitam dan teks putih tebal.
“Hidupmu menyedihkan, Darrel. Apa kau ingin mengubahnya?”
Darrel memicingkan mata. Jantungnya seketika mencelos. Ia membaca ulang pesan itu. Tangannya refleks ingin menekan tombol blokir, tapi rasa penasaran menahannya.
Ia pun membalas, singkat pesan misterius itu.
'Siapa ini?'
Balasan datang cepat, seperti orang yang memang sedang menunggu.
Ia menyentuh notifikasi itu, dan layar berubah menjadi pop-up kotak teks.
'Aku adalah Sistem. Tekan YA untuk memulai sistem yang akan mengubah hidupmu. Abaikan jika ingin tetap seperti sekarang. Kamu punya waktu 10 detik untuk berpikir."
PILIHAN YA ATAU TIDAK.
"Apa ini ...? Gila ” gumamnya.
Darrel memandang layar itu lama. Matanya menyipit. Otaknya masih rasional, meski jiwanya sudah babak belur. Mungkin ini hanya spam atau chat iseng dari teman atau siapapun orang yang iseng atau mungkin saja juga penipuan, begitulah pikirnya tapi di titik serendah ini, bahkan penipuan pun terasa lebih baik daripada kenyataan.
"Penipuan? Virus? Apa-apaan ini."
Ia ingin menekan tombol, TIDAK, tapi jarinya tak kunjung bergerak.
Ia juga tak menekan tombol, YA.
Sebagian dari dirinya ingin menghapus semuanya tapi bagian lain, bagian yang sudah terlalu lelah berharap, justru tergoda.
“Kalau ini prank, kenapa bisa muncul pas banget gini ya?” bisiknya pelan lebih ke dirinya sendiri.
Darel menaruh ponselnya di atas meja, lalu membalikan badannya, menatap dinding dengan pandangan kosong.
Tak lama Darrel pun terlelap, bukan karena nyaman, tapi karena tubuhnya terlalu lelah untuk terus terjaga. Suara hujan yang semula hanya gerimis, kini berubah deras, menghantam atap seng dengan suara gaduh. Dingin merambat dari lantai keramik ke ujung kaki. Ia meringkuk, tapi tak ada selimut. Semuanya telah ia jual sebulan lalu, demi membeli nasi bungkus dan bayar print tugas kuliahnya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 03:17 saat mata pria tampan itu perlahan terbuka. Kepala terasa berat, tapi ada sesuatu yang membuatnya gelisah seperti ada suara pelan memanggil dirinya dari kejauhan.
Tiba-tiba saja, layar ponselnya menyala sendiri.
Tanpa ia sentuh. Darrel menoleh, mengerjap heran. Cahaya dari layar menerangi ruangan gelap itu. Di sana terpampang satu kalimat baru.
'Apa kau ragu Darrel? Aku beri tambahan waktu, kalau begitu.'
Napas Darrel tercekat. Dadanya menegang.
Ia langsung meraih ponsel itu dan mencoba mematikan layar tapi sayangnya tombol daya tidak merespons. Layar tetap menyala, seolah ponselnya kini bukan miliknya lagi.
'Tak perlu takut. Aku tidak mengambil apapun darimu. Aku hanya memberi kesempatan.'
Teks itu berganti seperti chat otomatis.
'Tekan YA jika kau siap. Tekan TIDAK jika kau lebih suka hidup seperti ini.'
Darrel menatap layar itu lama. Tangannya begitu gemetar. Rasa takut mulai berubah jadi suatu kebingungan.
“Siapa lo sebenernya?” bisiknya lirih.
Layar tidak menjawab. Tiba-tiba gelap lalu mati total. Darrel mencoba menyalakannya tapi tidak berhasil. Ponsel itu sepertinya surak. Darrel mendesah pelan, lalu melemparkan benda pipih itu ke bantal dengan frustrasi.
"Gila ... gue halu.”
Tapi di detik berikutnya, tok! Terdengar suara kecil dari arah meja. Darrel pun menoleh.
Lembar surat peringatan kampus yang semula diam, kini jatuh sendiri ke lantai. Padahal tidak ada angin. Jendela pun tertutup. Darrel jadi merinding sendiri, apakah kos-annya jadi berhantu sekarang?
Pemuda itu berdiri, dengan perlahan ia mengambil surat itu. Saat menatapnya, ia membatin, “Ada apa ini?”
Darrel sebenarnya tidak begitu percaya pada hal mistis tapi semua kejadian malam ini, dari panggilan, layar ponsel yang menyala sendiri dan gerakan kertas barusan terlalu kebetulan untuk disebut sebuah kebetulan.
Darrel kemudian duduk kembali di lantai. Menghela napas panjang.
“Kalau gue pencet YA, apa hidup gue makin kacau? Atau ini justru satu-satunya jalan keluar?”
Tak ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya tapi jauh di dalam dada, ada suara kecil yang terus mengusik, 'Kapan terakhir kali kamu punya pilihan?'
Darrel memandangi ponselnya yang kini mati total. Ia belum menekan YA, tapi sistem tampaknya belum menyerah.
tbc------