“Ini… hadiah dari saya, Kak.”
Dengan tangan sedikit gemetar namun penuh tekad, Raynar menyerahkan sebuah kotak kecil ke arah Devano, yang tengah dikerumuni keluarga besar di halaman kampus Universitas J. Mereka tertawa, berfoto, dan mengagumi mobil sport mewah yang baru saja diberikan Kakek Wiratma kepada sang cucu emas itu.
Di tengah kemegahan acara wisuda S2 Devano, Raynar, menantu yang tak pernah diakui keberadaannya dalam keluarga Wiratma, berdiri sendirian seperti bayangan yang tak dianggap.
Dia hanya membawa satu hal hari itu: hadiah kecil yang dibelinya dengan susah payah.
Satu kotak mungil yang mengandung seluruh rasa hormat, usaha, dan harapan, yang tak pernah dihargai.
Devano menoleh pelan. Pandangannya jatuh pada kotak itu, lalu naik menatap wajah Raynar. Senyumnya tipis, penuh sindiran. Sebelah alisnya terangkat, seperti sedang menahan tawa yang menghina.
“Apa ini?” cibir Devano dengan suara sengaja dikeraskan agar semua orang bisa mendengarnya. “Kotak kecil murahan dari seorang yang tidak berguna?” Dia menatap Raynar remeh.
Raynar tetap diam. Tangannya masih terulur, teguh walau tubuhnya terasa dingin oleh sorotan mata-mata penuh cemooh.
“Ini… jam tangan,” jawab Raynar akhirnya. “Aku pikir Kak Devano membutuhkannya. Karena waktu adalah hal paling berharga.”
Tawa kecil terdengar dari paman-paman dan sepupu yang berdiri di dekat Devano. Mereka saling pandang dan terkikik.
“Jam tangan?” Devano mengulang dengan suara mengejek. Ia merebut kotak itu dari tangan Raynar dan menimbang-nimbangnya seolah sedang memegang tikus mati.
“Kamu kira aku pantas diberi barang murahan seperti ini?” lanjut Devano dengan nada merendahkan. “Kamu lihat tadi, apa yang mereka kasih ke aku? Satu unit mobil dari Kakek. Gelang emas dari Tante Sari. Arloji Swiss dari Ayahku. Dan kamu kasih aku ini?”
Raynar tidak menjawab. Tapi sorot matanya mulai berubah. Ada sesuatu yang muncul di balik kesabarannya, sebuah bara yang baru saja menyala.
“Kamu beli di mana ini?” lanjut Devano. “Pinggir jalan? Seratus ribu? Atau kamu ngerogoh dompet istrimu lagi?”
Tangan Raynar yang semula tenang kini mengepal pelan.
Aluna, yang berdiri di sisi lain, hanya bisa menahan napas. Wajahnya kaku. Ia tidak bicara, tidak membela, bahkan tidak memandang ke arah Raynar sama sekali.
Beberapa tamu mulai tertawa. Suara mereka jelas, tanpa rasa bersalah.
“Kasihan Aluna, dapat suami kayak pembantu.”
“Harusnya dari dulu diceraikan aja.”
“Katanya pinter, tapi masa suaminya nempel kayak benalu?”
Raynar mencoba menahan semuanya. Lidahnya terasa kelu, tapi ia masih berdiri tegak.
Devano mengangkat kotak itu tinggi-tinggi. “Inilah yang terjadi kalau orang miskin sok berkelas!” katanya lantang.
Lalu—BRAKK!!
Kotak itu dilempar ke lantai dengan keras. Suara pecahan terdengar saat kotak terbuka dan jam tangan di dalamnya terpental keluar.
Semua orang terdiam sejenak. Tapi hanya sejenak. Karena setelah itu...
CRAKK! CRAKK! CRAKK!
Devano dengan penuh dendam menginjak-injak jam tangan itu berulang kali, seperti sedang membantai simbol penghinaan baginya.
“DEVANO!! APA YANG KAU LAKUKAN?!” Raynar berteriak. Ia menatap kotak kecil itu dengan hati yang retak. Retak, bukan karena harganya, tapi karena penghinaan yang dilontarkan barusan di hadapan puluhan pasang mata yang tak tahu apa-apa tentang perjuangannya.
Kotak itu kini remuk, diinjak berkali-kali oleh sepupu Aluna, Devano, si bintang keluarga Wiratma.
“Berani sekali kamu menyebut namaku dengan mulut kotormu itu!” bentak Devano jijik, matanya menyipit penuh kemarahan seolah Raynar telah menodai darah biru keluarganya.
Tawa-tawa pedas meledak di antara tamu yang hadir. Mereka tidak sekadar menyaksikan Raynar dihina, tapi mereka menikmatinya. Seolah penderitaan Raynar adalah pertunjukan gratis yang menghibur pesta mereka.
“Lihatlah, betapa menyedihkannya dia.”
“Kasihan Aluna, dapat suami parasit!”
“Alunaitu perempuan paling cantik di keluarga ini. Tapi nasibnya paling tragis.”
“Sebentar lagi mereka pasti cerai. Gak akan tahan hidup sama suami parasite.”
“Suami benalu! Anjing penjilat, hidup dari belas kasihan!”
“Kenapa dia masih punya muka untuk berdiri di sini?”
Raynar berdiri membeku. Ucapan-ucapan itu menusuk seperti sembilu yang tak terlihat. Tapi yang paling melukai bukanlah hinaan mereka.
Melainkan diamnya Aluna.
Perempuan yang dinikahinya tiga tahun lalu, yang dulunya ia tatap dengan kekaguman, kini hanya menunduk... tak sanggup menatapnya. Atau mungkin... enggan.
Raynar mengepalkan tangan. Bukan karena malu. Tapi karena sakit hati.
Tak ada yang tahu, demi membeli jam tangan yang kini hancur di bawah kaki Devano itu, Raynar harus bekerja dari pagi hingga malam sebagai tukang ojek online, berpanas-panasan, kehujanan, dan seringkali pulang dengan tubuh pegal dan saku kosong.
Ia tak ingin memakai uang dari Aluna. Ia ingin membuktikan, bahwa meskipun kecil ia masih bisa memberi.
Tapi hasilnya? Dihinakan seperti seekor anjing jalanan.
“Aku sudah bilang, jangan datang, Raynar!” suara Aluna akhirnya pecah. Terdengar penuh tekanan. Penuh malu. Tapi juga penuh kebencian.
Raynar menoleh pelan. “Aku hanya ingin memberikan hadiah, Aluna...”
“Hadiah? Hadiah apa?! Kamu pikir jam murah itu bisa menebus rasa maluku selama ini? Kamu selalu mempermalukan aku di depan keluarga!” teriak Aluna, matanya berkaca-kaca. “Kamu seharusnya tahu diri dan tetap tinggal di rumah, bukannya muncul dan membuat semuanya jadi bahan tertawaan!”
“Kamu tahu, Raynar,” lanjutnya lagi, dengan nada menusuk. “Setiap kamu mencoba melakukan sesuatu... hasilnya selalu bencana!”
Raynar menunduk. Kata-kata itu seperti bom yang meledak di dadanya. Dan itu menjadi semakin menyakitkan saat yang mengatakannya adalah Aluna, istri yang dicintainya.
“Kamu bikin aku muak! MUAK!” seru Aluna lagi, suara gemetar menahan emosi.
Lalu dari belakang, suara keras menyambar bagaikan palu godam.
“RAYNAR!!! APA KAU TIDAK PUNYA MALU?!”
Bu Sekar, ibu mertua Raynar, maju dengan langkah cepat. Wajahnya merah padam, seperti siap meledak.
“Kau tidak pernah diundang! Dan setiap kau muncul, kau hanya menambah aib keluarga ini!” teriaknya lantang.
Raynar menatap Bu Sekar dalam-dalam. Matanya tak berkedip. Tapi mulutnya terkunci. Tidak ada gunanya menjelaskan, karena bagi mereka, ia sudah tak punya nilai.
“Kau itu BENALU! Menantu lemah, miskin, tidak berguna! Kau hidup di rumah istrimu, makan dari uangnya, dan berani-beraninya membawa hadiah MURAH untuk Devano?!” Bu Sekar menunjuk ke arah jam tangan yang hancur. Jam itu hancur, seperti harga diri Raynar yang diinjak-injak sampai tak berbentuk.
“Kau itu seperti ANJING dalam keluarga kami!” lanjutnya kejam. “Harusnya sejak dulu Aluna menceraikanmu dan membuangmu ke jalan!”
Kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat. Tapi Raynar tetap diam.
“Cepat usir dia keluar!”
“Dia bikin jijik aja!”
“Kakek, tolong beri perintah!”
“Lempar aja dia!”
Kakek Wiratma akhirnya berdiri dari tempat duduknya, bersandar pada tongkat ukiran emasnya.
“Raynar,” suaranya rendah tapi dingin. “Pergi dari sini. Sekarang juga.”
“Kek... aku...” Raynar bergetar. “Aku hanya—”
“Sebelum aku benar-benar menghapus namamu dari catatan keluarga ini... PERGI!”
“PERGIIII!!!” teriak Devano sambil menendang kotak hadiah ke arah Raynar.
Raynar menatap pecahan jam tangan itu. Hatinya memanas, bukan karena hinaan... tapi karena Aluna tidak pernah sekalipun membelanya.
Ia menoleh, berharap melihat seberkas simpati. Tapi Aluna justru memalingkan wajah, menolak untuk mengakui bahwa Raynar adalah suaminya.
Cukup.
Raynar perlahan melangkah pergi. Kepalanya menunduk. Tapi dalam dadanya... sesuatu mulai berubah.
“Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah aku harus pergi sebagai pecundang?”
Saat ia melangkah keluar dari kampus, ponsel usangnya bergetar. Ia merogohnya tanpa semangat, hanya ingin menutup semua suara.
Namun, kening Raynar mengernyit saat dia mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah pamannya, seseorang yang dulu ikut menandatangani surat agar dia dikeluarkan dari Keluarga Wicaksana.
“Sekarang apa lagi? Kenapa dia tiba-tiba meneleponku?” batin Raynar, cemas sekaligus penasaran.
Akhirnya ia menjawab telepon tersebut, dan apa yang didengarnya kemudian membuatnya tercengang.
Tetapi, itu sebuah kabar baik, karena pamannya itu memohon pertolongan padanya karena suatu hal yang dia miliki.