Bagian A – Senin Tak Pernah Baru
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh. Suara anak-anak kecil berlarian di gang, seragam sekolah mereka sudah lusuh, beberapa masih makan sambil berjalan. Tapi dari dalam rumah Dion, suasananya sama seperti kemarin, dan kemarin lagi.
Dion duduk di depan meja lipat, laptop tua menyala lambat, sambungan internet kadang nyambung, kadang hilang. Di sebelahnya, gelas kopi setengah penuh. Sudah dingin. Bukan karena lupa diminum, tapi karena memang tidak buru-buru.
Di ruang sebelah, Lestari sedang menyiapkan perlengkapan sekolah anak usia dini. Ia menjalankan sekolah kecil itu di ruang tamu rumah. Buku gambar, mainan, tisu, dan beberapa bantal lantai ditata seperti biasa. Tidak ada karyawan. Semua ia kerjakan sendiri, Dion kadang bantu kalau diminta.
Anak-anak mereka sudah berangkat sekolah. Dion yang mengantar, jalan kaki hampir satu kilometer. Tak pakai motor—rusak. Tak bisa dibetulkan sekarang, karena uang servisnya belum ada.
Dion sudah terbiasa begitu. Kalau hujan, pakai payung. Kalau telat, ya minta maaf. Kadang ikut menunggu sampai gerbang ditutup, baru pulang. Tak ada yang istimewa. Tapi hari-harinya tetap penuh.
Sesampainya di rumah, Dion membuka laptop dan mulai mengecek pekerjaan. Ada revisi artikel dari kemarin, honor belum masuk. Satu lagi pekerjaan data dari kenalan istrinya, tapi itu baru dibayar kalau proyeknya jadi.
Jam kerja Dion tidak pasti. Tidak ada kantor. Tidak ada slip gaji. Hanya target kecil yang ia buat sendiri, agar tidak terlalu merasa gagal.
Di grup WhatsApp keluarga, ada yang sedang membahas rencana arisan keluarga besar. Dion hanya membaca. Ia tidak ikut berkomentar. Beberapa kali ia pernah tak datang, lalu dicap tidak peduli. Padahal waktu itu dia sedang mengatur uang agar bisa bayar listrik dan belanja mingguan.
Orang-orang mulai menjauh. Bukan karena Dion berubah. Tapi karena ia sering dianggap menyusahkan. Beberapa kali pinjam uang, dan memang telat mengembalikan. Sekarang, dia diam saja. Tidak minta. Tapi juga tidak ada yang menawari.
Dion paham. Tak semua orang bisa sabar. Apalagi dalam urusan uang.
---
Bagian B – Hari-hari yang Tidak Dicatat
Pekerjaan Dion hari itu tidak banyak. Ia hanya harus merapikan data peserta pelatihan daring yang dikirim oleh temannya semalam. Formatnya berantakan, banyak nama ganda, beberapa tidak jelas. Upahnya sudah disepakati: seratus ribu rupiah, dibayar setelah selesai.
Tidak besar, tapi cukup untuk beli beras dan sabun mandi.
Lestari sempat masuk ke ruang kerja, hanya untuk mengambil kertas dan spidol. Tidak ada obrolan panjang. Mereka memang tidak banyak bicara kalau sedang sama-sama sibuk. Komunikasi mereka lebih sering terjadi lewat tatapan, atau tanya-jawab singkat: “Udah sarapan?” “Nanti belanja apa?” “Kapan bisa bayar listrik?”
Sekitar pukul sepuluh, suara anak-anak mulai terdengar dari depan rumah. Sekolah kecil Lestari sudah dimulai. Tujuh anak datang hari itu. Semua usia tiga sampai lima tahun. Sebagian besar anak dari tetangga, beberapa diantar orang tuanya dari gang sebelah. Biayanya sukarela, bahkan sering tidak dibayar.
Lestari tidak pernah memaksa. “Yang penting anak-anak punya tempat belajar,” katanya.
Dion hanya mengangguk. Ia tahu, Lestari juga sama sepertinya: bekerja keras, tapi sering dianggap tidak bekerja.
Saat anak-anak PAUD belajar di depan, Dion tetap mengetik. Tapi pikirannya berbelok ke hal lain. Hari ini adalah tanggal 28. Dua hari lagi jatuh tempo pembayaran kontrakan rumah. Belum ada uang. Pemilik rumah belum menagih, tapi biasanya akan datang tanggal 30 sore.
Biasanya Dion pinjam dulu dari temannya, Aldi. Tapi dua bulan lalu pinjaman terakhir belum dilunasi. Belum sanggup. Aldi sekarang sudah mulai dingin. Chat dibalas singkat. Telepon tidak diangkat. Dion paham. Dia pun akan begitu kalau jadi Aldi.
Jam makan siang tiba. Lestari menyuapi anak-anak didiknya sambil mengajak mereka menyanyi. Di dapur, hanya ada sisa nasi pagi, sedikit sayur, dan telur dua butir. Dion memasak nasi lagi. Ia goreng satu telur, bagi dua. Untuknya dan Lestari. Anak-anak mereka makan di sekolah masing-masing, pakai bekal.
Setelah makan, Dion duduk di teras. Matahari mulai panas. Tapi ia tetap duduk di situ. Melihat lalu lintas gang, menyapa satu-dua tetangga yang lewat. Tidak banyak yang menyapa balik. Beberapa hanya senyum kaku. Satu-dua malah pura-pura main HP.
Dion tahu. Banyak yang sudah tidak nyaman dekat dengannya. Karena sejarah pinjaman, karena persepsi. Tapi ia tidak bisa menjelaskan semuanya. Tidak semua orang mau dengar.
Sore nanti, ia akan jemput anak-anak lagi. Kalau hujan, ia bawa payung dua. Kalau panas, ya jalan saja. Lelah, iya. Tapi kalau tidak dia yang lakukan, siapa lagi?
Dion bangkit, masuk ke dalam rumah. Duduk kembali di depan laptop. Layar masih menyala, file Excel masih terbuka. Ia lanjut merapikan nama-nama, menambahkan kode peserta. Perlahan. Baris demi baris.
Bukan karena sulit. Tapi karena hidupnya memang seperti itu. Perlahan. Baris demi baris. Tidak pernah ramai, tidak pernah cepat. Tapi terus jalan. Karena menyerah bukan pilihan.
---
Pukul setengah tiga, Dion bersiap menjemput anak-anak. Langit mendung, tapi belum hujan. Ia masukkan dua payung ke dalam tas selempangnya, lalu keluar rumah.
Perjalanan ke sekolah anak-anak butuh sekitar 20 menit jalan kaki. Melewati gang sempit, naik sedikit ke jalan utama, lalu menyusuri trotoar kecil yang mulai rusak. Di tengah jalan, Dion melewati warung milik Bu Rina. Beberapa kali ia berutang di sana, sekadar untuk beli minyak goreng atau mi instan. Sekarang, setiap lewat, Bu Rina hanya mengangguk singkat.
Dion mengangguk balik, cepat-cepat berlalu.
Sampai di sekolah, ia duduk di bangku kecil dekat gerbang. Sudah biasa. Beberapa orang tua murid mengenalnya. Tapi tidak banyak yang menyapa. Kalau ada yang bertanya pekerjaan, Dion hanya bilang, “Kerja dari rumah, bantu-bantu istri.”
Jawaban itu singkat dan aman. Tidak membuka ruang untuk dikomentari lebih jauh.
Beberapa menit kemudian, dua anaknya keluar dari pintu kelas. Si sulung, Faris, duduk di kelas 3 SD. Adiknya, Hana, masih TK besar, tapi sekolahnya di gedung yang sama. Dion menyambut mereka dengan senyum kecil, memeriksa tas, lalu mengajak pulang.
“Lapar, Yah,” kata Hana.
“Iya, nanti kita makan ya,” jawab Dion.
Di rumah, Lestari sudah menyiapkan nasi dan tempe goreng. Dion bantu cuci tangan anak-anak, membagikan piring, lalu duduk bersama mereka. Makan tidak banyak bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Tapi ada kehangatan di meja makan itu, meski tanpa menu mewah.
Malam harinya, Dion menyelesaikan pekerjaan data, lalu mengirim lewat email. Ia tidak mengharap balasan cepat. Tapi berharap dibayar sesuai janji. Uang itu akan sangat berarti, setidaknya untuk kontrakan, atau utang warung.
Sebelum tidur, ia melihat HP. Grup keluarga masih ramai. Kali ini ada kabar tentang keponakan yang diterima kerja di bank. Ucapan selamat membanjir. Dion ikut mengetik: “Alhamdulillah, selamat ya.” Tapi pesannya tenggelam di antara puluhan balasan yang lebih direspon.
Ia meletakkan HP di meja, menarik napas panjang, lalu menatap langit-langit. Hari itu selesai, seperti hari-hari sebelumnya—penuh upaya, tapi tidak pernah benar-benar dianggap.
Lalu ia berdoa, pelan, nyaris tanpa suara.
“Ya Allah… hari ini tidak sempurna. Tapi semoga cukup.”