“Nggak, Intan. Aku nggak pergi. Kamu tahu itu, aku sudah bilang kemarin. Aku tidak mau menghabiskan uang sebanyak itu untuk makan malam dan goyang disko.”
“Kalau begitu aku akan pergi dengan Gugun.”
“Gugun Gundala?”
“Ya. Dia udah ngajak aku. Katanya dia dengar kamu bilang Deden kalau kamu nggak akan pergi.”
“Kamu tahu apa cerita Gugun di ruang ganti baju olah raga? Dia bilang dia sudah ngambil keperawanan setengah cewek-cewek di kelas tiga.”
“Aku nggak akan seperti itu. Jangan khawatir. Cuma makan malam dan disko. Aku nggak akan sampai selesai pesta.”
“Aku masih nggak suka, Intan.”
“Aku nggak mau nggak hadir perayaan kelulusanku, Timur. Ini hanya satu malam. Gugum cuma teman.”
Mereka berhenti berbicara dan melanjutkan perjalanan.
Timur bimbang. Biayanya perayaan kelulusan SMA hampir dua ratus ribu. Menyewa tuksedo, membeli karangan bunga, makan malam dan berdansa di diskotik, ngopi, taksi, semuanya terlalu mahal untuk dihabiskan hanya untuk satu malam perayaan. Dia punya uang, tabungannya hampir delapan ratus ribu, tetapi itu adalah jaring pengamannya, sesuatu yang menjadi andalannya kalau terjadi sesuatu.
Timur tidak punya siapa pun untuk mendukungnya setelah ayahnya meninggal. Dia punya pakaian, sepatu, dan makanan untuk dibeli. Dia bisa mengerti Intan ingin pergi, orang tuanya telah membelikan gaunnya, mereka punya banyak uang. Dan tentu saja Intan harus pergi, meskipun dia benci membayangkan Intan pergi dengan Gugun Gundala. Gugun pahlawan sepak bola sekolah. Gugun yang dikagumi semua cewek dan sebagian besar anak cowok juga.
Begitu mereka sampai di rumah Intan, Timur mencoba sekali lagi.
"Jadi, kamu pergi dengan Gugun."
"Ya. Aku lebih suka bersamamu, tetapi kalau kamu nggak mau keluar uang, jangan salahkan aku."
"Aku akan menghubungimu hari Sabtu."
"Oke."
Timur memperhatikan Intan berjalan menyusuri jalan masuk menuju pintu depan rumahnya. Intan begitu manis, cewek tercantik di kelas tiga. Bukan cuma kelas tiga, di seluruh sekolah, menurutnya. Bahkan di seluruh dunia. Dia sangat beruntung karena Intan menyukainya. Awalnya mereka menjadi teman, dan kemudian mulai berkencan.
Intan menoleh ke belakang sebelum membuka pintu depan. Rambut cokelat panjangnya diikat dengan bando di tengkuknya, sesuatu yang suka dielus Timur ketika mereka nonton di bioskop, dan Timur merangkul bahunya. Matanya, saat Intan tersenyum padanya, yang kini dia lakukan, bersinar dan dalam, Cokelat gelap namun juga sedikit hijau.
Timur balas tersenyum, karena dia tak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Dia cukup yakin dia mencintai Intan, tetapi tidak tahu apa itu cinta sebenarnya. Intan adalah cewek pertama yang pernah dia kencani, cewek pertama yang pernah dia cium.
Haruskah dia berubah pikiran dan menghabiskan uangnya?
'Tidak, tidak, tidak,' katanya pada diri sendiri, 'terlalu mahal untuk sesuatu yang terlalu sedikit.'
Dan Intan akan tetap menjadi pacarnya, dia yakin. Dia berbalik ketika Intan masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju rumahnya.
Agar pikirannya tidak memikirkan Intan dan pesta perpisahan Jumat malam, dia mengeluarkan Undangan Makan Malam dan Dansa Kelulusannya dan membuat catatan di baliknya. Mungkin lebih baik memanfaatkannya. Ada perabotan yang tidak bisa dia bawa ke tempat tinggal barunya. Dia harus memutuskan apa yang harus dia simpan.
Pakaian dari lemari dan laci ayahnya harus dibuang, meskipun ada beberapa kemeja tak terpakai yang akan dia simpan. Sayang sekali ukuran kakinya tidak sama dengan kaki ayahnya. Ada dua pasang sepatu yang belum terlalu tua yang harus dia buang, dan dia sangat membutuhkan sepasang baru. Lalu ada makanan yang harus dibeli untuk makan malam dan, mungkin, hal-hal yang harus dilakukan sebagai para penyewa.
Ibu Timur meninggal karena kanker lima tahun yang lalu pada tahun 1979 dan ayahnya meninggal pada bulan Maret karena stroke saat mengaduk semen. Pemilik rumah indekos mengizinkan Timur untuk tetap tinggal dengan harga sewa rendah yang sama seperti yang dibayarkan ayahnya, hingga akhir tahun ajaran. Namun, sebagai imbalannya, Len harus melakukan pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan ayahnya. Pekerjaan itu tidak banyak di musim kemarau karena atap yang bocor sudah ditambal, jadi memotong rumput adalah pekerjaan yang mudah.
Ayahnya mencari nafkah dengan melakukan pekerjaan serabutan untuk orang-orang di lingkungan sekitar yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun. Semua orang tahu untuk menghubunginya ketika mereka membutuhkan perbaikan alat listrik, kaki kursi yang patah, atau pipa ledeng bocor. Biayanya jauh lebih murah daripada memanggil tukang profesional, dan hasilnya pun sama bagusnya, terkadang lebih baik, dan selalu lebih cepat.
Timur membantu ayahnya sebisa mungkin dan menyukai gagasan menjadi tukang setelah lulus sekolah. Pekerjaannya menarik dan berubah setiap hari. Dia selalu bertemu orang baru dan mendapatkan teman baru. Itu akan menjadi kehidupan yang baik, tetapi sulit untuk memulainya. Siapa yang akan mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun untuk mengganti pipa air yang pecah saat pergantian musim, sesuatu yang telah dilakukan ayahnya beberapa kali selama beberapa tahun terakhir ketika hujan badai membuat suhu turun?
Dan akan butuh waktu lama sebelum mereka memanggilnya untuk memperbaiki peralatan mereka meskipun banyak yang melihatnya membantu ayahnya. Dia harus mencari pekerjaan yang layak pada bulan September setelah pekerjaan paruh waktu di kantor pos selesai.
Dia membeli enam butir telur, sekilo beras, dan sesisir pisang di warung tetangga. Itu sudah cukup untuk makan malam. Semoga dia diundang makan di rumah pamannya besok atau dia akan menghabiskan telurnya. Hari Sabtu dia akan pergi ke pasar swalayan dan membeli keperluan untuk minggu depan.
Sesampainya di rumah, dia menyimpan telur-telur itu di kulkas lalu membaca pesan yang diselipkan di bawah pintu. Toilet Bu Panut lagi-lagi tersumbat dan Pak Dira memberi tahu bahwa salah satu lampu di lantai empat tidak berfungsi. Dia mengambil penyedot toilet dan bohlam dari lemari terkunci di lorong tempat semua perlengkapan perawatan disimpan, lalu naik ke lantai tiga tempat Bu Panut dengan menggunakan lift.
Penyedot membuka sumbatan dan Timur kembali mengingatkannya untuk tidak membuang pembalut ke dalam toilet. Kemudian dia menaiki tangga untuk sampai ke lantai empat dan mengganti bohlam yang rusak. Kemudian dia mengembalikan penyedot ke loker dan turun ke lantai satu garasi, mengambil troli, dua tempat sampah plastik besar, lalu naik ke lantai lima menggunakan lift barang. Di sana, dia meratakan kardus-kardus dan memasukkannya beserta koran ke dalam salah satu tempat sampah, sementara gelas dan barang daur ulang ke tempat sampah lainnya.
Dia melakukan hal yang sama di lantai bawah, menyimpan koran Kompas dan Pikiran Rakyat untuk dibaca nanti. Dia senang tidak perlu melakukan semua pekerjaan rumah ini setelah pindah ke tempat tinggal barunya, tetapi dia benci membayangkan menghabiskan hampir setengah penghasilannya untuk sewa.
Setelah mengosongkan tempat sampah ke kotak-kotak besar di ruang basement, dia kembali ke kamarnya, mencuci tangan, lalu menggoreng dua butir telur untuk makan malam. Dia tetap duduk di meja dapur setelah makan, membayangkan seperti apa kehidupannya nanti.
Dia punya pekerjaan untuk bulan Juli dan Agustus, mengantar surat pos, menggantikan para petugas yang sedang berlibur, tetapi setelah itu tidak ada apa-apa.
Intan akan berada di Jakarta, mengambil mata kuliah matematika di Universitas Indonesia, sesuatu yang ingin dia lakukan tetapi tidak mampu dia laksanakan. Itu terjadi di kelas matematika kelas dua belas September lalu, tempat mereka pertama kali bertemu. Andai saja dia bisa pergi bersama Intan. Mungkin, kalau dia pergi, setelah satu atau dua tahun mereka mungkin bertunangan dan menikah setelah lulus. Mendapatkan pekerjaan bagus, membeli rumah, dan punya anak.
Itu mungkin masih terjadi meskipun ia tidak kuliah, tetapi kemungkinannya kecil.
Dia mendesah.
'Waktunya menghadapi kenyataan dan berhenti bermimpi. Sebaiknya aku mulai membereskan barang-barang ayahku.'