Ruang tamu sempit di kawasan tua Perumahan Cahyanisa, Kota Citra Angkasa, terasa pengap. Udara pun ikut terasa berat dengan dipenuhi ketegangan yang menyesakkan bagai mendung yang siap menumpahkan badai.
Di tengah-tengah ruangan, di bawah lampu pijar yang redup—yang seolah enggan menerangi—ada seorang remaja bertubuh jangkung dengan rambut acak-acakan yang sedang mengepalkan tangannya.
Rahang remaja itu mengeras menahan amarahnya yang mendidih.
Di hadapan remaja itu ada seorang pria paruh baya, dia adalah ayah dari si remaja, namanya Jefri Alamsyah. Tubuhnya sudah renta, bahunya bungkuk seolah ia memikul beban yang tidak terlihat.
Ia sedang menatap nanar ke lantai.
Butiran-butiran pil merah kecoklatan tampak berserakan, seolah memantulkan cahaya redup yang menjadi saksi bisu atas pertikaian pahit yang entah keberapa kalinya ini.
"Sampai kapan, Ayah? Sampai kapan?" remaja itu bertanya setengah berteriak, suaranya terdengar pecah. Sarat akan kekecewaan dan keputusasaan.
"Pil-pil bodoh ini lagi! Apakah Ayah tidak lihat bahwa kita hampir tidak punya apa-apa lagi? Uang kita habis hanya untuk mengejar mimpi kosong menjadi pendekar kuat itu! Apakah Ayah mau bunuh diri?"
Mata remaja itu menyorot tajam ke arah Jefri.
"Apakah dia tidak ada lagi menyimpan rasa hormat yang tersisa sedikit pun kepadaku? Mengapa kamu menuduhku seperti itu, nak?' batin Jefri.
Ia ingin menjelaskan dan menceritakan beban yang dipikulnya terkait alasan dibalik setiap pil yang ditelan. Jefry juga ingin memberitahu ada harapan yang jauh lebih besar dari sekedar ambisi pribadi.
Tetapi ia tidak bisa melakukannya. Sebab remaja yang merupakan putranya itu tidak memberinya kesempatan.
"Apakah Ayah berpikir bahwa aku ini bodoh? Ayah beli pil penguat darah, 'kan? Ayah tahu bahwa itu adalah obat keras dan bisa merusak tubuh. Tapi mengapa Ayah tetap melakukannya?"
Ia lalu meludah ke lantai. Tapi bagi Jefry, kata-kata anaknya itu terasa seperti ludahan yang langsung mengenai wajahnya.
"Aku benci Ayah! Aku benci mimpi konyol itu!"
Brakk!!!
Dengan suara keras, pintu kamar dibanting olehnya sampai menggetarkan kusen yang lapuk.
Remaja itu pergi, hanya meninggalkan Jefry dalam keheningan yang menyakitkan dan gema dari kata-kata menusuk itu.
Jefri tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menghela nafas panjang. Nafas yang terasa berat, seolah membebani dadanya.
"Ah ..., lututku."
Cedera lama di lututnya tiba-tiba berdenyut dan memberikan rasa nyeri. Hal itu membuat setiap gerakannya menjadi siksaan. Jefri tidak bisa berjongkok dengan sempurna.
Terpaksa, dengan tubuh yang gemetar, Jefry berlutut lalu memunguti satu per satu pil yang berserakan di lantai itu.
Setelah mengumpulkan 'harga dirinya' yang berserakan, Jefri segera kembali ke kamarnya.
Kamar itu tidak kalah sempit dari ruang tamu.
Sepasang mata Jefry terpaku di depan sebuah foto yang sudah memudar di atas meja.
Wanita cantik dalam foto itu memiliki mata yang berbinar penuh kehangatan, seolah memancarkan cahaya di tengah kegelapan yang menyelimutinya saat ini.
Itu adalah foto Arini, istrinya.
"Arini ...," gumamnya lirih dengan perasaan haru.
Air mata Jefry menggenang, membasahi pelupuk matanya yang memerah.
Ia telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya dalam dunia seni bela diri, memeluk erat harapan untuk menjadi pendekar tangguh, membayangkan kejayaan dan pengakuan.
Namun ternyata, kenyataan jauh lebih kejam dari mimpinya selama ini.
"Arini ..., aku tidak punya bakat, Arini," bisiknya lirih. "Aku tidak punya koneksi yang kuat, apalagi sumber daya yang melimpah untuk menunjang latihan. Semuanya sia-sia, Arini."
Segala upaya yang telah Jefri lakukan selama ini seperti memukul tembok baja. Impian itu seakan ilusi yang terus menjauh.
Arini yang melihat betapa kerasnya Jefri berjuang, berniat untuk membantunya.
Atas dasar cinta dan ingin berkorban, Arini nekat. Ia pergi ke daerah terpencil yang terkenal penuh radiasi untuk mengumpulkan batu tambang langka demi mendapatkan uang yang bisa membiayai latihan Jefri.
Semua itu ia lakukan demi bisa mewujudkan impian suaminya tersebut.
Ketika Jefri tersadar akan pengorbanan Arini, semuanya sudah terlambat. Belahan jiwanya telah terkena penyakit parah akibat paparan dari radiasi.
Meskipun teknologi di dunia ini sangat maju, penyakit itu tetap tidak bisa disembuhkan.
Saat itu, hati Jefri hancur berkeping-keping, diliputi dengan penyesalan yang membakar. Ia merasa gagal, ia telah menghancurkan hidup wanita yang paling dicintainya.
Dokter yang sempat menangani Arini menyarankan satu-satunya cara, yaitu memasukkan istrinya ke dalam pembekuan khusus.
"Mungkin puluhan tahun ke depan akan ada teknologi yang bisa menyembuhkan penyakit ini," kata sang dokter dengan nada datar, tanpa sedikit pun harapan dalam suaranya.
Sejak peristiwa itu, hidup Jefri Alamsyah berubah total.
Ia hidup dalam bayang-bayang penyesalan. Terpaksa, ia memutuskan bergabung dengan pasukan federal di medan perang.
Jefri rela mempertaruhkan nyawa demi mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dengan harapan suatu saat nanti bisa menyelamatkan Arini dan membangunkannya dari tidur panjang yang dingin.
Namun ironisnya, ambisi itu justru membuat Jefri melupakan sesuatu yang tidak kalah penting.
Putra semata wayangnya itu kini sudah berusia enam belas tahun. Dia tumbuh dengan kebencian yang mendalam terhadap dirinya.
Hubungan mereka benar-benar buruk. Seolah hubungan itu terjalin dalam benang-benang permusuhan yang kusut.
Dalam kesendirian itu, sebuah kesadaran tiba-tiba menghantamnya. Sebuah realitas pahit yang selama ini ia tolak.
"Mungkin benar apa kata orang tua dulu, bahwa dalam hidup ini, tidak semua orang ditakdirkan menjadi tokoh utama dalam kisah hidupnya."
Selama ini ia sibuk mengejar kekuatan dan terlalu terobsesi dengan ambisi pribadinya, sampai melupakan orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi prioritas.
"Maafkan Ayah, nak. Selama ini Ayah memang terlalu berambisi untuk menjadi kuat. Sekarang Ayah sadar." gumamnya penuh rasa penyesalan.
Jefri menatap foto Arini lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Arini, maafkan aku. Aku ..., aku memang tidak berguna. Aku terlalu ambisius. Aku telah gagal menjadi Ayah, aku juga gagal mengejar mimpiku sendiri dan secara tidak sengaja telah membuatmu pergi. Aku ..., aku telah menghancurkan segalanya."
Pada saat Jefri sedang menyesali semua yang telah terjadi selama ini, tiba-tiba ponselnya yang sudah usang berdering memecahkan keheningan.
Sebuah pesan masuk.
Pesan itu dari PT Astranova Teknologi, perusahaan tempat istrinya dibekukan.
PT Astranova Teknologi, Peringatan Pembayaran.
Yth. Bpk. Jefri Alamsyah,
Kami ingin mengingatkan bahwa tagihan biaya pembekuan atas nama Ny. Arini akan jatuh tempo dalam tiga hari mendatang. Mohon segera melakukan pembayaran. Jika sampai gagal bayar dua kali, maka fasilitas akan dimatikan.
Terimakasih atas perhatiannya.
Jefri hanya bisa tersenyum getir saat membaca pesan tersebut.
"Aku kira ..., aku mendapatkan sebuah pesan dari sistem," gumamnya pelan.
Selama hidupnya, Jefri memang pernah mengalami suatu pengalaman yang aneh—seperti melintasi waktu.
Dalam benaknya yang terdalam, Jefri menanti munculnya bantuan dari sebuah sistem. Seperti yang terjadi dalam cerita-cerita fiksi.
Namun kenyataannya sangat jauh berbeda.
Biaya pembekuan istrinya yang sudah tinggi sejak awal, kini terus merangkak naik dan mencekik secara perlahan.
"Bagaimana aku bisa membayar biaya pembekuan Arina kalau keadaannya terus seperti ini." katanya bergumam kepada diri sendiri.
Jefri benar-benar kebingungan. Sedangkan dari pekerjaan paruh waktunya di balai bela diri pun belum juga dibayar.
"Apakah aku harus mencari pinjaman dulu?"
Seraya memikirkan jalan keluar dari masalah peliknya saat ini, Jefri merogoh kantong celana dan menemukan beberapa butir pil merah kecokelatan. Pil penguat darah yang tadi ia pungut dari lantai.
Jefri tidak boleh membiarkan kondisi tubuhnya terus merosot. Karena jika ia gagal dalam evaluasi tahunan untuk lisensi pendekar, maka hidupnya akan benar-benar tamat.
Bukan hanya impiannya saja yang akan hancur, melainkan harapan terakhir untuk Arini juga termasuk di dalamnya.
"Aku harus kuat," gumamnya.
Jefri lalu memasukkan pil penguat darah itu ke dalam mulutnya.
Begitu menelan pil tersebut, tubuhnya langsung terasa panas. Seolah ada energi yang langsung mengalir. Wajahnya pun tampak lebih segar.
Namun efek itu hanya berlangsung sesaat.
Tidak lama kemudian, Jefri batuk hebat, dadanya terasa terbakar. Ia memuntahkan darah berwarna hitam pekat.
"Apa ..., apa yang terjadi?"
Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuhnya, seolah rasa sakit itu meremas-remas organ dalam Jefri.
Brukk!!!
Jefri ambruk ke lantai. Tubuhnya menggeliat menahan sakit. Nafasnya tersengal, pandangannya buram.
Di tengah kesadaran yang semakin menipis, samar-samar ia melihat bayangan Arini.
"Maafkan aku, Arini ...,"
Penyesalan dan cinta yang tidak terucapkan terangkum dalam satu bisikan terakhir yang lirih.
Saat itu, jam di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Tepat di detik itu, tanggal pun terganti.
Hari ini sebenarnya adalah hari ulang tahunnya yang ke-38. Tetapi Jefri juga merasa bahwa hari ini, mungkin merupakan hari kematiannya.
Pada detik-detik terakhir itu, tiba-tiba sebuah suara memecahkan keheningan yang mencekam. Disusul kemudian dengan suara lain yang jernih, dingin, namun penuh otoritas.
["Sistem Tak Terkalahkan Sejak dalam Kandungan berhasil diaktifkan."]