Sorot matahari di kota Langsa cukup menawan, dua wanita bohai dengan rambut panjang melenggang bagai prinadona di pelataran trotoar.
"Ngomong-ngomong tau nggak, ada lestoran endol di daerah sini, tapi aku lupa, sebelah mana, ya?" Wanita berkucir kuda itu melengok kedua arah.
Senyum sumbing tergambar di wajah temannya itu. "La Pasta yang Chef-nya itu Kece badai kan?"
"Hah, Iya, iya. Fa-Ffaz," kelakarnya dengan ucap yang ugal-ugalan.
"Chef Fajar!"
"Nah, iya Fajar. Kamu tahu?"
"Tau-lah. Gimana nggak tahu, dia Koki paling TENOR saat ini, eh maksudnya Tenar."
Keduanya terkekeh geli dengan suasana sejuk menyenangkan. Berbanding terbalik dengan situasi di kolong kompor.
Istilah sebuah dapur istimewa yang ada di Lestoran LA PASTA.
Prang!
Seketika sebuah piring porselen yang estetik melayang menghantam dinding hingga pecah berantakan.
Saus merah dengan aroma pekat spageti lumer melorot perlahan ke bawah.
"C-Chef?!"
Semua pekerja membeku.
Fajar, pria muda dengan tubuh tegap, wajah putih, rahang tegas seperti orang Eropa, berdiri di tengah ruangan.
Tangannya melinting ke belakang, urat di lengannya menonjol, sedangkan matanya tajam menusuk Karina.
"Di mana otak kamu? Udah bosan kerja di sini? Atau, mau aku pecat?!"
Sebagai seorang asisten dapur yang tubuhnya kecil, Karina menggelengkan kepala, sampai wajahnya pucat pasi.
“Kenapa rasa sausnya beda?” suara Fajar menekan Karin. “Kamu pikir aku nggak tau, hah? Dari awal aku cium, udah kuduga ada tambahan terasi!”
Karina berusaha bicara, di balik bibirnya yang gemetar. “Ta-tapi… aku cuma—”
Brak!
Fajar nambah marah, ia menyambar taplak meja panjang dan menariknya sekuat tenaga.
Semua piring, gelas, dan peralatan yang tertata rapi terhempas ke lantai.
"Argh."
Suara retakan piring menyatu dengan jeritan kecil beberapa pegawai.
Udara di dapur jadi tebal. Tak ada yang berani bergerak, apalagi bicara.
Fajar menunjuk Karina dengan sendok besar yang masih meneteskan saus. “Aku udah bilang, resep itu nggak boleh diganggu. Apalagi ditambahin barang kampung kayak gini! Spageti itu western, Karina! Sausnya harus murni tomat, bawang, herbs! Bukan terasi!”
Karina menunduk dalam, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dia tak berani membalas.
Selang satu menit.
Tiba-tiba, seorang pria tinggi besar melangkah maju. Bagai pahlawan kesiangan, ia menghadapi Fajar begitu berani.
Tubuhnya lebar, bahunya seperti tembok, dan apron hitamnya penuh noda tepung. Namanya Arman, salah satu koki senior yang jarang ikut campur urusan Fajar. Tapi kali ini, suaranya keluar sangat jelas.
“Maaf Chef…” Arman menatap Fajar dengan hati-hati. “Itu… permintaan dari Tuan Besar. Kami semua nggak berani nolak.”
Ruangan langsung semakin sunyi. Kata “Tuan Besar” selalu membuat semua orang di restoran itu merasa seperti dicekik.
Pemilik semua restoran di Langsa, pengusaha yang punya puluhan cabang, dikenal temperamental dan tak segan memecat siapa pun hanya karena salah mengiris bawang.
Fajar menoleh pelan pada Arman, matanya semakin menyipit. “Permintaan?”
Sampai di depan Arman, Fajar mengangkat sendok berisi saus yang sudah menetes-netes itu. “Rasakan!” desisnya. “Coba, sejak kapan ada spageti pakai terasi, hah? Sejak kapan?! Mana mungkin tuan besar suka yang begituan?”
Arman menelan ludah, lalu dengan ragu mencicipi. Begitu rasa asin, amis, dan pedas menyentuh lidahnya, dia spontan mengerutkan dahi. Memang aneh. Terasi menutupi aroma tomat dan oregano.
Fajar memandangnya tajam, nyaris seperti menunggu pengakuan bersalah. “Gila? Ini gila, kan?!”
Arman tak langsung jawab.
Dia melirik Karina yang menunduk makin dalam, lalu kembali ke Fajar. “Chef… Tuan Besar bilang mau bikin ‘menu fusion’. Katanya biar beda dari yang lain. Saya cuma nyampein.”
“Menu fusion?!” serunya, suaranya meninggi.
“Kalau mau fusion, ya pakai yang cocok! Jangan ngawur begini! Terasi itu buat sambal, bukan saus pasta!”
Beberapa pegawai saling pandang, berharap percakapan ini cepat selesai. Tapi Fajar malah mengacak-acak meja bumbu, botol-botol kecil jatuh berdebam ke lantai.
“Dengar semua!” Fajar memutar tubuh, menatap satu per satu wajah yang menunduk. “Kalau besok ada lagi yang nurutin permintaan absurd kayak gini tanpa ngomong ke aku dulu, siap-siap aja keluar dari sini! Aku nggak peduli siapa yang nyuruh! Sekalipun itu Tuan Besar!”
Karina menutup mulutnya, menahan isak. Arman menunduk, tak berani membalas.
Dapur itu, yang biasanya penuh aroma masakan dan tawa kecil di sela kesibukan, kini berubah seperti medan perang.
Panci-panci yang masih mendidih di kompor, tapi tak ada yang berani memegangnya. Semua hanya berdiri, membeku di bawah tatapan Fajar.
Tak sampai lima menit, suara langkah sepatu menggaung dari arah lorong.
Pintu restoran terbuka otomatis dengan lebar. Masuklah seorang pria sedikit bantet, tubuhnya bulat padat, tapi wibawanya membuat semua orang menyeruak tegang.
Jas hitamnya rapi, dasinya berkilat, dan di kedua sisinya ada dua pengawal berpakaian gelap yang jelas bukan sekadar penjaga pintu.
Di belakangnya, beberapa orang kaya tampak ikut memagari sosok itu.
Fyuh.
Langkahnya di penuhi kelulam asap yang keluar dari mulutnya yang bau.
Kilatan kamera dari para fotografer lokal memercik ke segala arah.
"Tuan, Bagaskara datang. Raja di segala aura makanan. Wow."
Suara klik-klik kamera seperti tembakan jarak dekat, menyambut kedatangan Baskara Mahendra.
Bisik-bisik langsung menyebar.
“Dia datang…”
“Tuan Besar…”
Begitu mendengar kabar itu, Fajar yang masih menyisakan amarah di dadanya spontan menepis keringat dari pelipis.
Rahang Fajar mendadak mengendur, bibirnya membentuk senyum lebar yang terkesan dipaksakan.
“Bereskan tempat ini. Cepat! Jangan ada noda saus sedikit pun!” perintahnya, suaranya rendah tapi tegas.
Fajar membetulkan apron yang ia kenakan, lalu menarik napas panjang.
Saat Tuan Besar akhirnya memasuki area ruangan inti lestoran itu dengan terbuka, Fajar melangkah maju, senyum profesionalnya mengembang seperti iklan majalah kuliner.
“Chef Fajar!” sapa Tuan Besar dengan suara berat dan berwibawa. Mereka berjabat tangan, seolah tidak ada ketegangan yang baru saja meledak di balik dapur ini.
"Selamat datang Tuan Baskara." Tunduknya patuh.
“Nah ... Ini dia, Chef yang sangat berdedikasi. Salah satu kebanggaan kota Langsa ini."
Fajar sedikit menaikkan alisnya, berdiri gagah, tersenyum seperti pahlawan yang baru saja dianugerahi medali.
Semua sorot kamera tertuju padanya.
Pak Baskara hendak duduk di kursi yang sudah di tarik lebih dahulu oleh pengawalnya. “Mana makanan yang harus aku cicipi hari ini?” tanyanya, terdengar santai.
“Tunggu sebentar, Tuan. Saya akan siapkan yang terbaik,” jawab Fajar mantap.
Tak lama, pelayan datang membawa piring besar.
Saus merahnya masih beruap, aroma basil bercampur dengan sesuatu yang… membuat Fajar ingin menutup hidungnya.
Ia tahu betul, itu saus terkutuk yang mengandung terasi.
Piring diletakkan tepat di depan Tuan Besar.
Semua mata memandang. Suasana yang tadinya riuh berubah hening.
Hanya suara kamera yang masih ceklak-ceklik sesekali.
Tuan Besar menyendok pasta itu. Dia mengangkat garpu, memutarnya, lalu mengangkat ke mulutnya.
Bibirnya sedikit menganga, gigi depannya mulai menggigit ujung pasta…
"Mh...." Tuan Gendut mengunyah dengan rakus namun seketika keningnya mengernyit.