Bau sate bakar bercampur aroma minyak goreng basi menempel di udara, menciptakan lapisan kabut tak kasat mata yang menggantung di lorong pasar malam. Musik dangdut dari speaker reyot memekakkan telinga, dentuman bass-nya terasa sampai ke tulang. Suara pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mulai mereda, digantikan oleh deru angin malam yang membawa aroma laut dari dermaga tak jauh dari sana. Pasar ini, dengan segala kekacauannya, adalah tempat yang hidup—dan juga tempat yang menyimpan rahasia di setiap sudutnya.
Arka Wiratama berdiri di ujung lorong, tangan dimasukkan ke saku jaket kulitnya yang sudah aus di bagian siku. Rokok menyala di bibirnya, mengeluarkan asap tipis yang lenyap tersapu angin. Matanya, tajam dan terlatih, memperhatikan pergerakan dua pria berjaket hitam yang sudah setengah jam ini mengikuti seorang perempuan muda berjaket krem. Gerakan mereka terlalu sigap untuk sekadar pembeli biasa. Langkah mereka terlalu fokus, terlalu ringan, seperti predator yang menunggu momen untuk menutup jarak. Arka tahu pola itu—ia pernah menjadi bagian dari dunia yang penuh pola seperti itu. Naluri tentaranya, yang sudah ia coba kubur bertahun-tahun, kembali bangkit, mengalir seperti darah di nadinya.
Perempuan itu melangkah cepat, menunduk melewati gerobak mainan plastik yang dipenuhi lampu warna-warni. Ia menoleh sekali, sekilas, tapi cukup untuk memperlihatkan wajahnya yang cantik: kulit sawo matang, rambut hitam terurai sedikit basah oleh keringat, dan tatapan mata yang penuh kepanikan. Satu detik, mata mereka bertemu. Itu sudah cukup bagi Arka untuk tahu bahwa malam ini tidak akan berakhir dengan tenang.
Arka menghela napas panjang, asap rokoknya membubung ke udara. "Brengsek… kayaknya malam ini saya nggak bisa pulang tenang," gumamnya, suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam deru musik dangdut.
Lorong pasar semakin sepi. Para penjual mulai membereskan lapak mereka, menyisakan deretan lampu bohlam redup yang bergoyang ditiup angin. Perempuan itu berbelok masuk ke gang kecil di antara toko kaset tua dan warung kopi yang sudah tutup. Arka menggeleng pelan—gang itu buntu, kesalahan fatal bagi siapa pun yang sedang dikejar. Ia mematikan rokoknya dengan ujung sepatu, lalu berjalan santai menuju gang, langkahnya santai tapi penuh kewaspadaan.
Di dalam gang, suasana berubah. Bau sampah dan minyak goreng basi semakin menyengat, dinding-dinding bata yang lembap memantulkan suara langkah kaki. Salah satu pria berjaket hitam menarik lengan perempuan itu dengan kasar, membuatnya tersandung. "Udah ikut aja, Neng, jangan banyak gaya!" suaranya parau, penuh ancaman. Tangannya mencengkeram kuat, meninggalkan bekas merah di lengan perempuan itu.
"saya udah bilang, saya nggak kenal kalian!" Perempuan itu berusaha melepaskan diri, suaranya bergetar tapi penuh tekad. Pria kedua, yang lebih pendiam, mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya dan menodongkannya ke pinggang perempuan itu. Cahaya lampu bohlam redup memantul di bilah pisau, menciptakan kilau yang mengancam.
Arka muncul di mulut gang, bersandar di pintu kayu tua yang sudah lapuk. Ia menepuk-nepuk saku celananya, seolah mencari sesuatu, lalu berkata dengan nada datar, "Lama-lama bosen juga liat adegan kayak gini."
Kedua pria itu menoleh serentak. Ekspresi kaget di wajah mereka segera berubah menjadi kemarahan. "Urusan lu apa, Bang?" bentak pria yang memegang lengan perempuan itu.
Arka melangkah mendekat, sepatunya mengeluarkan bunyi pelan di lantai semen. "saya cuma nggak suka liat orang main keroyok perempuan. Itu aja," jawabnya, suaranya tetap tenang, tapi ada nada dingin yang membuat udara terasa lebih berat.
Pria dengan pisau mengangkat senjatanya, mencoba menakut-nakuti. "Minggir, atau perut lu yang saya tusuk duluan!"
Arka hanya tersenyum tipis. Dalam hitungan sepersekian detik, ia bergerak. Tangannya meraih pergelangan pria itu, memutarnya dengan presisi hingga terdengar bunyi "krek" dari sendi yang patah. Pria itu menjerit, pisau jatuh ke tanah. Arka menendang lututnya, membuatnya ambruk. Pria kedua mencoba menyerang dari belakang, tapi Arka sudah memutar badan, menghantamkan sikut ke rahangnya. Tubuh pria itu menghantam dinding bata, darah mengalir dari bibirnya yang pecah.
"Lu berdua salah orang," kata Arka dingin, sebelum menarik perempuan itu keluar dari gang.
Di jalan utama pasar malam, lampu-lampu terang kembali menyinari wajah perempuan itu. Arka memperhatikan detailnya untuk pertama kali: mata almond yang tajam, bibir penuh, dan luka gores kecil di pipinya yang tampak baru. Napas perempuan itu masih terengah-engah, tapi ia berusaha menenangkan diri.
"saya… saya nggak tahu harus gimana kalau tadi kamu nggak ada," katanya, suaranya masih bergetar.
Arka hanya mengangkat bahu. "Lain kali jangan masuk gang kalau nggak yakin ujungnya ke mana."
Perempuan itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan. "saya Rania. Rania Maheswari."
Nama itu menggema di kepala Arka. Maheswari—nama belakang yang sering ia dengar di berita, terkait Menteri Pertahanan. Tapi ia menahan diri untuk bertanya lebih jauh. "Arka," jawabnya singkat.
Tiba-tiba, suara deru mesin motor memecah keheningan. Dua motor melaju cepat dari ujung jalan, lampu sorotnya menyilaukan. Rania menegang, matanya melebar. "Mereka…"
Arka tidak menunggu penjelasan. Ia meraih tangan Rania dan berlari menembus kerumunan pengunjung pasar yang mulai menyingkir sambil memaki. Suara mesin motor semakin dekat, disertai teriakan kasar. Mereka berbelok ke gang samping sebuah hotel murah, menuruni tangga sempit menuju area parkir bawah tanah. Bau bensin dan oli menyengat hidung. Arka menekan punggung Rania ke tembok, tubuhnya menutupi.
"Jangan bergerak," bisiknya. Napas mereka nyaris bersentuhan, hangat di udara dingin.
Dua motor itu berhenti di pintu masuk parkiran. Langkah kaki tergesa menggema di ruang bawah tanah itu. Dari balik bayangan, Arka melihat salah satu pengendara membawa tongkat besi, yang lain menenteng rantai. Mereka memeriksa setiap sudut dengan gerakan terlatih.
Arka menarik napas pelan, lalu berbisik, "Di hitungan ketiga, kita keluar lewat pintu belakang. Jangan lihat ke belakang."
Rania mengangguk, matanya terkunci pada tatapan Arka. Ada ketegangan aneh di sana—bukan hanya ketakutan, tapi juga kepercayaan penuh pada orang asing yang baru ia temui.
"Satu… dua… tiga!"
Mereka berlari. Arka menendang pintu besi darurat, membuatnya terbuka dengan dentuman keras. Teriakan dan langkah kaki mengejar terdengar di belakang. Udara malam di luar menusuk kulit. Mereka berlari menembus jalan kecil yang tembus ke area dermaga tua. Lampu-lampu jalan sebagian mati, menyisakan cahaya redup dari kapal nelayan yang terombang-ambing di air hitam.
Arka menyuruh Rania bersembunyi di balik kontainer. Ia sendiri berdiri di tengah jalan, menghadang dua pria bersenjata rantai dan tongkat besi yang kini mendekat dengan langkah penuh amarah. "saya udah bilang tadi," kata Arka sambil menggulung lengan jaketnya, memperlihatkan bekas luka lama di lengannya, "malam ini kalian salah orang."
Pertarungan pecah. Rantai berdesing di udara, tapi Arka menangkapnya dengan tangan kosong, menarik si pemilik rantai mendekat, lalu menghantamnya dengan lutut ke perut. Tongkat besi nyaris menghantam kepalanya, tapi ia merunduk dan memutar, mengunci lengan lawan sampai terdengar bunyi patah. Dalam hitungan detik, kedua pria itu terkapar, mengerang kesakitan.
Arka membuang rantai ke tanah, lalu berjalan ke arah Rania. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya.
Rania mengangguk, tapi matanya kini memancarkan kekaguman bercampur rasa penasaran. Sebelum Arka sempat bicara lagi, suara deru mobil mendekat. Sebuah SUV hitam berhenti mendadak, pintu belakang terbuka, dan seorang perempuan berambut pendek dengan jaket kulit merah turun sambil memegang pistol.
"Naik kalau mau hidup," katanya datar.
Rania tersenyum tipis. "Maya… tepat waktu."
Arka mengangkat alis, bingung tapi tetap waspada. "Kayaknya saya butuh penjelasan panjang."
Maya meliriknya, lalu mengarahkan pistol ke para pria yang masih mengerang di tanah. "Kamu dapat penjelasan di jalan. Sekarang naik."
Arka menatap Rania, lalu Maya, dan akhirnya SUV hitam yang menunggu.