Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
PENDEKAR MACAN KUMBANG

PENDEKAR MACAN KUMBANG

Lisong hijau | Bersambung
Jumlah kata
55.8K
Popular
100
Subscribe
7
Novel / PENDEKAR MACAN KUMBANG
PENDEKAR MACAN KUMBANG

PENDEKAR MACAN KUMBANG

Lisong hijau| Bersambung
Jumlah Kata
55.8K
Popular
100
Subscribe
7
Sinopsis
FantasiFantasi TimurSilatPerangPertualangan
Randu seorang bocah yang di selamatkan oleh seorang pendekar misterius dari pembantaian perampok yang memporak porandakan desa dan membantai keluarganya 15 tahun kemudian Randu yang di latih oleh pendekar misterius tumbuh menjadi pemuda gagah mewarisi ilmu dari guru yang bijaksana namun konyol petualangan Randu memburu gerombolan perampok yang membunuh ayah dan ibunya adalah petualang penuh aksi dalam memberantas kejahatan hingga dikenal sebagai Pendekar Macan Kumbang
Bab 1: DESA YANG TERLUKA

Matahari pagi baru saja menyingkap tirai langit, menyentuh ujung-ujung pucuk bambu yang menjulang tinggi di tepi sawah. Embun masih bergantung di daun padi, berkilauan seperti permata kecil. Di Desa Sukaendah, pagi biasanya dimulai dengan suara kokok ayam, derap kaki kerbau yang ditarik ke sawah, dan tawa anak-anak yang berlarian di jalan tanah. Tapi pagi itu, alam seolah menahan napas.

Kemudian, dari kejauhan, terdengar derap kaki yang tak beraturan—bukan langkah petani, bukan pula langkah pengembara yang damai. Itu adalah langkah bencana. Teriakan liar menggema, memecah kesunyian pagi seperti petir di musim kemarau. Burung-burung beterbangan dari pepohonan, bulu-bulunya tersebar di udara. Lembu di kandang meronta, meronta karena merasakan aura maut yang datang.

Gerombolan perampok bersenjata golok, tombak, dan cambuk baja menerobos pematang sawah. Mereka datang seperti badai, membawa bau besi dan nafsu yang tak terkendali. Di tengah mereka berdiri seorang raksasa dengan tubuh kekar, wajahnya ditutupi topeng tengkorak yang terbuat dari tulang hewan. Matanya menyala seperti bara api. Dialah **Rangga Kalajengking**, pemimpin Sekte Kalajengking Hitam—organisasi kejam yang dikenal karena kekejaman mereka di wilayah perbatasan Jawa Barat.

"**BAKAR! HABISI!**" teriaknya, suaranya mengguncang dinding-dinding rumah bambu. "**Ambil semua yang bernilai! Bunuh siapa pun yang melawan!**"

Api pertama menyala di gudang padi milik Pak T Jaya. Asap tebal segera membumbung ke langit biru, mengaburkan cahaya matahari. Rumah-rumah mulai dihancurkan. Para wanita berteriak, anak-anak menangis, sementara beberapa warga berusaha melawan dengan alat seadanya—cangkul, sabit, bahkan batu. Namun mereka tak ada apa-apanya dibandingkan dengan pasukan bersenjata yang terlatih dalam kekejaman.

Di tengah kekacauan, dalam sebuah rumah kecil di ujung desa, seorang bocah lima tahun bernama **Randu** meringkuk di bawah meja bambu. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya pendek-pendek. Ia mencoba membungkam tangisnya dengan gigitan jari, tapi air mata terus mengalir, membasahi lantai dari anyaman bambu.

Di atasnya, **Nyi Raras**, ibunya yang lemah lembut namun penuh keberanian, berusaha melindungi anaknya dengan tubuhnya sendiri. Ia berbisik pelan, “Jangan takut, Nak. Ibu di sini. Ibu takkan pergi.”

Namun di luar rumah, suara dentuman dan teriakan semakin dekat. Pintu rumah terbanting terbuka. Siluet seorang lelaki tegak berdiri di ambang pintu, memegang sebilah golok tua yang berkilat redup di bawah cahaya api.

Itu **Ki Surya**, ayah Randu, kepala desa Sukaendah. Ia bukan petarung ulung, bukan pendekar dari gunung-gunung tinggi. Ia hanya seorang petani yang mencintai kedamaian. Tapi sebagai kepala desa, ia bersumpah akan melindungi rakyatnya—sampai napas terakhir.

“**Jangan sentuh warga desa kami!**” teriaknya, suaranya parau, tapi penuh tekad.

Empat perampok masuk, mengelilinginya. Mereka tertawa, menganggap Ki Surya hanya lelaki tua yang tak berdaya. Tapi mereka salah.

Dalam sekejap, Ki Surya melompat maju. Goloknya berputar cepat, menebas lengan salah satu perampok hingga darah memercik. Yang kedua terkena tendangan keras di perut, terjatuh ke tanah. Yang ketiga mencoba menyerang dari samping, tapi Ki Surya memutar tubuhnya, dan goloknya mengoyak bahu sang penyerang.

Namun, keberanian tak selalu cukup melawan jumlah.

Tombak panjang menusuk dari samping, menembus dada Ki Surya. Darah segar memercik ke dinding. Ia terhuyung, tapi masih berdiri. Matanya mencari—dan menemukan Randu yang masih tersembunyi di bawah meja.

“**Lari… nak…**” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. “**Lari… selamatkan dirimu…**”

Lalu tubuhnya ambruk. Darah mengalir deras dari dadanya, membasahi tanah. Matanya masih terbuka, menatap anaknya, seolah berusaha mengingat wajah kecil itu untuk terakhir kalinya.

Nyi Raras menjerit histeris. Ia berusaha bangkit, tapi dua perampok langsung menyeretnya keluar. Ia menendang, menggigit, mencakar—tapi tubuhnya terlalu lemah. “**Randu! LARI!**” teriaknya sebelum suaranya terputus oleh pukulan di kepala.

Randu ingin berteriak. Ingin berlari. Ingin memeluk ayahnya. Tapi tubuhnya beku. Dunia seolah runtuh. Bau darah, asap, dan teriakan memenuhi inderanya. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri—cepat, kencang, seperti drum perang yang tak beraturan.

Saat seorang perampok dengan mata merah dan gigi emas mengangkat goloknya, siap menghabisi Randu yang masih terguncang di bawah meja, sesuatu terjadi.

**Sreeeettt! Plakkk! Wussss!**

Sebuah jarum kecil, tipis seperti rambut, menancap tepat di bola mata perampok. Ia menjerit kesakitan, goloknya terlepas dari tangan. Belum sempat ia berteriak lagi, sebuah suling besar menghantam tengkuknya dengan kecepatan dan presisi yang luar biasa. Tubuhnya langsung lunglai, jatuh tanpa suara.

Dari balik asap dan api, seorang lelaki tua muncul. Rambutnya panjang, putih seperti salju, tergerai bebas di punggungnya. Jubahnya lusuh, penuh tambalan, tapi langkahnya tenang, seperti angin yang tak terganggu oleh badai. Di punggungnya tergantung sebuah suling besar dari kayu hitam, ukirannya rumit, seolah menyimpan rahasia zaman kuno. Di tangan kirinya, sebotol minyak kayu putih digenggam erat.

Ia berdiri di tengah kobaran api, tanpa takut, tanpa gugup. Matanya yang tajam seperti elang memandang sekeliling, menilai musuh seperti seorang penatua yang sedang menilai anak-anak nakal.

“**Sudah kubilang…**” gumamnya datar, suaranya rendah namun menusuk, “**jangan bikin ribut dekat hutan tempat saya nonton burung.**”

Tidak ada yang menyangka lelaki tua ini berbahaya. Tapi saat ia menggerakkan tangan kirinya, botol minyak kayu putih dilemparkan ke udara. Dengan gerakan cepat, jari-jarinya menyambar sesuatu dari lipatan jubah—**jarum-jarum perak**, kecil, halus, tak terlihat oleh mata biasa.

Satu per satu, jarum itu ditembakkan dengan jari, dengan kecepatan dan akurasi yang tak masuk akal. Jarum pertama menancap di leher perampok yang hendak menyerang Nyi Raras—ia langsung terjatuh, lemas. Jarum kedua mengenai pergelangan tangan penyerang yang memegang tombak—tombaknya terlepas. Jarum ketiga, keempat, kelima—mengenai titik-titik vital: pelipis, leher, jantung.

Perampok yang tersisa mulai panik. Mereka tak pernah menghadapi musuh seperti ini—diam-diam, tak bersuara, tapi mematikan. Rangga Kalajengking, yang menyaksikan dari kejauhan, menggeram.

“**Siapa kau?!**” teriaknya, mengangkat golok besar.

Lelaki tua itu hanya menatapnya, lalu mengangkat suling dari punggungnya. “**Aku? Aku cuma orang yang kesal karena sarapan pagiku terganggu.**”

Dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, ia melompat maju. Sulingnya berputar seperti angin puyuh, menghantam siku, lutut, dan dada para perampok. Tulang-tulang patah. Jeritan bergema. Dalam hitungan detik, lebih dari setengah gerombolan terkapar, tak berdaya.

Rangga Kalajengking mengayunkan goloknya dengan kekuatan penuh, tapi lelaki tua itu menghindar dengan gerakan ringan, seperti menari. Sulingnya menyentuh dahi Rangga—dan dalam sekejap, saraf di wajah sang perampok lumpuh. Ia terjatuh, tubuhnya gemetar, tak bisa bergerak.

“**Kau… siapa…?**” desis Rangga, suaranya terputus-putus.

“**Aku Ki Martani,**” jawab lelaki tua itu, suaranya tiba-tiba berubah—lebih dalam, lebih tua, seolah membawa suara dari masa lalu. “**Dulu dikenal sebagai Si Suling Gila dari Gunung Ciremai. Tapi sekarang… aku hanya penjaga hutan. Dan kau, anak muda, telah melanggar aturan pertamaku: jangan ganggu ketenangan alam.**”

Tanpa menunggu jawaban, Ki Martani mengangkat sulingnya, meniup nada pendek—seperti suara burung hantu. Dari balik pepohonan, bayangan-bayangan hitam mulai muncul. Bukan manusia. **Serigala-serigala besar**, bulunya hitam pekat, mata menyala kuning. Mereka mengelilingi para perampok yang masih hidup, menggeram rendah.

“**Biarkan alam yang menghukum kalian,**” kata Ki Martani. “**Aku hanya membuka pintunya.**”

Lalu, dengan tenang, ia berbalik. Matanya mencari—dan menemukan Randu yang masih terdiam di bawah meja, tubuhnya basah oleh air mata dan keringat.

Ki Martani mendekat. Ia berlutut, menatap bocah itu dengan mata yang tajam, tapi justru penuh belas kasihan.

“**Ayahmu… berani,**” bisiknya. “**Ia mati sebagai pahlawan. Dan kau… harus hidup sebagai penerusnya.**”

Randu ingin bicara, tapi hanya isak yang keluar. Ki Martani mengangguk pelan, lalu meraih tubuh kecil itu dengan tangan yang hangat—meski kulitnya kasar dan penuh bekas luka.

“**Tenang, Nak. Aku akan bawa kau pergi. Kau takkan sendirian lagi.**”

Ia menggendong Randu, lalu melangkah pergi dari desa yang terbakar, menembus kabut hutan yang mulai turun di malam hari. Api di desa memudar di belakang mereka, tapi bayang-bayang kekejaman masih membekas di hati Randu.

Di punggung Ki Martani, suling hitam itu bergetar pelan, seolah bernyanyi lagu lama—lagu tentang dendam, kehilangan, dan janji yang belum terpenuhi.

Langit malam mulai penuh bintang. Angin berbisik di antara pepohonan. Dan dari kejauhan, suara serigala memanggil—bukan ancaman, tapi pengantar.

Randu menatap punggung Ki Martani, lalu memejamkan mata. Tubuhnya lelah, tapi untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa **aman**.

Ia tak tahu, bahwa malam itu bukan akhir dari penderitaannya—melainkan awal dari sebuah takdir yang jauh lebih besar.

Di balik kabut hutan, di sebuah gua tersembunyi di lereng Gunung Ciremai, ada sebuah pedang tua yang telah lama menunggu. Pedang yang dulunya milik Ki Surya—bukan hanya sebagai kepala desa, tapi sebagai mantan pendekar dari perguruan kuno yang telah lenyap.

Dan pedang itu… hanya akan berbunyi saat digenggam oleh tangan yang membawa darah dan dendam yang suci.

Ki Martani menatap langit, lalu berbisik pelan:

“**Gunung Ciremai, kau akan kembali mendengar nyanyian suling ini… dan kali ini, bukan untuk mengusir burung. Tapi untuk membangkitkan badai.**”

Malam semakin pekat. Hutan semakin sunyi.

Tapi di dalam hati seorang bocah yatim piatu, api mulai menyala.

Api yang tak akan padam sampai keadilan ditegakkan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca