

Api yang Tak Pernah Padam
Asap mengepul dari ban-ban terbakar. Jalanan depan gedung DPRD itu bagai medan perang—teriakan mahasiswa bercampur sirine polisi. Aru berlari menembus kerumunan, napasnya memburu, matanya pedih karena gas air mata.
“Ke sini, Ru!” Mira melambai dari balik barikade bambu yang roboh. Suaranya tenggelam di antara dentuman pentungan beradu perisai. Aru menyusul, tubuhnya nyaris terseret arus massa yang panik.
Seorang aparat merangsek mendekat. Helm hitam, tameng berlogo negara, tongkat kayu terangkat tinggi. Dalam sekejap, Aru sudah berdiri berhadapan. Dunia terasa lambat—detak jantungnya menggema di telinga.
“Balik! Atau kutebas kau!” suara aparat itu menggelegar.
Aru menggenggam bendera kecil yang basah oleh keringat. Bukannya mundur, ia mengangkatnya setinggi mungkin. “Negeri ini bukan milik kalian seorang!” teriaknya.
Pentungan itu hampir menghantam kepalanya—tapi tiba-tiba, sesuatu menghentikan tangan sang aparat. Bukan belas kasihan. Bukan juga karena Aru melawan. Melainkan satu suara keras dari pengeras suara di atas mobil komando:
“Tarik pasukan! Fokus ke barisan kiri!”
Aparat itu menatap Aru dengan dingin, lalu mundur. Aru terengah, bendera masih di tangannya. Mira menatapnya tak percaya. “Gila, Ru… tadi kau hampir—”
Tiba-tiba, suara letupan memecah langit. Orang-orang menjerit. Dari kejauhan, terdengar teriakan panik:
“ADA YANG TERTEMBAK!”
Aru menoleh. Di tengah kabut gas, ia melihat sosok tergeletak di aspal. Darah mengalir dari dada pemuda itu, membentuk jejak merah yang menjalar ke arah kakinya.
Aru melangkah maju, tubuh gemetar. Tapi sebelum ia sempat menyentuh korban, seseorang menarik bahunya dan berbisik cepat:
“Kalau kau mendekat, nama kau yang berikutnya akan ada di daftar tangkapan.”
Aru menoleh—dan melihat wajah asing, seorang pria tua berpeci, menatapnya dengan mata tajam penuh rahasia.
“Siapa kau?” Aru berbisik terengah.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk ke arah gedung DPRD yang dijaga ketat. “Mereka sudah tandai wajahmu. Pergi sekarang, atau habis riwayatmu.”
Mira menarik lengan Aru. “Dengar dia, Ru. Kita harus mundur!”
Tapi Aru mematung, matanya terpaku pada pemuda yang tergeletak. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena takut—tapi karena marah.
Ia mendengar sirene ambulans mendekat, teriakan mahasiswa lain yang mengutuk polisi, dan suara langkah-langkah sepatu lars yang merapat seperti genderang perang. Semua suara itu berputar di kepalanya, bercampur dengan bisikan samar dari masa kecilnya.
“Kakekmu dulu ikut bergerilya di hutan,” begitu suara ibunya dulu. “Melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Jangan kau ulang sejarah dengan tangan kosong, Aru…”
Tangannya yang masih menggenggam bendera berkeringat. Hatinya berteriak ingin maju, tapi logika berkata ia akan binasa.
“RU, CEPAT!” Mira mendorongnya.
Aru akhirnya bergerak, berlari menembus gang sempit di belakang pasar bersama Mira. Nafasnya tersengal, dada terbakar, seolah paru-parunya disiram api.
“Dia tadi siapa?” tanya Mira sambil menoleh ke belakang.
Aru menggeleng, masih terengah. “Entah. Tapi matanya… seakan sudah tahu semua yang bakal terjadi.”
Langkah mereka terhenti mendadak. Di ujung gang, tiga aparat sudah menunggu. Tameng dan tongkat siap terangkat.
“Lari lewat kanan!” Mira panik.
Tapi kanan buntu. Kiri pun buntu.
Aru menelan ludah. Dalam sekejap ia sadar: mereka sudah dijebak.
Salah satu aparat melangkah maju, wajahnya kaku di balik pelindung. “Kau Aru Pratama?” suaranya berat, seperti palu yang jatuh menghantam meja hakim.
Aru menatap Mira. Gadis itu pucat, matanya memohon.
Peluh bercucuran di pelipis Aru. Semua suara demonstrasi di luar terasa lenyap. Hanya ada jantungnya, berdetak semakin keras.
“Kalau ya, lalu kenapa?” Aru berusaha menegakkan tubuh.
Aparat itu mengangkat borgol berkilat di tangannya. “Kau ikut dengan kami.”
Mira spontan berteriak. “Jangan sentuh dia!”
Tiba-tiba, batu beterbangan dari arah belakang. Sekelompok mahasiswa lain muncul dari yang lain, wajah-wajah muda penuh amarah. Aparat tersibukkan oleh hujan batu yang mendadak, memberi celah kecil bagi Aru.
“RU, SEKARANG!” teriak Mira.
Aru menggenggam tangannya, lalu berlari menembus kerumunan. Suara aparat yang mengutuk dan teriakan mahasiswa bercampur jadi satu. Nafasnya hampir habis, tapi langkahnya tak berhenti.
Saat melewati tikungan, ia kembali melihat pria tua berpeci itu—berdiri tenang di ujung jalan, seakan sudah menunggunya.
“Kau tak bisa lari selamanya, Nak,” katanya lirih, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk. “Kalau kau mau selamat, datanglah ke mushola di ujung kota. Malam ini.”
Aru terhenti. Kata-kata itu menempel di kepalanya.
Namun sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, terdengar ledakan granat kejut di belakangnya. Cahaya putih menyilaukan, suara memekakkan telinga. Mira menjerit.
Saat menoleh, sahabatnya itu sudah lenyap—ditelan kerumunan yang kacau.
Lalu, di tengah kepanikan, suara asing berbisik di telinganya:
“Ikuti aku… kalau kau ingin tahu siapa musuh sebenarnya.”
Aru menoleh cepat, tapi yang dilihat hanya bayangan hitam di antara asap. Detik berikutnya, sesuatu yang dingin menempel di pinggangnya—moncong pistol.
“Pilih sekarang,” bisik suara itu lagi. “Sahabatmu… atau kebenaran yang bisa menyelamatkan semua orang.”
Sebelum sempat menjawab, pelatuk pistol itu terdengar klik di telinganya.