

Ruang pertemuan hotel bintang lima itu tampak gemerlap. Lampu kristal berkilauan, kamera para stasiun televisi telah siaga, dan para tamu berjas dan bergaun rapi duduk tegak dengan sorot mata penuh kagum.
Acara penganugerahan Sepuluh Wirausaha Terbaik tahun itu memang bukan sembarang seremoni. Ini adalah panggung di mana reputasi dibentuk, nama diabadikan, dan investor memburu sosok yang sedang naik daun. Semua orang berlomba-lomba untuk tampil sebaik mungkin, bahkan merelakan untuk menutup wajah asli mereka dengan topeng kemunafikan hanya untuk menarik perhatian dan pujian.
Di atas podium, seorang pria dengan jas rapi berwarna gelap tengah berdiri tegap. Dialah Peter Adison. Senyumnya melebar, tangannya mengepal, suaranya lantang menggema lewat mikrofon.
“Saudara-saudara!” katanya berapi-api, sorot matanya menyorot pada seluruh undangan yang sedang memerhatikannya. “Saya ini sudah bertahun-tahun berwirausaha tanpa pernah mengambil gaji sepeser pun. Demi Tuhan, uang itu tidak pernah jadi tujuan saya!”
Sorak sorai dan tepuk tangan pun terdengar, tapi banyak juga mata yang saling melirik, seolah berkata, ‘serius, nih orang?’
Satu hal yang sangat tidak mungkin bisa dilakukan oleh kebanyakan orang, kini diungkap oleh Peter.
Peter makin bersemangat. “Dan yang harus saya bagikan pada kesempatan saat ini,” lanjutnya, “masa paling bahagia dalam hidup saya bukan ketika berdiri di sini untuk menerima penghargaan ini, melainkan ketika menjadi guru.”
Riuh rendah menyambut ucapan Peter. Semua jelas tahu berapa besar gaji guru di negara ini. Dan seorang Peter Adison mengatakannya dengan bangga bahwa masa paling bahagianya justru ketika menjadi guru?
“Betul. Saya tahu tatapan bingung kalian. Namun itu adalah hal yang harus saya sampaikan, hal terjujur yang bisa saya katakan pada saat ini. Masa paling membahagiakan ketika hanya mendapat gaji dua ratus ribu! Itu momen paling tulus, paling jujur, paling…”
BRRRAKKKK!
Langit yang semula cerah tiba-tiba terbelah. Petir menyambar menembus atap gedung, menghantam podium. Tubuh Peter sontak terhuyung, seketika terbakar sinar putihnya. Jeritan panik menggema, kursi berhamburan. Para tamu berlari pontang-panting.
Sementara Peter telah terkapar. Napasnya tersengal, rasa panas dari sengatan yang mengakar membuatnya tak mampu lagi bergerak. Dalam hitungan detik, kesadarannya meredup.
Dan di ujung napas terakhirnya, barulah ia sadar, “Sial, harusnya aku tidak boleh terlalu banyak berbohong!”
Kemudian, semuanya menjadi gelap. Riuhnya para hadirin perlahan menjadi samar—mendengung lirih—dan perlahan hening.
Peter tahu ini adalah akhir hidupnya. Ia bahkan tak mampu merasakan tubuhnya lagi. Dan ketika pasrah telah menjadi pilihan akhirnya, tubuhnya tersentak.
Samar kembali terdengar suara. Peter membuka matanya cepat. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa berat. Ia tidak lagi merasakan sorot lampu kristal, melainkan sengatan matahari yang menembus jendela kaca kelas. Hawa sejuk kipas angin berputar pelan. Di sekelilingnya, papan tulis hijau penuh coretan kapur, meja-meja kayu berderet, dan suara riuh pelajar.
Peter tercekat. Ia mengenali tempat ini. Jelas ruangan ini adalah ruangannya dulu di kelas tiga SMA!
Belum sempat berpikir, suara dingin mekanis bergema di dalam kepalanya:
Ding!
[Sistem Pasar Arcadia diaktifkan.]
[Terhubung dengan Jagat Raya Arcana. Penjual terdaftar: Peter Adison.]
[Akses penjualan dan pengiriman Multiverse diizinkan. Bonus ulasan bintang lima tersedia.]
Peter membeku. Sistem? Arcadia? Multiverse? Bintang lima? Apa-apaan itu?
Dalam pikirannya terus berdengung suara mekanis yang membuatnya menatap nanar ke arah ujung meja, dan dalam sekejap, mata nanarnya seakan mampu menatap layar virtual yang menunjukkan beberapa bonus yang akan ia dapat saat mendapatkan ulasan bintang lima.
[Super Bonus. Dapatkan ketika mendapatkan ulasan bintang lima: Roh tempur, jurus kultivasi, senjata ilahi.]
Peter membelalak. Semua barang yang disebutkan jelas berharga. Namun mulutnya nyaris ternganga ketika ada keterangan tambahan di bawah urutan barang yang akan ia terima.
[Item Rare musiman: Naga Putri Pelayan. Dapatkan ulasan bintang lima sebanyak mungkin, dan dapatkan Item Rare-nya.]
Jantungnya berdegup kencang saat membacanya. Jelas itu adalah penawaran yang sangat menarik. Siapa yang tidak ingin mendapatkan Naga Putri Pelayan? Jelas Peter akan antre paling depan.
Namun lamunan itu segera buyar.
“Peter!”
Semua mata di kelas menoleh ke depan. Mariana Gibela—sang kembang sekolah, tiba-tiba berdiri di depan kelas dengan wajah merona kemerahan.
“Kenapa?” tanya Peter, dengan nada malas.
“Aku suka sama kamu!” seru Mariana lantang, tangannya telah menyodorkan sepucuk surat cinta.
Kelas seketika heboh. Sorakan, siulan, teriakan bercampur jadi satu. Para siswa laki-laki mendidih, wajah mereka memerah antara heran dan iri. Bagaimana mungkin Mariana, gadis yang dipuja satu sekolah, menyukai Peter yang terkenal dengan julukan “Si miskin dan Si bodoh”?
Namun Peter tidak tersenyum—tidak untuk masa ini. Ia justru menggenggam meja dengan keras. Ingatan pahit dari kehidupan sebelumnya muncul jelas. Mariana tidak pernah benar-benar menyukainya. Semua hanya taruhan keji dengan temannya. Ia tahu betul, surat cinta itu hanya awal permainan. Baru jam pelajaran kedua, Mariana akan mencampakkannya di depan semua orang.
Amarahnya meledak. Peter merebut surat itu, merobeknya kasar, lalu melemparkannya tepat ke wajah Mariana.
“Perempuan jalang!” hardiknya lantang.
Kelas terdiam. Mariana membeku, tindakan Peter tidak pernah ada di skenarionya. Ia menatap tak percaya, berusaha mencerna situasi yang tiba-tiba. Seumur hidupnya, ia tak pernah dipermalukan seperti ini.
Belum sempat Mariana bereaksi, Hugo Cabero—ketua kelas tiga, anak orang kaya yang selama ini selalu menindas Peter bergegas maju. Tangannya menjambak kerah baju Peter.
“Berani-beraninya kau—”
Cuih!
Peter meludah tepat ke mulut Hugo.
Semua mata terperanjat. Hugo berteriak jijik, menyeka ludah dengan tangannya yang gemetar. “Kurang Ajar—”
Peter menatapnya penuh dendam, segera memotong ucapan Hugo. “Kalian semua harus tahu!” pekiknya ke arah teman-teman sekelas. “Mariana hanya mempermainkanku! Dia hanya menggunakanku sebagai bahan taruhan bersama temannya. Perempuan seperti dia tidak lebih dari seekor anjing yang mencari hiburan!”
Semua tercengang. Mariana pucat. Hugo mengetatkan rahangnya, meludah dengan wajah murka, lalu mengayunkan tinju.
BRAK!
Pintu terbuka. Tinju itu terpaksa terhenti.
“Jangan pernah ada yang berkelahi di kelas saya! Cepat duduk di bangku masing-masing!” Wali kelas menatap Hugo dan Peter bergantian, langkahnya tegap memasuki kelas.
Hugo menggeram pelan. Jika saja wali kelas tidak melerai, sudah tinjunya mendarat tepat di wajah Peter. “Pulang sekolah, awas kau!” ancamnya, lalu mundur.
Peter menahan napas. Siapa sangka ia mampu melawan Hugo di kehidupan keduanya ini. Namun belum sempat suasana menjadi tenang, notifikasi sistem kembali terdengar.
[Pesanan masuk!]
[Pelanggan: Wira Dewa, Perjuangan Tanah Terlarang.
Situasi: Terjebak zona racun, diserang pemain cheat.
Permintaan: Kotak P3K, minuman energi.]
Peter panik. Ia tak punya barang itu. Kehidupannya baru saja dimulai kembali. Di mana ia bisa mendapatkan barang-barang itu dalam sekejap?
Sistem membaca pikirannya. Notifikasi terdengar sekali lagi.
[Saran: Penjual dapat menyeberang langsung ke dunia pelanggan untuk pencarian barang.]
“Oh, mudah kalau begitu,” gumam Peter.
Ting!
[Setiap Penyeberangan tidak gratis.
Biaya: 20% stamina.
Hitungan mundur dimulai: 10… 9… 8…]
“APA?!” Peter meloncat dari kursi, berlari keluar kelas. Tepat ketika ia berdiri di lorong, cahaya putih menyelimuti tubuhnya.
[3… 2… 1…]
Dalam sekejap, dunia berubah.
“Woah! Gila!” serunya panik.
Peter berdiri di atap gedung. Dari tempatnya berdiri, ia mampu membaca papan petunjuk. Tempat yang ia pijak saat ini adalah atap gedung C bandara yang terletak di Dunia Bertahan.
Sistem kembali memperingatkan.
[Peringatan: Dunia ini nyata. Jika terbunuh, kematian permanen. Sistem akan mencari pewaris baru.]
Peter tercekat. Ini bukan game. Ini neraka nyata.
“Sial! Aku harus segera kembali!”
Ia mulai mundur, mencari jalan kembali. Namun sebelum langkah keduanya mengayun, satu ingatan menghentikannya.
“Oh, benar. Paket Pemula!”
Peter ingat jika dirinya memiliki Paket Pemuka. Dengan tangan gemetar, cepat-cepat ia membukanya.
Sistem kembali menggema. Kali ini Peter semakin melebarkan matanya.
[Selamat! Anda memperoleh 9 Cheat Klasik Battle Royale. Durasi: 15 menit.
Wallhack; Auto-aim; God Mode; Anti-bullet; Speed Boost; Radar Musuh; No Recoil; Unlimited Ammo; Instant Heal]
Peter melongo. Dadanya bergemuruh hebat, adrenalinnya meluap.
“Gila…” bisiknya. “Aku bakal jadi monster sekarang!”