

Angin malam membawa aroma garam laut ke geladak kapal pesiar Aurora's Dream. Lampu-lampu kristal berkilauan, para tamu berdandan mewah dengan gelas champagne di tangan.
Mawar Darah bersandar di pagar pembatas, rambutnya pirang sepanjang bahu tertiup angin. Gaun hitamnya sempurna, penampilannya elegan, tapi mata hijaunya tajam memantau kerumunan.
Philo Kazandros. Target malam ini. Dalam tiga menit lagi, pria itu akan mati.
"Permisi, Nona."
Seorang pelayan muda berdiri di sampingnya, membawa kotak kayu berukuran sedang.
"Ada apa?" Mawar tidak mengalihkan pandangan dari kerumunan.
"Ada seorang tuan yang menitipkan ini untuk Anda."
Mawar memutar bola mata. Pasti lelaki hidung belang lagi yang berusaha menggoda. "Buang saja ke laut. Aku tidak tertarik."
Tapi pelayan itu membuka kotak kayunya. Bunyi klik kecil terdengar.
Mawar hendak membuangnya ke laut, namun tangannya terhenti di udara.
Di dalam kotak berlapisan beludru hitam itu, sebuah berlian biru sebesar telur burung puyuh berkilauan sempurna. Bahkan di bawah cahaya redup, kilaunya hampir hipnotis.
"Hati Laut," bisiknya tak percaya.
Itulah berlian yang seharusnya dia curi malam ini. Berlian legendaris senilai 50 juta dollar milik Philo Kazandros. Tapi bagaimana mungkin ada di tangan pelayan biasa?
Mawar menatap tajam wajah pemuda di hadapannya, mata cokelat yang tenang, postur rileks namun waspada, senyuman kecil di sudut bibir.
"Kau bukan pelayan biasa."
Pemuda itu tersenyum lebih lebar. "Perkenalan yang bagus, tapi sayangnya sudah terlambat."
Dalam sekejap, Mawar melompat sambil menarik belati dari balik gaunnya. Gerakan cepat dan mulus, hasil latihan bertahun-tahun.
Tapi pemuda itu hanya berdiri santai.
"Philo sudah mati," katanya seolah membicarakan cuaca. "Sepertinya aku sudah merusak rencanamu."
"Apa?"
Sebelum Mawar menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu bergerak. Satu langkah cepat, satu gerakan tangan hampir tak terlihat, dan dunia Mawar berputar. Tubuhnya terhempas ke lantai geladak.
Kepala Mawar berdenyut hebat. Pandangannya kabur, telinga berdengung. Dia berusaha bangkit tapi tubuhnya tidak merespons.
"Hanya teknik pijat pada titik saraf," jelas pemuda itu. "Kau akan pingsan dalam beberapa detik."
"Kau... siapa?"
Pemuda itu berjongkok di sampingnya. "Anggap ini kompensasi karena aku merusak pekerjaanmu. Berlian ini untukmu."
"Tidak... mungkin..."
"Oh, satu lagi. Namaku Keenan Tanoro. Ingat itu baik-baik."
Kegelapan menyergap Mawar.
**
Keesokan harinya, Mawar terbangun dengan kepala pusing. Matanya tertuju pada kotak kayu di meja rias, Hati Laut masih berkilau di dalamnya.
Jadi bukan mimpi.
"Keenan Tanoro," gumamnya dengan gigi terkatup. Nama itu kini terukir seperti api yang membakar.
Dalam karirnya, tidak pernah sekalipun dia gagal.
Tidak pernah ada yang membuatnya pingsan tanpa perlawanan. Dan tidak pernah ada yang berani mengejeknya seperti itu.
Kapal pesiar sudah berlabuh di Monte Carlo. Misi gagal. Tapi dia tidak peduli konsekuensinya. Yang penting sekarang adalah membalaskan dendam.
Mawar mengambil telepon satellite dan menekan nomor yang sudah dihafalnya.
"Marcus? Ini aku. Aku butuh informasi tentang seseorang. Namanya Keenan Tanoro."
"Yang biasa?"
"Semua yang kau bisa temukan. Latar belakang, keluarga, tempat tinggal, kebiasaan. Prioritas utama. Aku bayar double."
Setelah menutup telepon, Mawar menatap Hati Laut. Berlian itu indah, tapi baginya hanya pengingat kekalahan yang membakar harga diri.
Tidak peduli siapa Keenan Tanoro. Tidak peduli seberapa kuat atau pintar dia. Mawar Darah akan menemukannya, dan dia akan membayar untuk apa yang sudah dilakukannya.
**
Di perkampungan terpencil di lereng bukit yang diselimuti kabut, Keenan Tanoro berjalan menuju gubuk sederhana. Seragam pelayan kapal pesiar sudah diganti kaos putih dan celana jin lusuh.
Gubuk itu hampir roboh, dinding kayu menghitam, atap genteng bocor. Tapi bagi Keenan, itu rumah yang sudah dia tinggali sepuluh tahun terakhir.
Dia mendorong pintu tanpa mengetuk. Di dalam gubuk redup, seorang pria tua duduk bersila sambil meminum teh. Rambut putih memanjang, jenggot terawat rapi, mata masih tajam seperti elang.
"Kakek," sapa Keenan sambil melempar kantong kain ke lantai. Bunyi gedebuk keras terdengar.
Eyang Wiranto membuka kantong tanpa ekspresi. Kepala Philo Kazandros menatap kosong dari dalamnya.
"Bagus. Tapi di mana Hati Laut?"
Keenan duduk bersila. "Aku berikan pada wanita pembunuh yang juga menargetkan Philo."
"APA?!" Eyang Wiranto melompat berdiri, teh tumpah ke lantai. "Kau tahu berapa harga berlian itu?! Dengan uang segitu kita bisa beli roti untuk satu tahun penuh!"
"Kenapa Kakek tidak bilang dari awal kalau berliannya penting?" balas Keenan tenang. "Kakek hanya menyuruhku membunuh Philo dan mengambil berliannya."
Eyang Wiranto menggeleng berkali-kali sambil memijat pelipis. "Bodoh... bodoh sekali..."
Dia mengambil setumpuk kertas dari peti kayu tua dan melemparnya ke pangkuan Keenan.
"Karena Hati Laut sudah hilang, kau harus turun ke kota besok pagi. Tidak ada tawar-menawar."
Keenan membaca kertas-kertas itu. Matanya melebar. "Kakek... ini..."
"Surat lamaran pernikahan. Tiga buah."
"Tapi Kakek sudah berjanji, kalau misi selesai, aku tidak perlu bekerja lagi dan bisa makan gratis selamanya!"
Eyang Wiranto menyesap tehnya tenang. "Itu benar. Tapi kau satu-satunya pria cukup umur di keluarga kita. Bagaimana keturunan keluarga Wiranto berlanjut kalau kau tidak menikah dan punya anak?"
"Aku tidak kenal wanita-wanita ini!"
"Tentu tidak kenal. Mereka wanita yang pernah kuselamatkan di Kota Tivana bertahun lalu. Sebagai balas budi, keluarga mereka menawarkan putri-putri mereka untukmu. Kau bisa pilih sesukamu."
"Aku menolak!"
"Mereka semua cantik."
"Tetap tidak!"
"Dan kaya raya."
"Masih tidak!"
"Keluarga mereka punya toko roti terbesar di seluruh Kota Tivana."
Keenan terdiam. Matanya menatap kosong ke depan.
Eyang Wiranto tersenyum tipis. Dia sudah mengenal Keenan cukup lama untuk tahu kelemahan terbesarnya.
Memori hari-hari kelaparan di jalanan masih membekas kuat. Saat itu Keenan hampir mati kelaparan, tubuh kurus kering, tidak punya siapa-siapa. Hingga seseorang, yang kemudian dia ketahui adalah Eyang Wiranto, memberikan sepotong roti kepadanya.
Roti putih hangat dan lembut itu adalah makanan terenak yang pernah dia cicipi. Sejak itu, roti menjadi obsesinya, sesuatu yang dia anggap paling berharga di dunia.
"Baiklah," kata Keenan dengan suara lemas. "Aku akan ke kota besok."
Eyang Wiranto mengangguk puas. "Bagus. Jangan lupa berpakaian rapi dan bersikap sopan. Wanita-wanita itu dari keluarga terhormat."
Keenan menatap surat-surat di tangannya. Tiga nama: Eluna Akava, Alicia Medira, dan Yevina Civro. Entah seperti apa wajah mereka, entah seperti apa kepribadian mereka. Yang pasti, mereka semua punya akses pada roti terbaik di Kota Tivana.
Mungkin pergi ke kota tidak akan seburuk yang dia bayangkan.
**
Keesokan harinya, saat matahari mulai mengintip dari balik awan, Keenan sudah berjalan menuruni jalan setapak berkelok-kelok. Tas kain lusuh tergantung di bahu, berisi pakaian seadanya dan surat-surat lamaran.
Jalanan menuju kota memang sempit, hanya cukup untuk satu kendaraan. Keenan berjalan santai menikmati udara pagi yang segar, tidak terburu-buru.
Tiba-tiba, suara klakson keras dan panjang memecah keheningan.
HOOOOOONK!
Keenan menoleh. Sebuah Bentley hitam mengkilap melaju cepat di jalan sempit itu. Dia menggeser tubuh ke pinggir jalan, tapi masih menghalangi sebagian jalur.
Mobil berhenti dengan suara rem mendecing. Jendela turun, memperlihatkan pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi dan kemeja mahal. Wajahnya memerah kesal.
"Hei, kau!" bentak pria itu. "Jalan ini bukan untuk pejalan kaki! Kau menghalangi jalan!"
Keenan menatapnya tenang, tidak tersinggung. "Maaf, tapi ini jalan umum. Lagipula, saya sudah minggir."
"Minggir? Kau masih menghalangi! Dasar kampungan tidak tahu aturan!"
Alih-alih marah, Keenan malah tersenyum ramah. "Kalau begitu, bagaimana kalau saya nebeng? Kebetulan saya juga mau ke Kota Tivana."
Pria itu, Steven, menatap Keenan dari ujung kepala hingga kaki dengan jijik. Pakaian lusuh, sepatu compang-camping, tas kain pudar. Jelas-jelas orang miskin.
"Nebeng?" Steven terkekeh sinis. "Lihat dirimu dulu! Mobil ini Bentley miliaran. Kau pikir aku mau interior mobilku kotor karena orang kampungan sepertimu?"
Keenan menggaruk kepala, masih polos. "Tapi kan bisa menghemat waktu. Daripada kita saling menghalangi..."
"Menyingkir sana! Jalan kaki saja sampai kaki bengkak!"