Bab 1 – Menantu Tak Berguna
Suasana ruang makan keluarga Hardiman malam itu tampak megah. Meja panjang dengan taplak putih bersih, piring porselen dari Italia, gelas kristal berkilauan, serta hidangan mahal yang memenuhi permukaan. Lampu gantung kristal memancarkan cahaya hangat, namun kehangatan itu sama sekali tidak dirasakan oleh seorang pria muda yang duduk di ujung meja.
Arka.
Pria itu menunduk, menatap piringnya yang masih setengah kosong. Jas lusuh yang ia kenakan tampak kontras dengan pakaian para tamu lain yang mahal dan berkelas. Ia duduk kaku, nyaris tidak bersuara, seolah keberadaannya hanyalah bayangan yang tidak diinginkan di tengah pesta mewah itu.
Tiba-tiba—
CRASH!
Sebuah gelas jatuh dari tangannya dan pecah berantakan di lantai marmer. Suara nyaring itu membuat seluruh ruangan seketika hening. Semua mata menoleh ke arah Arka, yang berdiri panik sambil memungut pecahan dengan tangan kosong.
“Arka!” suara berat Hardiman, mertuanya, menggema memenuhi ruangan. Wajahnya memerah, nadanya penuh amarah. “Kau bahkan tak becus menuangkan anggur untuk tamu kehormatan! Dasar menantu tak berguna!”
Gelak tawa kecil langsung terdengar dari beberapa kerabat yang duduk di sisi lain meja. Sepupu-sepupu Alana, istrinya, menutup mulut dengan serbet seolah sopan, tapi tatapan mereka penuh ejekan.
“Benar-benar memalukan,” bisik salah satu iparnya dengan nada yang cukup keras untuk didengar semua orang. “Kau lihat? Bahkan jadi pelayan pun dia gagal. Bagaimana mungkin Kak Alana bisa bertahan dengan pria seperti itu?”
Arka menunduk, tangannya berdarah saat mengumpulkan pecahan kaca. Titik-titik merah menodai lantai marmer yang mengilap. Namun ia sama sekali tidak mengeluh, tidak juga membela diri. Hanya diam, seperti biasa.
Di sampingnya, Alana duduk dengan wajah tegang. Jemari wanita itu menggenggam sendok begitu kuat hingga buku-bukunya memutih. Ia menunduk, tidak berani menatap suaminya. Malu. Itu yang ia rasakan. Malu menjadi istri dari seorang pria yang dianggap sampah.
Seorang tamu penting, pria berperut buncit dengan jas hitam mengilap, tertawa pelan sambil berdeham. “Pak Hardiman, kalau boleh jujur… menantu seperti ini memang memalukan. Bagaimana mungkin keluarga besar seterkenal Anda memiliki menantu serendah ini? Bahkan sopir saya jauh lebih terhormat darinya.”
Tawa kembali pecah di ruangan itu.
Hardiman mengetuk meja dengan telapak tangan, membuat gelas-gelas bergetar. “Arka! Mulai besok kau tak perlu ikut campur urusan keluarga. Kau hanya akan jadi bahan tertawaan. Kalau bukan karena perjanjian pernikahan itu, sudah dari dulu kuusir kau dari rumahku!”
Arka mendongak, menatap mertuanya sebentar, lalu kembali menunduk. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat. Ia sudah terbiasa dengan penghinaan semacam ini.
Namun kali ini, kata-kata Alana jauh lebih menyakitkan daripada semua hinaan itu.
“Ayah benar,” suara istrinya terdengar lirih, hampir bergetar. “Arka… mungkin sebaiknya kau pikirkan soal perceraian. Aku tidak bisa terus hidup dengan rasa malu seperti ini. Setiap kali aku berjalan denganmu, semua orang memandang rendah. Aku… aku lelah.”
Arka terdiam. Hatinya bergetar, seolah ada belati menancap dalam-dalam.
Wanita yang selama ini ia lindungi dalam diam, wanita yang membuatnya rela menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya… kini secara terang-terangan ingin melepaskannya.
Keluarga yang duduk di sekeliling meja bersorak senang mendengarnya.
“Bagus, Alana!” teriak salah satu bibi. “Akhirnya kau sadar juga. Perceraian adalah jalan terbaik. Lelaki macam dia hanya akan menyeretmu ke bawah.”
“Perceraian?” tanya salah satu sepupu Alana dengan nada mengejek. “Hahaha! Kupikir dia tidak akan berani. Bagaimana bisa? Pria tak berguna mana mungkin punya keberanian menceraikan anak keluarga Hardiman?”
Arka menarik napas panjang, menatap istrinya dengan mata teduh. Ia tidak marah, tidak juga memohon. Hanya ada ketenangan dingin dalam dirinya. “Kalau itu yang kau mau…” ucapnya lirih, hampir berbisik.
Seketika suasana hening. Semua menunggu kata-kata berikutnya.
Apakah Arka akan menangis? Apakah ia akan memohon-mohon?
Namun sebelum ia melanjutkan, ponselnya yang sederhana berdering keras di tengah ruangan. Nada dering itu terdengar asing di tengah keheningan. Semua orang melirik dengan wajah kesal.
“Bahkan ponselnya pun ponsel murahan,” gumam salah satu sepupu dengan tawa teredam.
Arka dengan tenang mengangkat telepon itu. Suara berat dari seberang terdengar jelas, cukup keras hingga beberapa orang di meja ikut mendengarnya.
“Tuan Besar, semua sudah siap. Kapan kami bergerak?”
Ruangan yang tadi dipenuhi tawa mendadak sunyi. Semua mata membelalak, menatap Arka dengan bingung. Suara itu jelas terdengar—penuh hormat, penuh wibawa, memanggilnya Tuan Besar.
Arka menoleh perlahan, menatap satu per satu wajah yang tadi menghina dirinya. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang dingin, senyum yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
“Baiklah,” jawab Arka singkat, lalu menutup telepon tanpa menjelaskan apa pun.
Keheningan begitu pekat, seolah udara di ruangan itu membeku.
Dan di detik itu, untuk pertama kalinya, keluarga besar Hardiman menyadari—
Pria yang selama ini mereka hina sebagai sampah mungkin bukanlah pria biasa.
***