Lorong hotel terasa lebih panjang dari biasanya. Cahaya lampu dinding berpendar buram, menyayat mata Noah Ethan Hill yang setengah terpejam. Tubuhnya oleng, seperti sedang terhantam ombak kapal yang tak pernah berhenti bergoyang.
Satu tangannya menahan dinding dingin marmer, satu lagi meremas kerah kemeja yang basah oleh keringat. Napasnya berat. Tenggorokan kering. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah.
“Sial…” gumamnya lirih, suara serak nyaris tak terdengar.
“Apa yang mereka taruh di minumanku…”
Langkahnya tertatih hingga akhirnya berhenti di depan kamar bernomor 1106. Butuh tiga kali percobaan sampai kartu akses berhasil menyalakan lampu hijau. Noah hampir jatuh saat mendorong pintu.
Tubuh tingginya terhempas ke ranjang, masih bersepatu, masih dengan napas tersengal. Dadanya naik turun, otot-ototnya bergetar, suhu tubuhnya melonjak tak wajar. Pandangan semakin kabur. Ia tahu ada sesuatu meracuni darahnya, mendorong tubuhnya kehilangan kendali.
Ketika pintu kamar kembali terbuka, Noah sempat mengira halusinasi. Tapi suara klik itu nyata.
Seorang perempuan melangkah masuk, sama limbungnya, sama terhuyungnya. Gaun malamnya kusut, wajahnya memerah, rambutnya lengket di pelipis basah.
Dia nyaris jatuh saat menutup pintu, tangan meraba dinding seperti mencari pegangan. Nafasnya pendek-pendek, tubuhnya bergetar hebat, keringat menetes di lehernya.
“Apa… apa yang mereka masukin di minumanku…” bisiknya parau, mata setengah terpejam. “Kepalaku… panas banget…”
Ia tersungkur di sisi ranjang, nyaris menabrak tubuh Noah. Kedua tangannya memegangi perut, wajahnya pucat pasi.
“Tolong…” suaranya begitu kecil, hampir seperti isak anak kecil. “Rasanya… nggak tahan…”
Noah berusaha membuka mata yang berat. Siluet gadis itu kabur, tapi aroma tubuhnya menusuk indra, manis sekaligus asing. Bukan parfum. Lebih seperti hawa panas yang terbakar dari dalam.
“Hei…” suara Noah lemah. “Kamu…”
Mata perempuan itu basah. Ia menggigil, namun bukan karena takut. Jemarinya terulur, meremas kerah Noah.
“Jangan tinggalin aku…” suaranya pecah, memohon. “Aku… nggak kuat lagi.”
Noah mengencangkan rahang. Ada bara api menjalar deras ke setiap inci kulitnya hanya karena sentuhan itu. Tubuhnya menolak berpikir jernih. Kepalanya berteriak untuk berhenti, tapi tubuhnya—diracun entah apa—berontak liar.
“Aku…” bisik Noah, wajahnya menunduk mendekati wajah perempuan itu.
Seketika, dunia gelap.
---
Pagi datang dengan cahaya tipis yang menyelinap dari sela tirai. Burung berkicau di luar jendela, tapi kamar hotel beraroma kusut: alkohol, keringat, dan sesuatu yang asing.
Nami Arcellia membuka mata dengan kelopak berat. Kepala berdenyut. Tubuhnya pegal tak karuan. Rasa sakit samar di tubuh bagian dalam membuatnya tercekat.
Ingatan semalam menghantam seperti ombak dingin. Potongan suara, desahan, tangis lirih yang bahkan ia tahu berasal dari dirinya sendiri.
Napasnya memburu. Tangannya menekan leher, seolah ingin memastikan dirinya masih utuh. Panik, ia bangkit tergesa, menunduk mencari gaunnya yang tergeletak di lantai. Jemarinya gemetar ketika mengenakan pakaian tanpa berani menoleh ke arah cermin.
Saat hampir mencapai pintu, matanya menangkap selembar kartu di meja. Kartu kamar.
Noah Ethan Hill.
Napas Nami tercekat. Matanya membelalak. Nama itu, Hill, berat seperti palu godam. Pewaris keluarga paling berkuasa di kota.
Pandangannya beralih ke ranjang. Noah masih tertidur, wajahnya disinari cahaya pagi. Garis rahangnya tajam, dadanya naik turun dengan tenang.
Dan di bawah tengkuknya, tampak jelas tanda lahir berbentuk mahkota kecil. Ciri khas keluarga Hill. Tidak mungkin salah.
“Mahkota…” bisik Nami, jantungnya berdegup kencang. “Hill… aku nggak akan lupa.”
Dengan tangan gemetar, ia meraih kenop pintu. Detik berikutnya, ia pergi. Meninggalkan Noah. Meninggalkan malam yang baru saja merobek masa depannya.
---
Noah terbangun dengan kepala seolah dihantam palu baja. Cahaya matahari menembus tirai, menyilaukan matanya yang setengah terbuka.
Ia mengerang, tangan menekan pelipis. Tubuhnya berat, keringat dingin menempel di tengkuk. Tenggorokan kering. Ada rasa pahit di lidah.
Perlahan ia duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Pandangan menyapu kamar: seprei kusut, kursi terbalik, gaun wanita di lantai.
Darahnya seketika membeku. Di atas seprei putih, ada noda merah samar.
Jantung Noah berdegup keras.
“Darah?” suaranya tercekat.
Bayangan semalam menyeruak. Aroma tubuh perempuan, suara lirihnya, tubuh yang menggigil minta pertolongan.
Jangan tinggalin aku…
Rahanya mengeras. Tangannya mengepal. Ada rasa asing menusuk ke dadanya—rasa bersalah yang tak mampu ia redam.
“Dia… dia nggak sepenuhnya sadar,” gumamnya parau. “Apa aku… memaksanya?”
Kepalanya tertunduk. Tangan menutupi wajah.
“Bodoh… sialan…”
Ia hampir tak berani melihat sekeliling lagi. Tapi di meja, ada sebuah kartu kamar lain. Noah meraihnya dengan jemari bergetar.
Nami Arcellia.
Di bawah nama itu, tulisan tangan dengan tinta emas:
“Aku pergi. Jangan cari aku. Kita sama-sama korban, kan?”
Noah membeku. Kata-kata itu menusuk dalam, lebih dari racun apa pun yang mungkin pernah ia minum.
“Korban…” gumamnya. “Tapi… dia berdarah… dia masih...”
Kalimat itu terputus di tenggorokan. Napasnya memburu, wajahnya menegang.
Tangannya menutupi mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, pewaris keluarga Hill itu merasa hancur.
“Aku harus nemuin dia… harus pastikan dia baik-baik saja.”
Namun jauh di dalam hati, ia tahu: gadis itu tidak ingin ditemukan. Ia pergi dengan sadar, meninggalkan jejak sekecil mungkin.
Dan yang tersisa hanyalah noda samar di sprei. Noda yang sebentar lagi hilang, tapi di hati Noah Ethan Hill, akan membekas selamanya.
---
Nami turun dari taksi tua yang bau solar. Langkahnya goyah, dunia masih berputar. Rasa mual naik ke tenggorokan, bercampur trauma yang segar.
Ia berjalan menuju rumah petak sempit. Lampu ruang tengah menyala, televisi menjerit dengan volume tinggi. Tapi yang membuatnya tercekat adalah suara itu.
“NAMIIIII!”
Tante Diana muncul dengan wajah merah padam. “Dari mana aja lo, ha?! Ngilang kayak maling ayam!”
Nami menunduk, tubuhnya lemah. “Aku… pulang, Tante. Aku pusing…”
“Pusing?!” Diana mendekat, mencium aroma tubuh Nami. Matanya menyipit tajam.
“Kamu gagal, ya? KAMU GAGAL KETEMU PAK BROTHO?!”
Nami terhuyung, keningnya berkerut. “Pak Broto siapa, Tante?”
“YANG MAU BAYAR LO MAHAL, BANGS*T!” teriaknya, membuat tikus-tikus di plafon berlari ketakutan. “Gara-gara lo salah kamar, gue dimaki-maki! Uang itu buat bayar utang gue ke Bos Tohir! Lo tau nggak, gue bisa MATI kalo telat bayar!”
Nami menatapnya dengan mata terbelalak. “Jadi… Tante sengaja… minuman itu—”
“Minuman?” Diana mendesis. “Lo kira itu Starbucks? Itu obat biar lo bisa laku, goblok! Tapi lo malah SALAH KAMAR!”
Nami jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. “Tante jahat… aku bukan barang… aku bukan boneka buat dijual…”
“TELAT! TELAT BUAT NANGIS!” bentaknya. “Gue nafkahin lo dari kecil, pikir itu gratis? Lo utang sama gue, Nam! Utang sampai mati!”
“Karena aku yatim piatu… jadi aku pantas dijual gitu, Tante?!” suaranya pecah.
Namun tak ada jawaban selain tawa getir penuh amarah.
Dan malam itu, rumah petak tua itu dipenuhi bara amarah yang tak kasat mata.
Air mata Nami jatuh ke lantai berdebu. Bukan hanya karena hinaan, tapi juga karena jijik—bukan hanya pada tantenya, tapi juga pada dirinya sendiri.
Di dalam tubuhnya, masih ada jejak pria asing itu. Di matanya, masih ada bayangan samar wajah Noah Ethan Hill. Dan di hatinya, sudah ada retakan yang tak mungkin lagi utuh.
---