Hujan gerimis membasahi halaman belakang gudang PT Sinar Niaga Express.
Arga Pratama berdiri kaku di bawah atap seng yang bocor, menatap amplop putih lusuh di tangannya. Tinta di bagian atasnya jelas terbaca “Surat Pemutusan Hubungan Kerja.”
Tangannya meremas kertas itu, tapi perutnya yang kosong lebih terasa menyakitkan. Dia sudah tiga hari menunggak makan layak, hanya mengandalkan mi instan yang tersisa di kontrakan. Hari ini bahkan itu pun tak ada.
"Maaf, Arga ini perintah dari atasan," ucap supervisor yang memberinya amplop tadi.
Arga hanya mengangguk. Tak ada gunanya marah pada orang yang sama-sama buruh.
Ia melangkah keluar gerbang perusahaan, hujan makin deras. Di saku celananya, ponsel retak menampilkan saldo rekening Rp27.000. Pas untuk sekali makan murah, tapi itu berarti besok benar-benar nol.
Di persimpangan jalan, matanya menangkap selembar kertas basah yang menempel di tiang listrik. Tulisannya mencolok dengan cat merah:
"DIBUTUHKAN RELAWAN EKSPERIMEN — BAYARAN LANGSUNG!"
"Proyek Gerbang Pikiran — Laboratorium Nusa Cendekia, Lantai 27, Gedung Nusa Indah."
Ia menatap alamat itu lama.
"Eksperimen? Kedengeran gila … tapi duitnya bisa buat makan."
Dengan napas berat, ia merogoh dompet, hanya ada uang pas untuk ongkos bus ke pusat kota. Pilihan lain? Tidak ada.
Dinding kaca Gedung Nusa Indah menjulang angkuh, memantulkan kilatan petir yang sesekali menyambar di kejauhan. Arga menelan ludah, menatap angka "27" yang berpendar di panel lift.
Pintu laboratorium Nusa Cendekia terbuka otomatis saat ia mendekat. Ruangan putih steril dengan peralatan canggih menyambutnya. Seorang wanita dengan jas lab menghampiri, clipboard di tangan.
"Anda datang untuk eksperimen Project Gerbang Pikiran?" tanyanya datar.
Arga mengangguk ragu. "Ya ... saya lihat pengumumannya di jalan."
"Silakan isi formulir ini dan tunggu di ruang persiapan."
Sepuluh menit kemudian, Arga duduk gelisah di hadapan seorang teknisi berkacamata tebal. Pria itu sibuk menyiapkan peralatan yang terlihat seperti dari film fiksi ilmiah.
"Jadi ..." Arga berdeham, mencoba menyembunyikan kecemasannya. "Eksperimen apa sebenarnya yang akan dilakukan pada saya?"
Teknisi itu mengangkat wajahnya, tersenyum tipis. "Hanya stimulasi saraf sederhana. Kami sedang mengembangkan teknologi antarmuka otak-komputer."
"Apa ... itu berbahaya?" Arga menelan ludah, matanya mengikuti gerakan teknisi yang kini memasang elektroda ke mesin silinder besar.
Teknisi itu tertawa kecil. "Tidak sama sekali. Ini hanya membaca aktivitas otak, bukan mengubahnya. Seperti EEG di rumah sakit, tapi lebih canggih."
"Tapi kenapa bayarannya cukup besar untuk eksperimen sederhana?" Arga mengerutkan dahi, instingnya memperingatkan sesuatu.
Teknisi itu berhenti sejenak, menatap Arga lekat-lekat. "Karena data yang kami kumpulkan sangat berharga, Pak Arga. Dan karena kami menghargai waktu relawan." Ia menyodorkan gelang sensor keperakan. "Ini tidak akan menyakiti Anda, saya jamin. Saya sendiri sudah mencobanya puluhan kali."
"Apa efek sampingnya?" tanya Arga, masih ragu.
"Paling-paling sedikit pusing setelahnya, seperti minum kopi terlalu banyak." Teknisi itu menjawab dengan percaya diri. "Kami sudah melakukan uji klinis selama dua tahun. Tidak ada efek jangka panjang yang terdeteksi." Ia menepuk mesin di sampingnya dengan bangga. "Teknologi ini akan merevolusi cara manusia berinteraksi dengan komputer. Anda beruntung menjadi bagian dari sejarah."
Arga menatap gelang sensor itu, lalu ke jendela di mana petir sesekali menyambar di kejauhan. Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya akan kebutuhan yang tak bisa ditunda-tunda.
"Baiklah," ujarnya akhirnya. "Apa yang harus saya lakukan?"
Teknisi itu tersenyum puas. "Cukup duduk di kursi ini, pasang gelang sensornya, dan biarkan mesin bekerja. Lima menit, dan Anda bisa pulang dengan bayaran penuh."
Gelang sensor keperakan mencengkeram pergelangan tangan Arga terhubung dengan kabel tipis ke mesin silinder raksasa di tengah ruangan. Monitor-monitor di sekeliling berkedip dengan cahaya biru pucat, menciptakan bayangan aneh di wajahnya yang pucat.
"Rileks saja," ujar teknisi itu sambil menyesuaikan beberapa pengaturan. "Anda mungkin akan melihat beberapa kilatan cahaya atau mendengar suara dengung. Itu normal."
"Berapa lama lagi?" tanya Arga, jemarinya mencengkeram sandaran kursi.
"Kita hanya perlu lima menit," jawab teknisi itu. Kacamata tebalnya memantulkan deretan kode yang bergerak cepat di layar. Suaranya datar, seolah ini hanya rutinitas membosankan.
"Dan Anda yakin ini aman?" Arga bertanya sekali lagi, keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Teknisi itu menghela napas, sedikit jengkel. "Pak Arga, saya sudah menjelaskannya tadi. Ini teknologi yang sudah teruji dan aman digunakan." Ia menunjuk ke sertifikat keamanan yang terpajang di dinding. "Lihat? Sudah disertifikasi oleh Badan Pengawas Teknologi Nasional. Anda tidak perlu khawatir."
Arga mengangguk kaku, mencoba menenangkan diri. Di benaknya hanya terbayang nominal yang bisa mengisi perutnya malam ini. Lima menit dengan bayaran dua juta rupiah tentu sangat menggiurkan.
"Baiklah, kita mulai sekarang," teknisi itu menekan tombol hijau besar di panel kontrol.
Mesin mulai berdenging pelan. Lampu-lampu indikator berkedip dalam pola teratur. Arga merasakan sedikit getaran dari gelang sensor di pergelangan tangannya.
Tiba-tiba—
BRAKK!
Lantai bergetar hebat. Petir menyambar tepat di penangkal atap gedung. Cahaya putih menyilaukan menerobos jendela, diikuti gelegar guntur yang memekakkan telinga. Seluruh monitor padam seketika, meninggalkan ruangan dalam kegelapan total.
"ASTAGA!" teriak teknisi utama. "Apa yang terjadi?!"
"Petir mengenai penangkal!" seorang asisten berteriak dari sudut ruangan. "Arus listriknya terlalu besar!"
"Generator darurat! Nyalakan generator darurat!" Suara panik terdengar dari berbagai arah.
Lampu darurat berwarna merah menyala redup, memberikan pencahayaan minimal. Dalam cahaya temaram itu, Arga terlihat tergeletak kaku di kursi, mata terbuka namun kosong. Gelang sensor di pergelangan tangannya mengeluarkan asap tipis.
"Ya Tuhan! Subjek!" Teknisi utama berlari menghampiri Arga, memeriksa nadinya dengan panik. "Tidak ada denyut nadi! Siapkan defibrilator!"
Seorang asisten wanita membawa alat kejut jantung, tangannya gemetar. "Ini tidak mungkin terjadi! Sistem kita punya pengaman berlapis!"
"Cepat!" Teknisi utama merobek kemeja Arga, menempelkan bantalan defibrilator ke dadanya. "Clear!"
Tubuh Arga tersentak, tapi tidak ada respons.
"Lagi! Naikkan voltasenya!"
"Clear!"
Masih tidak ada respons.
"Sial!" Teknisi utama mengusap keringat di dahinya. "Coba sekali lagi!"
"Sudah tiga kali, Dok," bisik asisten wanita itu. "Dia ... dia tidak tertolong."
Ruangan hening seketika. Hanya suara hujan dan guntur di kejauhan yang terdengar.
"Ini tidak mungkin terjadi," teknisi utama bergumam, wajahnya pucat pasi. "Eksperimen kita aman. Sudah teruji. Ini ... ini kecelakaan."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang teknisi muda, suaranya bergetar. "Kita harus melapor ke pihak berwenang."
"Tidak!" Teknisi utama menggeleng keras. "Kalian tahu apa artinya itu? Seluruh pendanaan kita akan hilang. Proyek ini akan ditutup. Karir kita semua hancur."
"Tapi dia meninggal, Dok! Kita tidak bisa menyembunyikan ini!"
Teknisi utama mondar-mandir, tangannya mengacak-acak rambut. "Dia tinggal sendiri di kota ini, ibunya ada di kampung. Aku sudah memeriksa formulirnya. Dia hanya kurir yang baru di-PHK." Ia menatap rekan-rekannya dengan tatapan dingin. "Tidak akan ada yang mencarinya."
"Kau tidak bermaksud..."
"Kita buang tubuhnya. Malam ini. Hujan akan menghapus semua bukti."
"Ini gila!"
"Lebih gila lagi jika kita semua dipenjara!" Teknisi utama menggebrak meja. "Kalian pikir perusahaan akan melindungi kita? Mereka akan menjadikan kita kambing hitam! Ini satu-satunya jalan."
Keheningan mencekam memenuhi ruangan. Satu per satu, para teknisi mengangguk pelan, menyerah pada rasa takut.
Dua jam kemudian, di sebuah gang sempit di belakang laboratorium, sebuah van hitam berhenti sejenak. Pintu belakang terbuka, dan tubuh Arga dilempar ke tumpukan sampah. Hujan masih turun deras, membasahi wajahnya yang pucat.
Selama beberapa menit, hanya suara hujan yang terdengar. Tetesan air membasuh wajah Arga yang tak bergerak. Kemudian—
[Ding!]
Suara samar terdengar dari dalam kesadarannya yang masih berkabut.
Sistem Integrasi Kesadaran Terdeteksi...
Memulai inisialisasi...
Mata Arga terbuka perlahan, melihat tetesan hujan yang membentuk pola aneh di atasnya.
Dalam pikirannya, muncul antarmuka holografik yang samar:
Status Kesadaran: Terintegrasi
Sistem Kekayaan: Level 1 - Pemula Dermawan
Saldo: Rp27.000
PK: 0
"Apa ... aku mati?"