Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Lelaki yang Tak Bisa Ditolak Perempuan

Lelaki yang Tak Bisa Ditolak Perempuan

Kingdenie | Bersambung
Jumlah kata
97.1K
Popular
287
Subscribe
104
Novel / Lelaki yang Tak Bisa Ditolak Perempuan
Lelaki yang Tak Bisa Ditolak Perempuan

Lelaki yang Tak Bisa Ditolak Perempuan

Kingdenie| Bersambung
Jumlah Kata
97.1K
Popular
287
Subscribe
104
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurSihirKerajaanHarem
Dulu, aku diabaikan. Sekarang, tatapanku adalah perintah yang tak bisa ditolak oleh perempuan mana pun. Arkana Pradipta hanyalah seorang yatim piatu, bayangan yang hidup di sudut desa, sering kali menjadi sasaran empuk bagi mereka yang lebih kuat. Baginya, tidak dianggap adalah hal yang biasa. Semuanya berubah saat ia dihajar hingga sekarat dan dibuang ke dalam Rimba Rahasya. Di ambang kematian, ia justru 'diselamatkan' oleh kekuatan kuno yang memberinya anugerah sekaligus kutukan abadi. Kini, matanya yang abu-abu kristal menjadi Kutukan Mata Kosmik. Setiap perempuan, dari gadis desa, putri mahkota yang angkuh, hingga ksatria perempuan terhebat akan jatuh cinta secara membabi buta hanya dengan sekali menatapnya. Namun, cinta ini adalah api yang membakar. Kecemburuan melahirkan perang kecil di dalam istana. Obsesi memicu pertumpahan darah. Arkana, yang hanya mendambakan cinta yang tulus, kini menjadi pusat dari kekacauan yang mengancam akan menelan seluruh kerajaan. Di balik layar, sebuah ordo rahasia memburunya untuk menjaga "keseimbangan dunia". Para bangsawan ingin memanfaatkannya sebagai senjata. Dan bisikan dewa kuno yang ingin bangkit kembali melalui tubuhnya terus bergema di dalam jiwanya. Dikelilingi oleh cinta yang bisa membunuh dan diburu oleh kekuatan yang ingin menghancurkannya, bisakah Arkana mengendalikan anugerah terkutuk ini dan menemukan takdirnya sendiri? Atau ia akan hancur, menjadi boneka bagi para perempuan yang memujanya dan dewa yang ingin memilikinya?
Takdir di Ujung Kematian

Teriakan marah memecah udara sore di alun-alun desa. Dua pemuda, Darta dan Banyu, saling berhadapan dengan dada membusung. Tubuh Darta gempal dan padat, dengan lengan tebal perut yang membuncit, sementara Banyu, lawannya, bertubuh lebih ramping namun liat, dengan otot-otot kering yang menonjol di lengannya. Masalah mereka sebenernya sepele, Darta berutang judi sebesar beberapa keping perak kepada Banyu dan harga diri Darta terasa tercabik ketika Banyu menagih.

Arkana Pradipta, yang baru saja kembali dari mencari akar-akaran obat di pinggir desa, kebetulan sedang melintas. Ia hanya ingin segera pulang ke pondoknya yang sunyi, berusaha melewati kerumunan itu secepat mungkin.

"Aku akan bayar utang itu besok!" bentak Darta, tubuhnya yang gempal tampak mengancam.

"Besok, besok terus! Aku mau uangku sekarang. Tidak ada lagi besok!" balas Banyu, mendorong bahu Darta dengan kasar.

Dorongan itu adalah pemantiknya. Bogem mentah pertama melayang dari Darta yang tersinggung, mendarat telak di rahang Banyu. Perkelahian itu meledak. Dalam sekejap, kerumunan terbentuk, menciptakan arena dadakan di tengah alun-alun. Para lelaki yang sedang menganggur bersorak, sementara yang lain bertaruh.

Arkana mencoba menyelinap di pinggir kerumunan, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun arus penonton yang terus bergerak mendorongnya tanpa ampun. Ia terjepit, terombang-ambing di antara tubuh-tubuh yang berbau keringat dan bau arak murah. Saat ia mencoba minggir, ia bertabrakan dengan seorang perempuan yang juga sedang berusaha melihat. Perempuan itu menoleh, memberinya tatapan aneh yang penuh kejengkelan, seolah Arkana adalah hama yang mengganggu.

"Jangan menghalangi jalan!" desis perempuan itu sambil mendorong bahu Arkana dengan kasar agar ia menyingkir.

Didorong dan terjepit, Arkana terhuyung ke depan. Ia merasakan sebuah sikut tajam menghantam rusuknya saat seorang penonton berbadan besar maju untuk melihat lebih jelas. Arkana terkesiap, tetapi lelaki itu tidak menoleh, matanya terpaku pada Darta dan Banyu yang kini bergulingan di tanah.

Saat itulah Banyu, yang lebih lincah, berhasil menghindari sebuah pukulan dan membalas dengan tendangan keras ke perut Darta. Lelaki bertubuh gempal itu terhuyung ke belakang dengan keras, kehilangan keseimbangan, dan menabrak Arkana yang berada tepat di belakangnya. Seluruh beban tubuh Darta yang berat menghantam Arkana tanpa ampun.

Arkana tidak sempat berteriak. Ia merasakan bunyi krak yang menyakitkan dari tulang rusuknya saat ia terpelanting dan jatuh tersungkur ke tanah. Paru-parunya terasa kosong, napasnya tercekat. Darta mendarat telak di atasnya, menindihnya dengan bobot yang terasa seperti batu besar. Rasa sakit yang tajam dan menyiksa merambat dari rusuknya, membuatnya sulit bernapas.

"Minggir..." desis Arkana, mencoba mendorong, tetapi tubuh Darta terlalu berat.

Dunia di sekelilingnya berputar. Ia harus bangun. Ia harus menyingkirkan beban ini dari tubuhnya. Dengan sisa-sisa tenaganya, Arkana mengumpulkan kekuatan di lengannya dan mendorong ke atas dengan sekuat tenaga. Ia tidak bermaksud menolong Darta; ia hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dari himpitan yang meremukkan. Dorongannya yang panik itu, secara tidak sengaja, justru membantu Darta untuk kembali berdiri.

Melihat itu, Banyu yang sudah siap menerjang kembali menjadi murka. Matanya yang merah menatap tajam, bukan lagi pada Darta, tapi pada Arkana yang masih berusaha bangkit.

"Kau mau ikut campur, hah?!" raung Banyu, salah paham total. "Kau mau membelanya, Yatim Piatu Sialan?!"

Saudara-saudara Banyu yang berada di kerumunan ikut terpancing. "Hajar saja sekalian si Pembawa Sial itu!" teriak salah satu dari mereka.

Sebelum Arkana sempat menjelaskan, sebuah tendangan menghantam perutnya, membuatnya kembali jatuh. Lalu pukulan berikutnya datang, dan berikutnya. Perkelahian antara Darta dan Banyu telah usai. Kini, hanya ada satu target. Kerumunan tidak melerai. Sebagian dari mereka justru ikut melontarkan caci maki. Arkana sudah terbiasa menjadi bahan olokan, tapi kali ini berbeda. Ini adalah kekerasan murni.

"Orang Tidak Berguna!" sebuah suara meludah.

"Pantas saja kau sebatang kara! Sampah Masyarakat!"

"Mati saja kau! Pergi dari desa ini!"

Pukulan dan tendangan datang dari segala arah. Arkana hanya bisa meringkuk, melindungi kepalanya dengan kedua lengan. Ia merasakan kayu yang keras menghantam punggungnya, lalu rasa sakit yang menyengat di pelipisnya. Ia tidak melawan. Ia tidak pernah bisa melawan. Ia hanya bisa menerima, seperti yang selama ini ia lakukan. Bahkan Darta, lelaki yang secara tidak sengaja ia bantu, hanya berdiri menonton dengan napas terengah-engah sebelum akhirnya ikut menendang tulang kering Arkana.

Rasa sakitnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh sensasi dingin dan mati rasa. Suara-suara di sekitarnya meredup menjadi dengungan. Ia merasakan tubuhnya diseret dengan kasar di atas tanah berkerikil, kulitnya tergores dan robek. Kesadarannya timbul tenggelam. Ia mendengar seseorang berkata, "Buang saja dia ke Rimba Rahasya, biar jadi makanan binatang buas."

Ia merasakan tubuhnya terangkat, lalu terlempar ke dalam semak belukar yang lembap dan dingin. Terdengar suara tawa yang menjauh, lalu hening. Hening yang total dan memekakkan telinga. Ia sendirian. Seperti biasa.

Ia terbaring di sana, di pelukan dingin tanah hutan, di ambang kematian. Setiap tarikan napas adalah perjuangan melawan rasa sakit yang membakar dari rusuknya yang patah. Udara yang masuk ke paru-parunya terasa seperti serpihan kaca. Darah hangat mengalir dari bibir dan pelipisnya, bercampur dengan tanah dan air mata yang menggenang tanpa ia sadari.

Ini akhirnya. Akhir dari sebuah kehidupan yang bahkan belum sempat terasa menyenangkan.

Sebuah kilasan memori muncul di benaknya yang mulai kabur: senyum hangat ibunya saat memberinya setangkai bunga liar, dan tawa berat ayahnya yang menggema di pondok kecil mereka. Kenangan itu terasa begitu jauh, seperti cerita dari kehidupan orang lain. Hangatnya kenangan itu adalah siksaan terakhir, kontras yang kejam dengan dinginnya kematian yang kini merayap dari ujung jari tangan dan kakinya.

Seumur hidupnya ia adalah bayangan, tak pernah ada yang memerhatikannya. Ironisnya, saat bayangan itu akhirnya berani menunjukkan sedikit wujud, ia menjadi samsak. Tidak ada pilihan lain di antaranya. Rasa sakit dari pukulan dan tendangan kini telah mereda, digantikan oleh kesedihan yang mahaluas. Kesedihan bukan karena ia akan mati, tetapi karena ia telah hidup tanpa pernah benar-benar berarti bagi siapa pun.

"Ibu ... Ayah ..." bisiknya pada daun-daun yang membusuk di bawah pipinya. Suaranya pecah, hanya desisan serak yang tertelan oleh keheningan hutan. Ia lelah. Sangat lelah. Mungkin kematian adalah satu-satunya kedamaian yang bisa ia miliki. Ia memejamkan matanya, siap menyambut kegelapan.

Dunia pun menjadi hitam. Hening. Damai.

Namun, kedamaian itu direnggut paksa. Seberkas cahaya mustahil menembus kelopak matanya yang terpejam, memaksanya kembali ke ambang kesadaran. Bukan cahaya surga yang hangat, melainkan cahaya dingin yang terasa kuno dan lapar.

Dengan sisa kekuatan terakhir yang ia miliki, Arkana membuka matanya. Di sana, jauh di antara pepohonan purba, ia melihatnya ….

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca