Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Tabib Kampung Sang Penguasa Langit

Tabib Kampung Sang Penguasa Langit

N. B Dominic | Bersambung
Jumlah kata
128.1K
Popular
4.9K
Subscribe
418
Novel / Tabib Kampung Sang Penguasa Langit
Tabib Kampung Sang Penguasa Langit

Tabib Kampung Sang Penguasa Langit

N. B Dominic| Bersambung
Jumlah Kata
128.1K
Popular
4.9K
Subscribe
418
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalDokterDewaKekuatan Super
Demi melindungi Audrey agar tidak dilecehkan, Bobby si pemuda bodoh itu dihantam oleh Jerome, kemudian dilempar ke dalam Gua Iblis yang terkenal karena mengerikan. Iblis dalam gua yang sering menjadi perbincangan itu tak disangka adalah Dewi Teratai Surgawi. Agar Bobby bisa membantunya kembali ke dunia dewa, Dewi Teratai Surgawi menghabiskan banyak tenaga dan menyerahkan semua kultivasinya kepada Bobby. Bobby yang mendapatkan warisan kini mulai mengubah takdirnya. Dia memiliki Jarum Kematian yang dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Dia memiliki kemampuan hebat yang bisa mengalahkan segala master. Dia memiliki Mata Teratai Surgawi yang bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Pemuda bodoh itu berubah menjadi pria tampan dan kaya raya. Pelan-pelan Bobby terbang menuju puncak.
Bab 1

Siapapun tak akan menyangkal jika ada yang berkata; pemandangan di kaki gunung Labewa, Desa Hagawa, sangat indah dan memanjakan mata.

Di pagi yang ranum, biasanya, burung-burung akan berkejaran dari ranting ke ranting, bersembunyi di balik dedaunan untuk kemudian melesat ke arah langit biru, melintasi air terjun kecil yang airnya sangat jernih menuju seberang yang rimbun oleh pepohonan liar untuk mendapatkan paparan hangat sinar matahari.

Sayangnya, tak semua orang mempunyai kesempatan menikmati keindahan alam serta menghirup udara sejuk di sana setiap hari. Daripada berendam di air jernih sembari bernyanyi, mereka lebih memilih bekerja demi menghidupi keluarga. Begitupun yang dilakukan suami Audrey Awania, dulu, saat mereka masih hidup bersama. Kini, ingatan bahwa pernah diperjuangkan 'sama halnya wanita-wanita lain' dikuburnya dalam-dalam di bawah bebatuan kecil yang tak pernah hanyut meski setiap hari tersapu air. Ya, Audrey harus ikhlas tidak lagi memiliki pendamping hidup, walau tak menolak kenyataan bahwa kadang ia masih membutuhkan perhatian dan belaian.

Saat orang-orang sibuk menanam padi dan memintal rami, janda cantik itu saat ini malah berendam, menikmati sentuhan liar air di bawah dinding tebing yang entah sudah berapa ribu tahun tak pernah berhenti mengalir. Ia menunduk, membasuh kulit pundaknya perlahan, lalu menyisihkan rambut basah yang menutupi sebagian wajah sebelum tiba-tiba tersentak kaget sebab mendengar suara ranting kering yang patah terinjak dari arah belakangnya.

"Astaga, Bobby," ucapnya lirih sesaat setelah merasa darahnya seakan tercerabut dari sekujur tubuh. Dada yang semula seperti akan jebol akhirnya terasa lapang saat mengetahui jika yang datang hanyalah pemuda idiot desa.

Pemuda itu rupanya ingin bermain di air terjun, pikir Audrey, yang tak tahu jika sebenarnya si idiot memang sengaja mengintip setelah melihat adanya warna-warni kain di keranjang bambu saat dia lewat–sepulang mencari jamur di hutan baru saja. Pemuda itu penasaran siapa pemiliknya.

Rasa waspada yang sempat menyergap akhirnya hilang sempurna, Audrey tersenyum pada Bobby yang garuk-garuk kepala sambil meringis. Andaikan bukan Bobby, pasti Audrey akan menghindar, menyembunyikan diri di balik bebatuan atau di manapun agar tidak mengundang hal buruk, tapi karena hanya Bobby yang pikirannya seperti bocah lima tahun jadi dirinya lebih tenang dan tak perlu repot melakukan itu semua.

"Bobby, kamu ngapain ngacak-ngacak barang kakak?" tanya Audrey yang wajahnya tampak pasrah melihat kondisi pakaiannya, tubuhnya bergerak pelan mengikuti arus gelombang air.

"Hah?" Bobby tampak berpikir sejenak, lalu membungkuk mengambil sesuatu dari keranjang yang isinya sudah berantakan itu.

"Aku suka warna merah ini. Aku ingin memakainya, Kakak!" ucap Bobby setelah menempelkan pakaian dalam Audrey ke tubuhnya. "Cantik," tambahnya sambil melihat tubuhnya sendiri yang jelas tidak pantas mengenakan pakaian seminimalis itu.

Audrey tersenyum geli, berusaha maklum karena keadaan pemuda di hadapannya.

"Bobby, itu pakaian wanita, kau pria tidak boleh memakainya," ucapnya lembut, selembut permukaan kulitnya yang teraliri bulir-bulir air jernih.

"Kembalikan, Bobby, jangan sampai basah karena aku tidak membawa ganti lain."

Bobby menarik benda itu, menenteng untuk memindainya lalu menaruhnya kembali ke keranjang, bahkan juga merapikan yang lain–yang sebelumnya telah diacak-acaknya.

Memang seperti anak kecil, polos sekali, Audrey tersenyum lembut, terus menatap hingga tanpa sadar pandangannya menjadi dalam; menilai sudut demi sudut pahatan sempurna milik si idiot yang ternyata harus diakui jika dia sangatlah tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan merah, sementara rahangnya kokoh dengan sedikit bulu jenggot yang menunjukkan bahwa dia membutuhkan bantuan orang lain untuk merawatnya dengan benar. Dada Audrey tiba-tiba berdetak kencang, untuk kedua kali.

Wanita itu menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya dan membenamkan tubuhnya beberapa detik untuk kemudian bangkit kembali. Tangannya yang putih terangkat, membuang sisa air di wajah lalu memastikan apakah Bobby masih berada di tempatnya.

Ternyata masih.

Pemuda itu malah duduk mengalungkan tangan ke kedua lutut yang tertekuk sambil menatap ke arah Audrey yang salah tingkah. Dada wanita itu berdesir, walau berada di dalam air ia merasa tubuhnya perlahan menghangat.

Oh, mungkin ini adalah pengaruh statusnya. Ia telah menjanda dua tahun, dan ia adalah wanita normal, jadi ia akui saja jika saat ini ada yang terpantik di dalam sana. Terpantik oleh ketampanan Bobby di waktu yang entah kenapa bisa … tepat.

Audrey bergerak ke pinggir, walau tak terlalu dekat dengan tepi ia cukup dekat dengan Bobby. Tiga meter, tapi mampu membantunya melihat dengan jelas apa yang dimiliki pemuda itu selain ketampanan.

Gagah.

Audrey menelan ludah, sepercik keberanian muncul di dadanya.

Perlahan Audrey menegakkan tubuhnya, membiarkan pundaknya terlihat hingga bagian teratas dada, lalu dengan lembut ia memanggil,

"Bobby, kau menginginkan makanan?"

Bobby menelengkan kepala, raut wajahnya menunjukkan sebuah pertanyaan.

"Aku … membawa buah. Kau mau?" pancing Audrey lagi.

Saat itu juga Bobby tersenyum lebar, anggukannya begitu cepat, dan tanpa disangka pemuda itu melompat ke arah keranjang, mengacak-acaknya kembali seperti sedang mencari sesuatu membuat Audrey meringis. Jika bajunya hanyut, tamatlah riwayatnya!

"Hey!" panggil Audrey sebelum kekhawatirannya terjadi. "Bobby lihat aku!"

Satu tangan Audrey melambai, satunya lagi menutupi belahan dada yang hampir terlihat.

"Di mana?" tanya Bobby bingung, sedikit raut kecewa tercetak di wajahnya sebab tak menemukan apapun di dalam keranjang.

"Di sini!" seru Audrey memberi tahu, lantas tangannya bergerak turun ke air memberi isyarat bahwa di sanalah ia menyimpan buah itu.

"Ada anggur dan buah persik, kemarilah kau bisa memilih atau mengambil semuanya," tambah Audrey sambil mengangguk, meyakinkan.

Kepala Bobby memiring lagi, alisnya bertaut seperti sedang memikirkan sesuatu, sementara matanya menatap lurus ke arah sesuatu yang sepertinya dipegang oleh wanita yang dipanggilnya dengan sebutan kakak itu.

"Kemarilah," perintah Audrey lagi.

Bobby yang bodoh, yang tidak bisa menangkap dengan baik sebuah isyarat tidak bisa melakukan hal lain selain menurut. Yang ia pahami adalah buah itu berada di tangan Audrey, dan untuk mendapatkannya dia harus menurut, turun ke air, dan mengambilnya.

Dengan senyum semringah khas seorang bocah pemuda itu akhirnya benar-benar melangkah. Bibirnya tak henti bernyanyi sekenanya; menyebut nama buah yang diharapkan.

Bobby sebenarnya bukan benar-benar anak kecil, dia berusia 23 tahun. Dua tahun lalu, dia masih normal, seperti umumnya pemuda di usia menjelang dewasa. Dia baru saja lulus dari Akademi Kedokteran di ibu kota provinsi dan akan mulai bekerja di Rumah Sakit Kota Jambora. Namun, saat sedang makan di warteg bersama pacarnya, seseorang tak dikenal datang melecehkan pacarnya yang menyebabkan terjadinya keributan besar.

Sebagai pria, Bobby merasa wajib melindungi kekasihnya sehingga ia tetap melawan meski tenaganya ternyata tidak seimbang, sampai di satu kesempatan kepala Bobby berhasil dipukul dengan kursi kayu yang keras dan berat, saat itu juga Bobby tumbang--tak sadarkan diri.

Warteg seketika ramai. Ambulans dipanggil untuk membawa Bobby yang kepalanya telah bersimbah darah ke rumah sakit. Di tempat itu penanganan darurat segera dilakukan, tapi sayang, rupanya benturan tadi terlalu keras menyebabkan pemuda tersebut mengalami cedera otak traumatis, sebuah keadaan yang membuat pemikirannya mundur jauh ke belakang, sehingga saat sadar ia merasa bahwa dirinya masih seorang bocah berusia lima tahun.

Sebab itu orang desa memberinya julukan baru, yaitu sang idiot. Miris, tapi itulah yang terjadi.

Kaki Bobby telah turun menyisir air untuk sampai ke tujuan, sedangkan Audrey semakin grogi. Sejenak ia ragu, berpikir bukankah memanfaatkan kelemahan orang untuk kesenangan pribadi adalah sebuah kejahatan? Bahkan sampai detik ini tangannya yang bertautan di dalam air masih gemetar, tapi ada sesuatu di dalam sana yang kukuh menyuruhnya bertahan.

Seiring Bobby yang semakin dekat, Audrey berusaha memantapkan diri, hingga akhirnya didapatkannya rasa yakin itu.

"Dia bodoh, pikirannya tak akan sampai ke mana-mana. Selama dia tidak mengadu pada orang, hal ini tak akan menjadi masalah."

Audrey menyeringai, menyambut Bobby yang kian dekat dengan menurunkan selendangnya hingga sesuatu yang tak pantas dilihat menjadi terlihat.

"Tapiii, kakak minta tolong sesuatu dulu, ya?" ucap Audrey dengan lembut, saat jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal saja.

"Apa?" tanya Bobby tampak penasaran.

Audrey bergerak lagi, saat sudah semakin dekat ia mengangkat sedikit tubuhnya, menutup belahan dadanya dengan satu tangan, lalu berbisik di telinga pemuda itu.

"Pijatkan bahu kakak." Setelah mengucap itu Audrey merendahkan tubuhnya lagi, membaliknya untuk menghadap ke belakang lalu menepuk bahu mulus itu pelan.

"Di sini."

Bobby yang menjulang di belakangnya langsung terlihat lemas, bibirnya juga mengerucut gemas. Sementara Audrey yang menoleh dan melihat ekspresi itu hanya tersenyum, lalu kembali menepuk bahunya.

"Kalau enggak mau, ya sudah, tapiii enggak jadi kakak beliin permen, yaaa?"

"Permen?" Bobby tersentak. "Iya deeeh, iyaaa, tapi janji, yaaa?" Mata pemuda itu berbinar penuh harap.

"Iya, Bobby, janji," jawab Audrey yang sudah tidak sabar.

Dengan polosnya akhirnya tangan Bobby menyentuh bahu itu, memijatnya pelan walau berbeban dewasa, dengan pola acak layaknya pijatan asal seorang bocah. Namun demikian Audrey menikmatinya, matanya memejam, dan diam-diam meliarkan pikirannya ke ranah yang tak seharusnya.

Lambat laun ide di pikiran Audrey semakin gila. Ia mengajak bermain dengan permainan yang mengharuskan Bobby menuruti perintahnya.

"Permennya dulu, Kakaaak," rengek Bobby mengelak. Audrey menghela napas, makanan saja yang dipikirkan anak ini, demikian batinnya yang semakin yakin Bobby benar-benar dikuasai kebodohan.

Padahal, andaikan dia sedikit pintar, hanya butuh menundukkan kepala untuk melihat semua keindahan tubuhnya, tapi ia segera ingat menipu anak bodoh tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru.

Audrey lalu membujuk Bobby agar mandi di bawah air terjun bersamanya, tapi Bobby tidak mau. Ia menggeleng dan terus merengek meminta permen yang Audrey janjikan.

"Iya, Bobby, tapi tubuhmu bau." Audrey menutup hidungnya dan mengernyit dalam seolah benar-benar mencium bau yang menyengat. "Kau harus membersihkan tubuhmu dulu sebelum mendapatkan permen itu."

Bobby mendengkus, tapi karena hatinya sudah bertaut pada permen maka ia pun terpaksa mengangguk, menurut, membuka pakaiannya dan melempar benda itu ke tepian sebelum melangkah lebih jauh ke ujung sana.

Seketika Audrey tercekat. Meski dari luar ia sudah bisa membayangkan tubuh Bobby, tapi pemandangan setelah terlepasnya kain penutup tubuh itu benar-benar membuat matanya melebar sempurna. Mungkin, sebelum sakit pemuda itu pandai menjaga diri sehingga dalam keadaan seperti ini masih tercetak jelas otot-otot perut yang membentuk balok-balok bernyawa. Seksi.

"Astaga, sepertinya aku akan kesusahan bernapas kalau terus-terusan begini," batin Audrey dengan muka memerah sebelum kemudian mendorong Bobby untuk segera mengikuti pergerakannya. Dia yakin bahwa rencananya sebentar lagi berhasil.

Melihat Bobby yang masih bergerak lambat Audrey yang sangat tidak sabar kembali mencari ide. Ia berhenti di samping sebuah batu besar di tengah sungai lalu memercikkan air ke arah wajah Bobby, menarik minat bermain pemuda itu yang ternyata berhasil. Bobby tampak semangat, tertawa riang, lalu bergerak lebih cepat, mengejar sambil membalas kejailan Audrey yang juga berjalan melawan arus air tak jauh di depannya.

Pemuda itu tidak sadar bahwa momen paling bersejarah dalam hidupnya sebentar lagi akan datang.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca