

““Ya ampun… ini sih bener-bener downgrade hidup,” gumam Raka sambil ngesot malas di kursi kayu tua yang bunyinya krek-krek tiap kali ia goyangin.
Biasanya, tiap sore sepulang sekolah SMA-nya, dia nongkrong di kafe kekinian sambil update story IG, minum boba, dan wifi kenceng kayak roket. Sekarang? Pandangannya cuma tembok rumah kayu yang catnya udah ngelupas, plus suara jangkrik yang kayak konser gratis. Sinyal? Jangan tanya. Kalau mau buka TikTok aja loading-nya bisa sekalian nunggu waktu buka puasa.
Raka, remaja SMA kelas 2 yang berusia 17 tahun, terpaksa pindah ke rumah kakeknya, Mbah Karno, karena orang tuanya harus kerja di luar kota. Katanya sih biar Raka “belajar hidup sederhana.” Sederhana kepala lo, pikir Raka. Buat dia, ini kayak dihukum.
Pagi itu, Mbah Karno nyuruh dia bantuin bawa barang-barang ke pasar loak. Radio bekas, kabel kusut, sama antena panjang yang kayak bisa jadi senjata di film sci-fi.
“Rak, ayo tolongin Mbah. Ini radio harus cepet dibawa ke toko. Besok ada yang mau ambil,” kata Mbah Karno, santai banget.
Raka cuma manyun.
“Serius, Mbah? Aku disuruh jadi kurir radio rongsok gini? Nanti kalau ada temen SMA-ku lihat, bisa langsung jadi bahan meme.”
Mbah Karno cuma ketawa kecil, terus jalan duluan sambil nyangking tas gede penuh barang elektronik jadul. Sementara Raka, dengan hoodie oversized dan headset nyangkut di leher, nyeret kardus yang kayaknya udah berumur lebih tua dari dirinya sendiri.
Pas sampai pasar loak, Raka makin pengen ngilang. Bau debu, campur keringat, sama suara teriakan pedagang bikin kepalanya pening. Belum lagi tokonya Mbah Karno: kecil, sempit, berantakan, penuh radio dan TV kuno yang kayaknya lebih pantes masuk museum daripada dipajang di sini.
“Welcome to my new nightmare,” bisik Raka sambil ngerekam video pendek buat disimpen di draft TikTok. Nggak bakal dia upload, takut dicengin temen-temen sekelasnya di grup WA.
“Tapi pas dia lagi sibuk ngeluh dalam hati, matanya sempet berhenti di satu radio tua yang bentuknya beda. Ada ukiran aneh di sisinya, kayak simbol alien atau semacamnya. Raka sempet penasaran, tapi buru-buru dialihin karena Mbah Karno manggil.
“Rak, tolong betulin posisi antena itu, jangan bengkok. Nanti ada yang cari model begitu.”
Raka cuman ngedumel, “Aduh, Mbah… siapa sih yang masih peduli antena jaman purba kayak gini?”
Dia nggak tahu, benda-benda jadul yang dia anggap receh itu bakal jadi kunci buat ngebuka dunia yang nggak pernah dia bayangin sebelumnya. Dunia yang… literally beda.
Raka masih nyender malas di kursi reyot toko itu. Jempolnya sibuk geser layar HP walau sinyal pas-pasan bikin aplikasi sering nge-freeze. Sesekali dia ngedumel:
“Duh, apa gunanya hidup kalo TikTok aja buffering lima tahun kayak gini…”
Mbah Karno, yang lagi sibuk ngutak-atik solder, cuma nyengir tipis. “Sinyal boleh hilang, Rak. Tapi koneksi sama dunia nyata jangan putus.”
Raka nggak nangkep maksudnya. Buat dia, dunia nyata ya… update story, like-an, komen receh, dan video trending. Udah gitu aja.
Pas lagi bosen, matanya balik lagi ke radio tua dengan ukiran aneh tadi. Bentuknya bulat agak lonjong, warnanya cokelat kusam, tapi ada motif yang bikin penasaran. Semacam lingkaran kecil dengan garis-garis yang mirip orbit planet.
“Kayak simbol NASA KW,” celetuknya.
Iseng, Raka nyoba muter-muter tombolnya. Tiba-tiba, klik! Radio itu nyala sendiri. Padahal Mbah Karno belum nyambungin listrik.
Dari speaker keluar suara berisik kayak siaran gelombang pendek. Awalnya cuman kresek-kresek, tapi lama-lama muncul suara pelan:
“Raka… Raka…”
Raka langsung bengong. Matanya melebar. “Eh, bentar. Tadi barusan… ada yang manggil nama gue?!”
Dia noleh ke Mbah Karno, tapi kakeknya masih fokus sama solder, kayak nggak denger apa-apa.
Suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, agak serak tapi tegas:
“Waktu sudah dekat. Kau… pewaris.”
Raka langsung merinding. Matanya berkunang-kunang, rasa lelah dan kesal yang menumpuk seharian seakan memuncak.
“Pewaris apaan? Siapa lu?!” Dia spontan ngomong ke radio, padahal sadar ini absurd. Kepalanya terasa sangat pusing.
Tiba-tiba, lampu toko seperti berkedip-kedip dalam pandangannya yang mulai kabur. Angin malam yang sebenarnya sepoi-sepoi terasa dingin menusuk. Radio tua itu seolah memancarkan cahaya biru kehijauan dari ukirannya, sebuah ilusi yang diciptakan matanya yang lelah.
“Rak!” suara Mbah Karno mendadak keras, memecah lamunannya. “Jangan sentuh radio itu! Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat!”
Tapi terlambat. Jari Raka yang gemetar sudah nyenggol tombol di sisi radio. Seketika seluruh ruangan terasa berputar, dan pandangan Raka berubah putih silau. Dia merasa dunia sekelilingnya menghilang, ditarik ke dalam sesuatu—bukan lagi pasar loak, bukan lagi rumah kayu, tapi… sebuah dunia khayalan yang diciptakan pikirannya yang letih.
Dan sebelum semuanya gelap, satu kalimat terakhir terdengar di kepalanya, hasil dari lamunannya yang liar setelah membaca novel sci-fi dan mendengar cerita absurd teman-temannya:
“Selamat datang, pewaris Mars.”
Tubuh Raka serasa melayang, kayak naik roller coaster tapi tanpa sabuk pengaman. Ada cahaya berputar-putar di sekelilingnya, penuh warna aneh yang nggak pernah dia lihat di dunia nyata. Campuran biru neon, hijau menyala, dan merah gelap yang berdenyut kayak jantung—sebuah mimpi buruk yang nyata.
Tiba-tiba dia jatuh—bruk!—namun bukan di atas tanah berpasir, tapi di atas lantai kayu tokonya Mbah Karno. Dalam "khayalannya", dia melihat hamparan padang luas dengan langit ungu. Ada dua bulan menggantung besar, dan di kejauhan, bangunan tinggi menjulang mirip menara kristal, seperti dalam game yang sering dia mainkan.
“Ya Allah… ini bukan Depok, kan?” Raka bengong, tenggelam dalam halusinasinya sendiri.
Belum sempat mencerna, suara asing menggema lagi, kali ini jelas banget di telinganya, tercipta dari bayang-bayang ketakutannya akan masa depan dan tekanan untuk menjadi "sesuatu".
“Pewaris… kau telah tiba.”
Dari balik kabut tipis dalam imajinasinya, muncul sosok tinggi besar dengan baju besi berkilauan. Matanya menyala merah, wajahnya nggak sepenuhnya manusia. Lebih mirip karakter game RPG bercampur alien Marvel yang sering ia tonton.
Raka mundur sambil deg-degan. “Bro… siapa lu?! Jangan-jangan… ini prank hidden camera?!” teriaknya, mencoba mencari logika dalam chaos pikirannya sendiri.
Sosok itu menatap Raka lekat-lekat. “Kau keturunan yang terakhir. Darah Mars mengalir di nadimu.”
Raka makin panik. “Wait—wait—what?! Darah Mars?! Gue ini manusia biasa, bro. Followers IG gue aja baru seribu, nggak ada hubungannya sama planet-planet!” protesnya, mencerminkan kebingungannya akan identitas diri.
Tiba-tiba tanah dalam mimpinya bergetar, muncul retakan panjang yang bercahaya. Dari dalam retakan, keluar cahaya biru yang melesat ke arah Raka. Refleks, dia nutup mata.
Pas dia buka lagi, dalam halusinasinya, tangannya udah megang sebuah benda. Bukan HP, bukan antena jadul… tapi sebuah pedang bercahaya dengan simbol yang sama persis kayak ukiran di radio tadi—simbol yang terpateri di benaknya karena ia memelototinya terlalu lama.
Jantungnya hampir copot.
“Astaga… jangan bilang ini kayak di film-film, gue bakal jadi… chosen one?” gumamnya, menyerah pada fantasi yang diciptakan otaknya.
Sosok berzirah itu mendekat pelan, sambil berkata:
“Dunia lama akan hancur. Kau harus memilih, Raka. Tetap jadi manusia biasa… atau terima takdirmu sebagai penjaga Mars.”
Raka terdiam, keringat dingin bercucuran. Otaknya yang lelah masih mencoba memproses satu hal absurd:
“Kalau gue jadi penjaga Mars… kira-kira masih bisa update story nggak, ya?”
Pedang bercahaya itu terasa dingin dalam khayalannya, tapi juga enteng, seolah memang dibuat buat dia. Cahaya birunya berdenyut, sinkron sama detak jantungnya yang kencang.
Sosok berzirah mendekat, suaranya makin berat:
“Pilih sekarang, pewaris! Takdir tidak menunggu—”
BRUK!
Tiba-tiba—bukan tanah yang berguncang, tapi bahunya yang digoyang-goyang kuat. Dunia Mars-nya runtuh seketika.
"RAKA! BANGUN!"
...
“Rak! Rak!”
Raka kaget, langsung melek. Dia udah duduk lagi di kursi reyot toko pasar loak. Di depannya ada Mbah Karno, wajahnya tegang tapi matanya jelas lega.
Radio tua dengan ukiran aneh itu sekarang mati, kayak nggak pernah nyala. Pedang bercahaya di tangan Raka? Nggak ada. Yang ada cuma obeng karatan.
“Nah loh…” Raka panik sendiri. “Barusan—barusan tuh ada cahaya, ada pedang, ada alien cosplay—gue nggak halu, kan?!”
Mbah Karno narik napas dalam, terus tatapannya serius banget. Beda dari biasanya yang kalem.
“Kamu udah lihat, ya?”
“Lihat apaan, Mbah?!” Raka makin bingung.
Mbah Karno nggak langsung jawab. Dia cuma mendekati rak, ngambil radio tua itu, terus pelan-pelan ditaruh kembali ke dalam peti kayu yang ditutup rapat pakai gembok besi.
Sebelum Raka sempat protes, Mbah Karno cuma bilang pelan, hampir kayak bisikan:
“Rahasia itu akhirnya milih kamu, Raa. karna kamu terlalu banyak halu”