Hujan turun deras malam itu. Sirene rumah sakit meraung, berbaur dengan langkah tergesa para perawat. Di ruang operasi, Aldren berdiri dengan tangan berlumuran darah. Seorang anak kecil terbujur di meja operasi, napasnya tersengal-sengal, jantungnya melemah.
“Defibrillator! Cepat!” suaranya parau, nyaris putus asa.
Alat itu ditempelkan ke dada kecil itu. Satu kali kejutan. Dua kali. Monitor jantung sempat bergerak, lalu kembali merosot menjadi garis lurus.
“Pasien … meninggal pukul 23.57.”
Kalimat itu keluar dengan berat. Ruangan seakan runtuh menimpanya. Aldren melepas sarung tangannya, tubuhnya gemetar. Ia sudah mencoba segalanya, namun tetap gagal. Lagi dan lagi.
Saat melangkah di lorong rumah sakit, ia merasa hampa. Seorang dokter … yang bahkan tak mampu menyelamatkan nyawa. Pandangannya kabur, kepalanya berat. Lalu cahaya lampu truk menyilaukan matanya saat ia menyeberang. Segalanya gelap.
—
Ketika ia membuka mata lagi, langit biru terbentang. Udara segar menusuk paru-parunya, jauh dari bau disinfektan. Ia bangkit, merasakan tanah keras di bawah kakinya. Sama-sama tanah, sama-sama bumi, tetapi suasana berbeda.
Bangunan kayu berjajar, atap jerami mengepul asap tipis. Orang-orang berbalut jubah kasar menuntun kereta kuda. Anak-anak berlarian dengan tawa riang tanpa satu pun gadget di tangan. Udara membawa aroma campuran: kayu terbakar, kotoran kuda, dan wangi roti panggang dari tungku.
“Ini … bukan rumah sakit. Bukan juga kota modern …” gumam Aldren, matanya berkeliling tak percaya.
Bayangan kastil batu menjulang di bukit, bendera merah dengan lambang singa keemasan berkibar tertiup angin.
Suara mekanis tiba-tiba menggema di kepalanya:
> 【 Selamat datang, Host. 】
【 Sistem Apotek Ajaib diaktifkan. 】
【 Misi pertama: Selamatkan pasien pertama di dunia ini. Hadiah: Starter Kit Obat Modern. 】
Aldren membeku. Reinkarnasi? Sistem? Obat? Semua seperti cerita fantasi yang pernah ia baca. Namun jantungnya berdetak kencang bukan karena takut, melainkan karena sesuatu yang sejak lama hilang: harapan.
Ia berjalan menyusuri jalan tanah, matanya menatap heran setiap sudut kota. Sekaligus, perutnya mulai berteriak. Suara keroncongan terdengar jelas, membuatnya menahan napas panjang. Aroma roti panggang yang lewat semakin menyiksa, tapi jangankan membeli makanan, sekeping koin pun tak ia miliki.
“Setidaknya … aku harus cari cara bertahan hidup dulu,” gumamnya.
Ia terus berjalan, berharap ada pekerjaan atau sesuatu yang bisa dilakukan. Hingga matanya terpaku pada kerumunan kecil.
Seorang pria berpakaian lusuh berlutut di depan bangunan batu dengan papan bertuliskan simbol pentagram. Dari dalam, seorang alkemis berjubah ungu berdiri dengan tatapan congkak.
“Tuan, kumohon! Putriku demam tinggi sejak kemarin. Tolonglah, hanya sekali saja. Aku akan bekerja membayar jasamu setelah panen,” pinta pria itu lirih, hampir menangis.
Alkemis mendengus. “Aku tidak punya waktu untuk sampah sepertimu. Kalau tak mampu membayar, bawa saja anakmu ke hutan, biar roh-roh mengambilnya.”
Kerumunan menunduk, beberapa berdesis tak tega, tapi tak seorang pun maju membantu. Bagi mereka, rakyat jelata memang jarang punya kesempatan untuk mendapat pertolongan.
Aldren menggertakkan giginya. Ia tak tahan melihatnya.
Ia melangkah maju. “Tunggu sebentar.”
Pria itu menoleh kaget. “Kau … bicara padaku, Tuan?”
Aldren mengangguk. “Katakan, apa gejala anakmu? Kalau kau izinkan, aku bisa mencoba mengobatinya.”
Pria itu menatap bingung, matanya menyapu Aldren dari kepala hingga kaki. Pakaian tunik lusuh, wajah asing. “Tapi… kau bukan alkemis. Bagaimana bisa—”
“Aku bukan alkemis,” potong Aldren tegas. “Aku tabib. Percayalah, aku tidak akan minta bayaran apa pun.”
Hening sejenak. Pria itu menggigit bibirnya, lalu mengangguk cepat, seolah sudah kehabisan harapan. “Baiklah! Ikut aku, Tuan Tabib. Kalau kau sungguh bisa menyelamatkan putriku, aku akan berhutang nyawa padamu.”
Mereka berjalan melewati jalan sempit hingga sampai di rumah reyot di pinggiran kota. Atapnya bocor, dinding kayu rapuh, bau lembap menyengat. Di kamar kecil, seorang anak perempuan terbaring dengan wajah pucat, napasnya tersengal. Kain tipis menempel di dahinya, basah oleh keringat dingin.
Aldren mendekat, menyentuh pergelangan tangan anak itu. Denyutnya lemah, kulitnya panas luar biasa.
“Demam tinggi … kemungkinan infeksi,” gumamnya pelan.
Suara sistem muncul lagi.
【 Misi Pertama: Selamatkan pasien ini.】
【 Hadiah: Starter Kit Obat Modern (Basic Antibiotic + Peralatan Medis Sederhana)】
Tiba-tiba sebuah kotak kecil transparan muncul di hadapannya, seolah keluar dari udara kosong. Aldren ternganga, di dalamnya ada botol kecil berisi cairan bening, tablet putih, dan sebuah jarum suntik modern.
Tangannya bergetar. Ia meraih satu tablet, memecahnya jadi dua, lalu dengan hati-hati menyuapkannya pada anak itu menggunakan air rebusan yang tersedia. Setelah itu, ia mengompres ulang dengan kain bersih, mengganti yang sudah kotor.
Pria lusuh itu menatap dengan mata membelalak. “Apa yang kau lakukan? Itu … obat apa?”
Aldren menoleh, tersenyum tipis. “Obat penurun panas. Jangan khawatir, demamnya akan segera turun.”
Pria itu dan istrinya terus menyaksikan tindakan yang dilakukan Aldren pada putri mereka.
Beberapa menit pertama penuh ketegangan. Anak itu menggeliat gelisah, tubuhnya berkeringat deras. Lalu, perlahan nafasnya stabil. Pucat di wajahnya mulai berangsur menghilang, berganti rona kemerahan sehat.
Pria itu menutup mulut, air matanya mengalir deras. “A-aku tidak percaya … dia … dia benar-benar membaik…”
Aldren menghela nafas lega. “Dia akan butuh waktu istirahat, tapi dia sudah melewati masa kritisnya.”
Sistem kembali berbunyi:
> 【 Misi Pertama Berhasil. 】
【 Hadiah Diterima: Starter Kit + +200 Poin Sistem. 】
Aldren menatap anak itu yang kini tertidur dengan wajah tenang. Di dadanya, sesuatu bergetar bukan rasa bangga, melainkan rasa lega yang ia dambakan. Untuk pertama kalinya di dunia baru ini ia berhasil menyelamatkan nyawa.
Sang ayah jatuh berlutut, mencium tangan Aldren dengan gemetar. “Tuan Tabib … bagaimana aku harus berterima kasih? Kau bukan manusia biasa, kau malaikat yang dikirim para dewa.”
Aldren buru-buru menarik tangannya, wajahnya serius. “Bangunlah. Aku hanya melakukan kewajibanku. Anakmu belum sepenuhnya pulih. Jaga ia tetap hangat, beri makanan yang mudah dicerna, dan terus kompres jika panasnya naik lagi. Jangan biarkan ia keluar rumah dulu.”
Sang ibu menangis sambil mengangguk, berulang kali mengucapkan terima kasih. Rasanya dipenuhi rasa syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Aldren menatap anak itu sekali lagi. Suara sistem berdengung di telinganya.
> 【 Skill Baru Terbuka: Scan Diagnosis Lv.1 】
【 Deskripsi: Dengan menyentuh pasien, host dapat membaca kondisi dasar tubuh.】
Aldren tertegun. Tangannya tanpa sadar menyentuh lengan si kecil, dan seketika data sederhana muncul di pikirannya:
> Status: Demam – Pulih (60%)
Kondisi Umum: Stabil, butuh istirahat.
Napas Aldren tercekat. Dunia ini penuh sihir, tapi ia punya sesuatu yang lebih menakutkan: sistem yang bisa mengubahnya menjadi tabib legendaris.
Dan jauh di luar rumah reyot itu, kabar tentang “tabib ajaib” mulai berhembus, siap mengguncang kota kecil itu.