Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Menantu Gelandangan Ternyata Pewaris Kekayaan

Menantu Gelandangan Ternyata Pewaris Kekayaan

Icha Ghozali | Bersambung
Jumlah kata
51.7K
Popular
1.1K
Subscribe
207
Novel / Menantu Gelandangan Ternyata Pewaris Kekayaan
Menantu Gelandangan Ternyata Pewaris Kekayaan

Menantu Gelandangan Ternyata Pewaris Kekayaan

Icha Ghozali| Bersambung
Jumlah Kata
51.7K
Popular
1.1K
Subscribe
207
Sinopsis
18+PerkotaanAksiMenantuBisnisUrban
Dewa Satya, pemuda jalanan yang jujur dan keras kepala, pernah dipungut menjadi menantu keluarga konglomerat Pratama. Namun alih-alih mendapat cinta, ia hanya menerima penghinaan dan diceraikan dalam keadaan terpuruk.Takdir berputar. Dewa kembali dengan identitas baru; Arjuna Wiratama, pewaris sah kerajaan bisnis raksasa. Wajahnya dingin, langkahnya tegas, auranya tak lagi bisa diremehkan.Kini ia berdiri di puncak kekuasaan. Musuh-musuh yang dulu merendahkannya satu per satu jatuh ke dalam jurang kehancuran. Namun di balik gemerlap kekuasaan, ada rahasia kelam keluarga, cinta yang berbalik arah, dan pengkhianatan yang datang dari orang terdekat.Mampukah Arjuna membedakan siapa kawan, siapa lawan? Ataukah cinta akan menjerumuskannya kembali dalam luka yang sama?Kisah ini menyingkap dendam, cinta, dan perebutan tahta keluarga elit Jakarta, di mana setiap keputusan bisa menelan jiwa.
Bab 1. Menantu Gelandangan, Dylan

“Dewa, cepat ambilkan sepatuku!”

Suara Anindita terdengar nyaring dari ruang ganti, tempat deretan gaun dan sepatu berjejer rapi bagaikan butik pribadi. Dewa Satya bergegas, mengambil sepatu yang sudah dipilih sang istri.

Ia meletakkan sepatu itu di depan kaki jenjang Anindita. Kaki putih mulus itu terulur, membuat Dewa menelan ludah. Meski sering diperlakukan kasar, tak bisa ia pungkiri istrinya begitu cantik. pria manapun akan menahan napas melihat kecantikannya.

“Kenakan di kakiku!” bentak Anindita, membuyarkan lamunannya.

Dewa menarik napas panjang, lalu jongkok. Jemarinya menyentuh betis halus Anindita. Namun belum sempat ia mengancingkan tali, Anindita menghentakkan hak runcing sepatunya tepat di punggung tangan Dewa.

“Lepaskan tangan kotormu!” Mata Anindita menyala penuh kebencian.

Dewa menahan sakit, bibirnya mengatup rapat. “Selamat ulang tahun, Nindita.” suaranya pelan, tulus.

Namun Anindita mendengus sinis. “Aku tak butuh ucapanmu. Ingat, kita hanya menikah demi Kakek Agung. Masa berkabung sudah lewat, warisan sudah dibagi. Kau akan kembali ke jalanan bersama teman-teman gelandanganmu.”

Dewa menatapnya, lemah tapi masih berusaha bertahan. “Aku tetap suamimu, Nindita.”

“Hem, jangan mimpi!”

Dewa mengulurkan bunga yang ia siapkan, sederhana tapi tulus. Anindita sempat menerimanya, lalu tersenyum tipis, sebelum menghempaskannya ke lantai dan menginjaknya.

kres! kelopak bunga berhamburan disertai tangkai yang patah terinjak hak sepatu Anindita.

“Jangan coba-coba merayuku, Dewa. Jangan pernah. Gelandangan sepertimu tak pantas berharap apa pun.” Anindita melenggang pergi, gaun malamnya berkilauan di bawah lampu kristal.

Dewa hanya bisa mematung, menatap punggungnya yang menjauh.

“Hei, Dewa! Apa kerjamu di sini? Cepat ke dapur! Itu tempat yang pantas buatmu!” Suara tajam Nyonya Marisa, ibu Anindita, menggema. Tangannya menarik kasar lengan Dewa.

“Mama, tadi aku hanya membantu Nindita merapikan gaunnya.”

“Ah, alasan! Kau pikir aku tidak tahu kau menggodanya? Dasar gelandangan tak tahu diri!” Marissa mendorong kepala Dewa. Sejak dulu keluarga Pratama memang memanggilnya begitu, gelandangan.

Dewa menghela napas. “Aku tak keberatan bekerja di dapur untuk pesta ini, Mama. Tapi jangan dorong kepalaku. Itu penghinaan.”

“Pakai otakmu! Justru karena kau masuk ke keluarga ini, kamilah yang terhina. Kau hanya boleh diam, apa pun yang kami lakukan!” Marissa menatapnya penuh jijik.

Mereka sudah tiba di pintu dapur. “Sajikan menu utama dengan pelayan lain. Jangan bikin malu keluarga Pratama. Awas, kalau ada kesalahan, ibumu yang terbaring di rumah sakit bisa kehilangan perawatan!” Marissa mendorong Dewa masuk, lalu melemparkan celemek.

“Pakai ini! Dapur memang tempat pantas untuk gelandangan sepertimu.” sekali lagi Marissa memperlakukannya dengan keja.

Ada rasa terhina, sakit namun Dewa hanya diam. Sejak awal ia msuk ke rumah itu, 'embun sejuk' hanya ia terima dari kakek Agung.

Bisik-bisik terdengar dari para pelayan saat Dewa mengenakan celemek.

“Kasihan ya, menantu tapi cuma diperlakukan kayak babu.”

“Dulu kukira pernikahan mereka bahagia, ternyata semua pura-pura.”

Dewa sengaja berdeham keras, menyudahi bisik-bisik itu. “Aku butuh keju. Tolong ambilkan.” ucapnya tenang.

Beberapa pelayan mengangguk, berusaha memberi semangat. Mereka tahu kisah Dewa, gelandangan jujur yang dulu mengembalikan tas Agung Pratama berisi uang dan surat penting. Kejujuran itu membuat Agung terkesan, hingga akhirnya mengangkat Dewa jadi anak angkat.

Dewa tak hanya jujur, tapi juga rajin. Siang malam ia bekerja serabutan demi biaya pengobatan ibunya. Ia membagikan brosur, membersihkan rumput, menjadi juru parkir bahkan membantu pedagang kaki lima. Sosok yang sederhana, tapi punya hati yang tulus.

Dewa terkenal seantero kota sebagai gembel beruntung seperti dalam kisah dongeng. Apalagi Agung Pratama memuji kecerdasan Dewa serta kepribadian Dewa di depan khalayak. Agung Pratama membawa Dewa kemanapun. Keberuntungan Dewa bertambah Ketika agung memutuskan menjodohkan Dewa dengan Anindita, cucu kesayangannya.

Agung melihat sikap Dewa tulus dan baik. Harapan sederhananya adalah agar cucunya belajar kerendahan hati dari Dewa. Namun sejak Agung meninggal, semua berubah. Keluarga Pratama menyingkap wajah asli mereka. Mereka memperlakukan Dewa bak budak.

Para pelayan di rumah mewah itu melihat sendiri kekejaman keluarga Pratama memperlakukan Dewa. Dewa tidak lagi boleh bekerja setelah Agung meninggal. Memotong rumput serta memasak adalah pekerjaan utama Dewa. Celoteh nakal sepupu keluarga Pratama yang lain pada Anindita karena Anindita yang cantik menikahi gembel saat pertemuan keluarga bahkan membuat Dewa harus tidur di gudang belakang.

Keberuntungan Dewa telah habis tampaknya karena kini walaupun statusnya adalah menantu namun kenyataannya ia adalah pelayan dan koki utama keluarga Pratama. Dewa patuh, tidak mau menolak. Ia merasa berhutang kebaikan pada Kakek Agung yang memberinya pendidikan. Semua penghinaan yang kerap ia terima menurutnya mampu ia pikul dengan lapang dada.

Hati Dewa hancur berkeping sedih karena Ibunya hanya tergolek di rumah sakit dan kini kakek Agung pelindungnya selama 5 tahun terakhir dinyatakan meninggal. Di sisinya menghembuskan nafas terakhir. Dewa terluka. Sangat terluka, namun keluarga Pratama malah mengadakan pesta ulang tahun justru ketika keadaan masih belum lama berkabung.

"Ayo, sajikan minumannya sekarang! Buat mereka bahagia karena kecekatan kita bekerja." Dewa memberi semangat pada deretan koki dan pelayan keluarga Pratama.

Mereka semua menurut, kereta dorong untuk menyajikan minuman di dorong Dewa.

"Dewa, apa tidak sebaiknya aku yang membawa keluar." Kepala pelayan meminta pada Dewa.

Dewa menggeleng, "biar aku saja. Aku ingin melihat Anindita di atas panggung bicara di depan tamu." Dewa tenang mendorong kereta dengan pilihan gelas minuman segar untuk di sajikan. Sebelumnya celemek telah ia buka dengan cepat.

Dewa tersenyum ketika pintu dapur terbuka.

"Dia akan hancur setelah ini!" Lagi celoteh keluar dari mulut para pelayan. Beberapa pelayan tampak iba menatap kepergian Dewa.

"Memangnya ada apa?" tanya pelayan-pelayan lainnya penasaran. Beberapa koki juga menyilangkan tangan menghentikan pekerjaan mereka demi mendengar gosip terbaru tentang si menantu gembel.

"Di depan semua tamu undangan Dewa mungkin akan sangat terluka, sebuah rencana dari keluarga untuk Dylan akan membuat semua orang terkejut." Seorang staf koki berbisik dengan bangga. Seakan orang yang paling cerdas sedunia mengetahui fakta terbaru.

Kepala pelayan mengangkat dagunya pada staf koki tadi, "bisa diam nggak sih? Kenapa kau sangat menyebalkan, itu berita menyakitkan tau! Seharusnya diam aja, ga usah pakai disebar."

"Kau juga dengar 'kan kemarin? Aku nggak bohong kok? Dewa akan segera menjadi gembel lagi. Tidak, usah kau menjilat dia lagi!" Staf koki itu membalas kalimat itu tajam.

Kepala pelayan tidak terima ia menarik kerah Staf koki tersebut. Keduanya kini saling mendelik dan cengkeram pakaian.

***

"Selamat untuk putriku Anindita. Kami bangga padamu. Kakek Agung mungkin sedang tersenyum menatap kita di surga. Baiklah mari kita nikmati pesta ini. Sebelum kita mengangkat gelas bersama, Aku ingin memberitahukan kebahagiaan yang Aku rasakan sebagai ayah Anindita. Wijaya, majulah ke sini. Di sisi Anindita"

Suara Hari Pratama dengan pengeras suara membuat ketegangan di ruangan dapur terhenti.

"Ada apa dengan Tuan Wijaya Hartanto?"

"Kenapa Wijaya, dia kan kolega keluarga Pratama, kenapa harus di sisi Anindita?"

Kalimat dan tatapan penasaran terdengar dan terlihat jelas di ruangan pesta. Para tamu bertanya-tanya lewat pandangannya. Juga para pelayan yang terdiam menunggu kalimat berikutnya dari Hari Pratama.

Ruangan sontak bergemuruh. Para tamu berbisik penuh tanda tanya. Tatap heran serta ruangan kini membisu menunggu kalimat Hari Pratama selanjutnya.

Dewa yang berdiri di sudut aula ikut menatap, hatinya berdegup keras. Matanya menatap ke depan panggung. Mulutnya menggumam pelan, "Anindita ..."

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca