Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
GAIRAH PERJAKA VS JANDA

GAIRAH PERJAKA VS JANDA

Author Ap | Bersambung
Jumlah kata
128.3K
Popular
4.1K
Subscribe
586
Novel / GAIRAH PERJAKA VS JANDA
GAIRAH PERJAKA VS JANDA

GAIRAH PERJAKA VS JANDA

Author Ap| Bersambung
Jumlah Kata
128.3K
Popular
4.1K
Subscribe
586
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of life21+UrbanHarem
Harap bijak mencari bacaan! Di buku ini banyak mengandung adegan 21++. Tidak diperuntukkan bagi pembaca dibawah umur! Aku yang seorang mahasiswa semester akhir, tidak pernah menyangka bisa kepincut dengan janda sebelah rumahku. Namanya Tante Siska, janda cerai berusia 30tahun. Bagiamana kisahku, yuk ikuti terus di sini ya!!
Tante Belum Selesai Main

Aku pikir sore itu akan biasa saja. Pulang dari kampus, buka sepatu, rebahan. Tapi semua berubah saat aku membuka pagar rumah dan mendengar suara seseorang dari arah kiri rumah.

"Dion... Tante sendirian, loh..."

Suaranya pelan, tapi nadanya dalam. Menggoda mengalir seperti uap panas dari cangkir kopi yang baru diseduh. Aku menoleh.

Tante Siska.

Tetanggaku, usia sekitar akhir 30-an, janda cerai hidup yang tinggal sendirian. Wajahnya manis, tapi ada sesuatu dari senyumnya yang selalu terasa mengundang.

Hari ini dia pakai daster warna ungu muda, tipis, panjangnya cuma sebatas lutut, dan—sialan—belahannya tinggi sampai ke paha. Kakinya jenjang, dan aku sempat salah fokus melihat kulitnya yang licin seperti habis dioles baby oil.

"A... ada apa, Tante?" tanyaku, sok tenang.

Tante Siska tersenyum. "Bantuin tante benerin galon, dong. Nggak kuat angkatnya."

Aku menelan ludah. Dapur tante hanya dibatasi satu tembok dengan kamarku. Aku sering dengar suara air mengalir malam-malam dan suara lirih yang terlalu lembut untuk disebut mengeluh. Kadang aku pura-pura nggak tahu.

Tapi sekarang aku diseret masuk ke sarangnya sendiri.

Dia jalan duluan, dasternya melambai ringan. Aku ngikutin. Suasana rumahnya sunyi. Cuma suara napasku sendiri yang terasa berat di telinga.

Galon sudah terangkat. Aku pura-pura susah biar lebih lama. Tante Siska berdiri di belakangku, terlalu dekat. Nafasnya menyentuh tengkukku.

“Udah gede ya sekarang, badan kamu keras.” Suaranya seperti bisikan dosa.

Aku mematung. “Tante…” gumamku. "Jangan gitu, dong."

Dia malah tertawa kecil. Lalu tangannya menyentuh bahuku. Hangat, lalu turun pelan ke lengan dan perutku.

“Kenapa? Kamu udah dewasa kan?” tanyanya.

Aku hanya bisa mengangguk. Lidahku kelu. Badanku tegang, bukan karena takut.

“Kalau kamu mau, Tante juga mau.”

Dan kalimat itu menghancurkan semua tembok yang selama ini kupegang.

Tanganku bergerak sendiri. Menyentuh pinggangnya. Daster itu tipis sekali. Dan kulit di baliknya seperti candu.

"Tante..."

"Hm?"

"Aku mau."

Dan dia tertawa pelan, memeluk leherku, membisik pelan—

"Pelan-pelan, Dion. Tante sudah lama sendiri di rumah."

Tanganku masih di pinggangnya. Nafas kami saling bertukar di ruang dapur yang hangat dan pengap. Tapi bukan karena suhu, melainkan karena ketegangan yang menggantung liar di udara.

Tante Siska mundur satu langkah. Matanya menatapku, tajam tapi lembut. Dia tak berkata apa-apa. Hanya mengangkat ujung dasternya perlahan.

Aku menahan napas.

Kain tipis itu tersingkap naik, dimulai dari lutut, lalu paha. Aku memalingkan muka sejenak, tapi kemudian kembali menatap—tak bisa mengelak dari pemandangan yang tersaji.

“Kamu pernah lihat beginian cuma dari HP, ya?” tanyanya dengan suara rendah, senyumnya nakal.

Aku tercekat. Tak bisa mengelak. Ya, aku tahu bentuk itu dari layar kecil, dari malam-malam penuh rasa bersalah yang kuhabiskan dengan tangan sendiri.

Tapi ini nyata, langsung di depanku tanpa sensor.

“Tante…” suaraku pelan, serak. “Ini… nyata?” tanyaku, bodoh sekali.

Tante Siska menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, menyilangkan kakinya perlahan, lalu menarik kursi. Duduk dengan posisi yang terlalu terbuka untuk disebut santai.

“Kalau cuma dilihatin, sayang, tante bisa malu. Berani pegang?”

Tanganku gemetar. Tapi mataku tak bisa berpaling. Pemandangan itu terlalu suci untuk disebut najis, terlalu berdosa untuk disebut anugerah.

“Jangan cuma diliatin, Dion. Tante udah nyuguhin, masa kamu diem aja?”

Tanganku bergerak. Masih ragu, tapi dorongan dari dalam diriku menuntun jari-jariku menyentuh kulit paling lembut yang pernah kurasakan. Hangat, sedikit lembap. Lalu aku mendongak dan dia tersenyum sambil menunduk.

“Gitu sayang… jangan takut. Pelan-pelan aja…”

Suara itu bikin kepalaku kehilangan akal. Dia membuka kakinya lebih lebar, tubuhnya mulai bergerak kecil mengikuti irama tanganku.

"Tante udah lama nggak kayak gini," bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Udah lama nggak ada yang bikin Tante senyaman ini."

Aku tersenyum tipis, tak percaya bahwa aku—seorang bocah tetangga—bisa bikin Tante Siska begini.

Lalu dia menarikku mendekat. Tangannya kini di belakang leherku, menuntunku.

Aku mendekat, napasku panas. Dadaku berdebar. Daster itu turun sedikit, dan pandanganku dipenuhi sesuatu yang biasanya cuma kulihat di layar ponsel.

"Bayangin aja kamu bayi Tante," ucapnya nakal, senyumnya tipis.

Aku kehilangan kendali. Mulutku menempel di sana, menciuminya. Tante Siska mendesah pelan, kepalanya mendongak, jemarinya mencengkeram rambutku.

"Aaaahhh... Dion... yaaa..."

Suara itu bikin aku makin tak bisa berhenti.

Brakk!

Tiba-tiba dia bangkit, menarikku berdiri. Daster itu terlepas begitu saja—tanpa ragu, tanpa malu. Kini dia benar-benar hanya bertemankan kulit di depanku. Dan aku—masih setengah gemetar—terdiam menatapnya.

"Tutup pintu." Suaranya tegas.

Aku menurut. Saat aku berbalik, Tante Siska sudah berdiri menyandarkan tubuh di meja—satu kakinya naik ke atas kursi, terbuka… jelas.

"Dekati."

Aku melangkah. Tanganku ingin menyentuh, tapi dia mendorong dadaku.

"Bukan kamu yang atur. Tante yang mainin sekarang."

Tangannya menuntunku, lalu perlahan membawa kami ke batas yang tak pernah kubayangkan akan kulewati.

Dan sore itu, di dapur yang pengap, aku mendengar suara meja berderit, piring berjatuhan, dan napas yang berpacu.

"Tante gila! Kita berdosa!" kataku di sela napas terengah.

Tapi dia malah tertawa, menggenggam wajahku.

"Dosa itu enak, sayang... apalagi kalau sama Tante!"

Tubuhnya masih gemetar ketika aku peluk dari belakang. Napasnya tersengal, pipinya merah, rambutnya berantakan seperti habis diguncang badai.

Tapi sorot matanya masih menyala, seakan belum selesai. Masih lapar.

"Bawa Tante ke kamar sekarang," katanya pelan tapi tegas—perintah yang membuatku tak punya pilihan lain.

Tanpa banyak kata, tanganku melingkari ping Gangnya. Bi Birku menyentuh tengkuknya, mengecap cepat, lalu mengiringinya menuju kamar. Jemari kananku sempat mengusap pung Gung dan lekuk tubuhnya—bagian yang selama ini hanya bisa kulihat dari balik daster tipis di pagi hari.

Begitu masuk kamar, dia langsung mendorongku ke ranjang.

Bruk!

"Sekarang duduk." Nafasnya masih berat. "Tante mau kasih kamu sesuatu yang nggak akan kamu lupakan."

Dia naik ke ranjang, tubuhnya bergerak pelan seperti seekor kucing yang siap menerkam. Rambutnya jatuh di bahu, kulitnya lembap, dan cara dia memandangku membuat udara kamar terasa makin panas.

“Dulu kamu cuma bisa lihat di layar, kan?” Dia menoleh, senyumnya nakal. “Sekarang kamu bisa rasain.”

Aku menunduk mendekat, menci Um aroma tubuhnya yang pekat dan membuat kepala terasa ringan. Tanganku bergerak merengkuhnya, membiarkan jemari menyusuri lekuknya.

Tante Siska mende Sah panjang. Tangannya mencengkeram seprai. "Gitu, sayang… jangan berhenti… pelan-pelan aja."

Suara napasnya bercampur dengan suara gesekan kain dan der It ranjang. Tubuhnya bergerak pelan mengikuti irama, matanya memejam seperti menahan gelombang rasa yang datang bertubi-tubi.

Dan ketika aku mendongak, dia menatapku tajam.

“Sekarang gantian. Rebahan.”

Aku menurut. Dia langsung naik ke atasku, menin Dih, lalu menuntun tubuhku dengan gerakan penuh percaya diri. Perlahan, lalu dengan hentakan yang membuatku menggertakkan gigi.

“Aaahhh…” suaranya pecah. Dia mulai bergerak. Lambat di awal, lalu cepat, makin cepat. Dua tangannya bertumpu di dadaku, ping Gulnya bekerja tanpa jeda.

“Kamu punya Tante sekarang. Badan kamu cuma buat Tante.”

Kepalaku sempat menghantam sandaran ranjang, tapi rasa sakit itu kalah oleh gelombang panas yang mengalir di seluruh tubuh. Tante Siska menunduk, menci Um bi Birku dalam-dalam, lalu mengusap pipiku dengan punggung tangannya.

“Lihat, Tante udah nggak bisa nahan…” suaranya serak, wajahnya merah.

Tanganku refleks memegangi pinggangnya. Kali ini aku ikut bergerak, menyambut ritme yang ia ciptakan. Suara napas kami saling bertabrakan. Ruangan dipenuhi suara ranjang berder It.

"Tante minta ampun… Dion… jangan berhenti…"

Aku tak berhenti. Aku justru makin menggila, menuntun tubuhnya agar tak lepas dari milikku.

Hingga akhirnya dia melengkung, menggigit bahuku sambil terisak, dan aku merasakan tubuhku ikut terseret dalam pusaran rasa yang sama.

Kami terdiam, napas sama-sama tak beraturan. Tubuhnya jatuh lemas di atas dadaku. Tapi dari bi Birnya, senyum itu kembali muncul.

Dan ketika aku kira semuanya selesai, Tante Siska justru berguling, menarik tanganku.

“Belum, Dion. Lihat…” bisiknya.

Aku menunduk. Tubuhnya masih bergetar, kulitnya basah, dan sorot matanya berkata bahwa permainan ini belum selesai.

Kali ini aku yang memimpin. Aku mengangkat kakinya ke pundakku, membiarkan tubuhnya terbuka. Perlahan aku bergerak, menahan napas, lalu menghantam dengan satu tarikan napas panjang.

Tante Siska memejamkan mata, bi Birnya menggigit seprai. Tubuhnya tersentak setiap kali aku menghantam.

“Lebih dalam…” suaranya hampir tak terdengar. “Jangan berhenti…”

Ranjang berder It. Nafas kami saling berburu. Aroma tubuh kami bercampur dengan bau keringat yang membuat kamar terasa seperti neraka kecil.

Aku menarik tubuhnya duduk di pangkuanku. Kini kami saling menatap. Gerakannya pelan di awal, lalu menggila. Tanganku meraih bahunya, memeluk erat.

“Dion… ya Tuhan…” suaranya patah-patah, tapi senyumnya tetap ada di bi Birnya.

Peluh menetes dari pelipisnya, jatuh ke dadaku. Dan ketika gelombang terakhir datang, dia berpegangan erat di bahuku, menahan teriakan.

Napasnya masih berat ketika dia bangkit, menatapku dengan mata yang berkilat.

“Ayo ke kamar mandi,” katanya pelan. “Tante masih belum puas.”

Kami berjalan tanpa bicara. Air shower langsung dinyalakan. Tubuh Tante Siska basah, rambutnya menempel di kulitnya, dan air yang mengalir menegaskan setiap lekuk tubuhnya.

“Cuci Tante,” bisiknya, suara setengah bergetar. “Mulai dari yang paling na Kal.”

Aku menuruti. Berlutut, tanganku menyentuh kulitnya yang licin oleh air, jemariku menyapu perlahan. Tante Siska bersandar ke dinding, kepalanya menengadah, napasnya tercekat.

“Pelan-pelan… ya…”

Suara air bercampur dengan era Ngan pelan yang terdengar semakin sering. Tubuhnya gemetar setiap kali aku menggoda titik paling sensitifnya.

“Dion…” suaranya parau. “Tante mau kamu bikin Tante lupa caranya berdiri.”

Aku mengikuti ritme tubuhnya, membiarkannya mencapai puncaknya sendiri. Dia hampir roboh, tangannya mencengkeram pundakku kuat.

Dan ketika tubuhnya akhirnya mereda, ia menatapku dengan senyum puas.

“Sekarang gantian kamu,” katanya. “Biar Tante yang bikin kamu le Mas.”

Dia mendekat perlahan, merangkak di lantai basah seperti seekor singa betina yang sedang mengincar mangsanya. Rambut basahnya menempel di pipi, matanya berkilat.

“Tante belum selesai main…”

_BERSAMBUNG_

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca