Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kalung keberuntungan

Kalung keberuntungan

T. L. Handayani | Bersambung
Jumlah kata
40.4K
Popular
1.2K
Subscribe
213
Novel / Kalung keberuntungan
Kalung keberuntungan

Kalung keberuntungan

T. L. Handayani| Bersambung
Jumlah Kata
40.4K
Popular
1.2K
Subscribe
213
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalMiliarderAnak Yatim PiatuKekuatan Super
Hidup Gery perlahan berubah, setelah dia menemukan sebuah kalung di dekat makam kedua orang tuanya. Sejak saat itu, keberuntungan sering mendatangi dirinya, meski banyak yang berusaha menjatuhkan serta mencalakai dirinya. Bukan hanya beruntung dalam hal rejeki, tetapi juga dalam hal jodoh dan juga kemampuan luar biasa lainnya yang tiba tiba menghampirinya. Namun, terlepas dari semua keistimewaan yang dimiliki Kalung tersebut, Gery tetap berkeyakinan jika semua terjadi atas Kehendak Tuhan dan kalung tersebut hanya sebagai perantara.
Episode 1

Suara deru mobil terdengar di halaman rumah pasangan suami istri yang bernama Suyat dan Lasmini. Di sebuah desa yang dihuni oleh warga dengan ekonomi kelas menengah bawah, tentu kedatangan mobil tersebut telah mengundang perhatian para warga yang melihatnya.

“Pak, lihat! Itu Gery! Ya, Ibu nggak salah lihat. Itu Gery keponakan kita! Ternyata benar berita yang Ibu dengar, Gery memang sudah menjadi orang yang sukses!” seru Lasmini dengan begitu gembira saat melihat kedatangan Gery. Seorang anak yatim piatu, yang kini diakui sebagai keponakan oleh Bibinya ketika dirinya sudah sukses. Lasmini sangat senang, karena dia berpikir dengan perubahan nasib keponakan yang dulu pernah diasuhnya itu, akan membawa perubahan pada nasibnya juga.

Suyat pun berdiri lalu berjalan ke arah pintu untuk memastikan apakah benar apa yang diucapkan oleh istirnya? Dan ternyata tidak salah. Pemilik mobil yang berhenti di depan rumahnya adalah Gery, keponakan yang dulu pernah dia asuh, sejak adik laki lakinya meninggal. Yakni ayah Gery.

“Benar Bu. Itu Gery. Ayo kita sambut dia,”

“Iya Pak. Ayo kita sambut keponakan kita!”

Dengan penuh kegembiraan keduanya berjalan menghampiri Gery. Dan ketika ketiganya sudah saling bertatap muka, Lasmini lekas menyapanya dengan tutur kata yang ramah dan penuh senyum.

“Nak Gery, Bibi hampir saja pangling melihat kamu. Ternyata benar apa yang diucapkan oleh orang orang, sekarang kamu sudah sukses Nak. Selamat ya. Kamu memang keponakan yang berbakti. Meski sudah sukses, tapi kamu tidak lupa pada paman dan bibimu ini,”

“Selamat datang Gery. Lama sekali kita tidak bertemu. Ayo kita masuk. Kita bicara di dalam dengan nyaman,” imbuh Suyati sembari mempersilahkan Gery untuk masuk ke rumahnya. Keduanya sangat ramah sekali. Bahkan sudah seperti kedatangan tamu pejabat yang disanjung dan dihormati. Namun, kalimat yang diucapkan oleh Gery, sungguh di luar ekspektasi mereka.

“Tidak perlu. Aku di sini saja. Tidak usah banyak basa basi, aku datang ke sini hanya untuk membayar hutangku pada kalian!” seru Gery sembari menyerahkan sebuah amplop coklat berukuran besar yang berisikan uang senilai seratus juta.

Lasmini dan Suyati saling beradu pandang karena merasa bingung. Apalagi saat melihat isi amplop tersebut.

“Ba…bayar hutang? Maksudnya apa Gery?” tanya Suyat.

“Tidak usah pura pura lupa. Dulu kalian sering mengungkit apa yang sudah kalian berikan padaku. Menganggapku beban hidup. Dan sekarang, aku bayar semua itu!” jawab Gery dengan tegas.

“Ya ampun Nak Gery, kenapa masih diingat ingat juga hal sepele macam itu. Kamu kan keponakan kami, mana mungkin kami mengungkit ngungkit, apalagi menganggap itu sebagai hutang?” sahut Lasmini dengan mulut manisnya.

“Keponakan? Sekarang kamu bisa bilang aku keponakan karena aku sudah sukses? Sementara dulu, dimana kamu saat aku masih tinggal di sini? Bahkan kalian mengusirku dan tidak pernah peduli nasibku di luar sana. Dan sekarang setelah aku sukses, mudah sekali kalian menganggap aku sebagai keponakan yang berbakti?”

Pahit dan pedas kata kata yang dilontarkan oleh Gery. Tetapi semua itu adalah fakta yang terjadi delapan tahun yang lalu di rumah Lasmini, saat Gery masih tinggal di sana. Setiap kejadian demi kejadian tidak pernah Gery lupakan.

—--------

Delapan tahun silam, di rumah Lasmini saat Gery lulus sekolah SMP.

"Apa? Kamu mau lanjut sekolah SMA? Gery, Gery. Kamu ini anak tidak tau diri ya. Kamu tau kan, semenjak orang tua kamu meninggal, kita yang udah rawat kamu sejak kecil. Dan kamu juga tau kalau paman kamu itu bukan orang kaya. Masih bisa nyekolahin kamu sampai SMP saja sudah bagus. Kok bisa bisanya kamu pengen lanjut sekolah SMA? Anak anak bibi aja sekolahnya sampai SMP semua. Dan lihat, mereka semua sudah kerja, udah pintar cari duit. Sementara kamu, yang cuma keponakan kok minta sekolah lagi? Biaya sekolah itu mahal? Harusnya kamu mikir cepat cari kerja biar dapat duit!" caci Lasmini, bibi Gery yang sudah mengasuh Gery sejak Gery menjadi yatim piatu.

"Bibi kamu benar. Dua anak paman aja nggak ada yang sekolah SMA, buktinya mereka juga bisa kerja dan cari duit. Jadi, buat apa kamu pengen sekolah SMA? Itu cuma buang buang duit. Dan yang pantas sekolah sampai SMA itu anak orang orang kaya yang banyak duit," imbuh Suyat, suami Lasmini. Dia juga ikut menyudutkan Gery, yang berniat ingin melanjutkan sekolah SMA.

"Tapi Paman," ucap Gery berusaha mengutarakan pendapat. Akan tetapi, dia tidak mendapat kesempatan untuk berpendapat.

"Udah nggak ada tapi tapian! Kalau kamu ngeyel, mending kamu pergi aja dari rumah ini! Kamu cari duit sendiri buat sekolah dan jangan merepotkan kami! Kami nggak mampu membiayai sekolah kamu!" tegas Lasmini kepada Gery. Keputusan perempuan itu sulit ditawar, meski oleh suaminya sendiri.

Selama tinggal bersama dengan paman dan bibinya, Gery selalu mendapat tekanan. Selain karena dia bukan anak kandung mereka, hal lain yang semakin membuat Gery tertekan adalah masalah ekonomi. Bahkan seringkali Gery tidak mendapat jatah makan, karena nasi habis. Jika sudah begitu, Lasmini akan mengatakan jika jatah makan Gery susah dipakai untuk biaya sekolah SMP. Padahal selama ini sekolah Gery gratis karena mendapat bantuan khusus untuk murid Yatim Piatu.

Gery merasa sangat terpukul dengan ucapan itu. Tetapi dia laki laki, pantang bagi dia untuk menangis meski hatinya sakit dan kecewa. Sore itu, dia memilih keluar dari rumah dengan jalan kaki, menuju ke tempat favoritnya. Bukan ke sebuah taman, kafe, atau bukit. Melainkan duduk di antara dua nisan orang tuanya.

"Pak, Bu, apa salah jika Gery ingin melanjutkan sekolah SMA? Gery masih ingin belajar, karena Gery ingin mewujudkan cita cita. Andai Bapak dan Ibu masih ada, pasti kalian sangat mendukung keputusanku. Tapi, Paman dan Bibi melarang aku sekolah karena katanya buang buang uang. Aku disuruh langsung kerja seperti Kak Reno dan Kak Niko. Mereka lulus SMP langsung kerja jadi buruh panggul di pasar. Bukannya Gery menghina pekerjaan mereka, tetapi Gery puny cita cita lebih dari itu Pak, Bu. Makanya Gery ingin lanjut sekolah. Apa yang harus Gery lakukan? Darimana Gery bisa mendapat uang sendiri untuk biaya sekolah?" ucap Gery di dalam hati sambil mematung memandangi nisan bertuliskan nama orang tuanya. Bibirnya terbungkam, lidahnya kaku, tetapi hati dan pikirannya bergejolak.

Sempat terpikir olehnya untuk bekerja sambil sekolah, dengan menjadi kuli panggul di pasar, tetapi bagaimana dia bisa mengatur waktu? Sementara pasar buka, ketika waktu sekolah berjalan. Dan saat waktu sekolah selesai, pasar pun sudah tutup. Apalagi, di daerah tempat tinggalnya, hanya itu satu satunya pekerjaan yang mudah didapat tanpa ijazah dan pengalaman kerja.

"Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa sekolah? Dan tidak membebani siapa siapa?" tanya Gery dalam hati sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata. Tanpa sadar, Gery ketiduran di sisi makam orang tuanya. Dan saat dia terbangun, dia menemukan satu benda yang ada di dekatnya.

"Apa ini? Kenapa ada di sini? Dan ini punya siapa? Perasaan tadi tidak ada kalung ini di sini?" tanya Gery sembari memegang serta memandang sebuah kalung yang baru saja dia temukan di dekat makam kedua orang tuanya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca