

Rumah Sakit Umum Pertama, Kota Sindanglaya.
Seorang anak laki-laki keluar dari pintu depan rumah sakit.
Usianya sekitar tujuh belas tahun, hampir delapan belas. Tubuhnya tinggi tapi kurus, wajahnya lembut. Namun, rambutnya berantakan, kemejanya kusut, dan celana jinsnya sudah pudar membuatnya terlihat kuno dan miskin.
Sepatunya juga sudah rusak, bahkan salah satunya sudah robek di bagian tumit.
Ia berdiri di depan pintu rumah sakit, menarik napas dalam-dalam. Kepalanya sedikit pusing saat menatap sinar matahari yang terang.
Sudah setengah bulan ia dirawat di rumah sakit itu.
Setengah bulan yang terasa seperti seumur hidup.
Nama anak itu Indra Mahendra, warga Desa Rancawuluh di Kota Sindanglaya. Setengah bulan lalu, ia menolong orang asing yang diserang di jalan. Sayangnya, Indra justru dipukuli habis-habisan dan sampai ditikam oleh para penyerang. Ia pun dilarikan ke rumah sakit.
Yang paling menyedihkan, orang asing yang ia tolong menghilang tanpa jejak. Para pelaku juga tidak tertangkap, sehingga tidak ada saksi yang bisa membuktikan kalau Indra benar-benar menolong orang.
Kasusnya tidak selesai, dan ia harus membayar biaya rumah sakit yang sangat mahal.
Indra bukan orang kaya. Ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ayahnya meninggal tujuh tahun lalu karena sakit dan tidak meninggalkan apa-apa. Tahun lalu Indra putus sekolah dan bekerja serabutan di desa. Tabungannya sekitar sepuluh juta rupiah habis untuk biaya rumah sakit.
Hal itu membuat Indra sangat kecewa.
Namun, di balik musibah itu, ada kejadian aneh yang ia alami. Ketika ia tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, liontin yang selalu ia pakai tiba-tiba terasa hangat, lalu banyak informasi aneh masuk ke dalam kepalanya.
Liontin itu ia temukan di tanah secara tidak sengaja beberapa tahun lalu, dan sejak itu ia selalu memakainya.
Setelah sadar, ia mulai memahami informasi itu dan ternyata isinya adalah ilmu kultivasi kuno, serta pengetahuan lain yang sudah lama hilang.
Seperti kebanyakan orang, Indra awalnya percaya pada hal-hal yang masuk akal saja. Ia tidak percaya pada hal supernatural. Tapi setelah kejadian itu, pandangannya berubah total.
Ia yakin, dengan ilmu baru itu, hidupnya bisa berubah dan masa depannya bisa menjadi lebih baik.
Saat menatap sinar matahari, hatinya dipenuhi tekad baru.
Namun beberapa detik kemudian, tubuhnya kembali mengingatkan realita, perutnya berbunyi keras.
Ia mengusap perutnya. “Aduh, lapar banget… harus cari makan nih.”
Ia merogoh saku, dan hanya menemukan uang sepuluh ribu rupiah dan tiga keping uang seribuan.
“Hah? Cuma segini?” desahnya.
“Mungkin… aku bisa nahan lapar…” gumamnya lesu.
Uang di kartu ATM-nya hanya tinggal beberapa ratus ribu, dan itu tidak akan bertahan lama. Kalau situasinya tidak berubah, ia bisa kehabisan uang.
Sambil memegang uang sepuluh ribu itu, ia akhirnya menyerah pada rasa laparnya. Ia berjalan ke warung roti bakar terdekat.
“Bang, satu roti bakarnya ya?” pintanya.
“Siap!” jawab si penjual, seorang pria paruh baya. Ia membungkus roti itu dan menyerahkannya. “Tiga ribu.”
“Tiga ribu? Bukannya dulu dua lima ratus?” sahut Indra kaget.
“Heh! Harga naik!” keluh si penjual.
Indra hanya bisa mendesah dan menyerahkan tiga keping seribuan itu. Ia memandangi roti di tangannya. “Harga sembako naik lagi… gimana aku bisa hidup begini?”
“Aku harus mulai cari uang lagi…” gumamnya.
Sebelum masuk rumah sakit, ia bekerja sebagai pengantar barang. Ia tidak tahu apakah pekerjaannya sudah diambil orang lain selama ia tidak bekerja.
Selesai makan roti itu, ia mengambil ponselnya dan menelepon Rusdi, bosnya.
“Halo, ini Rusdi! Kamu gimana? Udah keluar dari rumah sakit?” suara besar Rusdi terdengar.
“Udah, Pak.”
“Wah bagus! Tempat kerjamu masih ada, santai aja. Kamu baru keluar dari rumah sakit, istirahat dulu saja beberapa hari!”
Ucapan itu membuat hati Indra hangat.
Rusdi memang orang baik dan selalu memperlakukannya seperti anak sendiri.
“Aku nggak apa-apa kok. Besok aku kerja lagi ya, Pak!” ucap Indra.
“Kalau kamu yakin, ya sudah. Sampai besok!” sahut Rusdi.
Setelah berbincang sebentar, Indra menutup telepon.
Ia naik bus lalu turun di jalan menuju Desa Rancawuluh. Butuh sepuluh menit berjalan kaki untuk sampai di rumahnya.
“Indra! Kamu pulang!” sapa seorang tetangga.
Indra membalas senyum dan melambai.
Rumah-rumah di desa itu rata-rata dibangun sendiri oleh warganya. Rumah Indra adalah bangunan kecil dua lantai dengan dinding yang mulai rusak.
Saat ia sampai di depan pintu, seorang pria paruh baya dari rumah sebelah keluar sambil membawa semangkuk nasi. “Indra! Sudah pulang!”
Indra tersenyum dan membalas sapaannya.
Namun tak lama kemudian suara melengking terdengar dari dalam rumah itu.
“Astaga, Indra! Akhirnya pulang juga! Dirawat setengah bulan pasti mahal banget! Sudah kubilang, jangan berkelahi terus!Memalukan!”
Seorang wanita paruh baya bertubuh besar keluar sambil berkacak pinggang. Tatapannya merendahkan.
“Aku tahu kamu memang begitu! Tidak seperti anakku, Danta, dia pintar, penurut, dan sebentar lagi masuk universitas! Kamu? Hidupmu paling ya gitu-gitu aja!”
Suaranya keras dan menusuk telinga. Orang-orang desa sampai menoleh.
Indra merasa dadanya panas menahan marah.
Wanita itu adalah bibinya. Ia memang selalu memperlakukannya seperti sampah.
“Aku bukan berkelahi. Aku menolong orang,” jelas Indra menahan emosi.
“Ha! Kamu? Menolong orang? Jangan ngarang! Kalau benar menolong orang, mana hadiahnya? Mana buktinya?” ejek bibinya.
Tangan Indra mengepal.
Bibinya terus menghina, “Kamu ketahuan berkelahi di sekolah dan dikeluarkan! Malu aku punya saudara kayak kamu! Tidak seperti Danta, calon pejabat masa depan!”
Indra menarik napas panjang, menatap bibinya sebentar, lalu masuk ke rumah tanpa berkata-kata.
“Lihat tuh! Berani-beraninya melotot ke orang tua!” teriak bibinya dari luar.
Indra tidak menghiraukan. Ia menyiapkan makanan sederhana, makan, lalu naik ke lantai atas.
Langit mulai gelap. Ia berbaring di tempat tidur, menatap bintang-bintang.
Banyak hal berputar di kepalanya tentang hidupnya sekarang dan masa depannya.
Tak lama kemudian, ia pun tertidur.
Indra bangun pagi-pagi sekali dan berangkat ke kota.
“Hai, Indra! Kamu sudah sehat?” kata Rusdi menyambutnya dengan semangat saat melihatnya datang.
Nama lengkap Rusdi adalah Rusdi Pratama. Umurnya sudah lewat lima puluh. Wajahnya kotak, memakai kacamata, dan terlihat seperti mantan guru. Memang dulu ia guru, tapi setelah bisnis pengiriman barang berkembang, ia berhenti mengajar dan membuka usaha pengiriman sendiri.
“Aku sehat banget, Pak! Terima kasih,” jawab Indra sambil menepuk dadanya.
“Bagus! Kamu memang tangguh,” kata Rusdi sambil menunjuk tumpukan paket di sampingnya. “Area Griya Harmoni juga masih kamu yang pegang.”
Indra menghitung pelan. Ada sekitar enam puluh paket besar kecil.
“Siap,” kata indra.
Ia lalu mengangkat paket-paket itu dan meletakkannya di sepeda motor listrik roda tiganya.
Setelah semua tertata rapi, ia pun berangkat.
Saat itu jam sibuk. Jalanan penuh kendaraan, klakson bersahut-sahutan. Namun sepeda motor roda tiga Indra lincah menyelip di antara mobil-mobil.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ia sampai di dekat kawasan perumahan Griya Harmoni area perumahan mewah tempat tinggal orang-orang kaya.
Indra turun, memeriksa paket-paket itu satu per satu.
“Ini… hotpot instan? Ini… jajanan.” Ia bisa menebak isi paket hanya dengan melihatnya.
“Yang ini… mainan kamar tidur?” ia terkikik kecil.
Indra sudah terbiasa mengantar barang-barang aneh. Baginya bukan hal baru.
Saat matanya bergerak ke sudut keranjang motor, ia menemukan satu paket tertentu.
“Griya Harmoni, Rumah Nomor 9… ini Kak Nayla ya?”
Ia langsung mengenali alamat itu.
Nayla Putri Wijaya adalah pengusaha sukses di kawasan itu dan memiliki usaha fashion. Dia terkenal suka belanja online hampir tiap dua hari ada paket baru. Karena sering bertemu, mereka jadi cukup akrab.