Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
PEWARIS BATU KALI

PEWARIS BATU KALI

Cacing Naga | Bersambung
Jumlah kata
59.6K
Popular
700
Subscribe
121
Novel / PEWARIS BATU KALI
PEWARIS BATU KALI

PEWARIS BATU KALI

Cacing Naga| Bersambung
Jumlah Kata
59.6K
Popular
700
Subscribe
121
Sinopsis
18+PerkotaanSupernaturalMiliarderPewarisHarem
Seorang kuli panggul miskin bernama Jaka yang nyaris tewas dibunuh mandornya, secara tidak sengaja membangkitkan dan menyatu dengan jiwa Naga Purba yang terkurung dalam sebuah batu kali hitam. Dengan kekuatan fisik yang tak masuk akal dan mata yang bisa melihat segalanya, Jaka bangkit dari penindasan untuk melindungi adiknya, sambil berjuang mengendalikan ego sang Naga yang arogan di dalam kepalanya.
BAB 1: Darah Hina di Sungai Progo

"Heh, Gembel! Jalan tuh pakai kaki, bukan pakai doa!"

Sebuah bentakan keras memecah konsentrasi Jaka. Mandor Darto, pria bertubuh tambun dengan kumis melintang yang menjijikkan, berdiri di atas tanggul sungai. Tangannya memegang tongkat rotan, sementara mulutnya tak henti mengepulkan asap rokok klembak menyan.

"I-iya, Pak... maaf," sahut Jaka lirih. Napasnya memburu, uap putih keluar dari mulutnya setiap kali ia menghela napas.

"Maaf, maaf! Minta maaf mulu lu kayak lebaran!" Darto meludah ke arah sungai, nyaris mengenai kaki Jaka. "Lu itu sama kayak Bapak lu yang mampus ketimbun longsor itu ya. Sama-sama lelet! Sama-sama nggak guna! Cuma menuh-menuhin bumi!"

Jaka menghentikan langkahnya sejenak. Hatinya mencelos. Bapaknya meninggal dua tahun lalu saat bekerja di proyek yang sama, demi menyekolahkan Jaka dan Rini. Menghina orang mati adalah hal yang pantang, tapi bagi Darto, orang miskin tidak punya harga diri, hidup ataupun mati.

"Jangan bawa-bawa Bapak saya, Pak," ucap Jaka pelan, namun ada getaran tajam dalam suaranya.

"Apa?! Lu berani nyahut?" Darto turun dari tanggul, diikuti dua orang centeng berwajah garang yang selalu mengekorinya. "Lu mau gaji lu gue potong lagi hah? Kemarin udah gue potong buat uang keamanan, sekarang mau gue potong buat uang 'kurang ajar'?"

"Pak, tolong..." Jaka menurunkan keranjangnya, menatap Darto dengan tatapan memohon. "Adik saya, Rini, demamnya makin tinggi tadi pagi. Saya butuh uang penuh hari ini buat beli antibiotik. Utang saya di warung belum lunas, Pak. Kalau dipotong lagi, adik saya bisa..."

"Bisa apa? Mati?" Darto memotong dengan tawa mengejek yang menggema di lembah sungai. "Ya bagus dong! Kalau mati kan beban lu berkurang satu. Lu nggak usah capek-capek kerja, adik lu nggak usah ngerasain laper lagi. Itung-itung seleksi alam, Jun. Orang miskin dilarang sakit!"

Darah Jaka mendesir naik ke ubun-ubun. Rasa sabar yang selama ini ia pupuk seluas samudra, mendadak kering kerontang. Wajah pucat Rini yang menggigil tadi pagi terbayang di pelupuk matanya.

"Tarik ucapan Bapak..." Jaka mengepalkan tangannya yang penuh kapalan.

"Hah?" Darto mendekatkan telinganya dengan gaya mengejek. "Ngomong apa lu, Tikus Got?"

"SAYA BILANG TARIK UCAPAN BANGSAT ITU!"

Jaka meledak. Tanpa mempedulikan tubuhnya yang kalah besar, ia menerjang maju. Tangan kurusnya melayang, berusaha meninju wajah berminyak Mandor Darto.

Namun, Jaka lupa. Tekad saja tidak cukup untuk melawan kekuasaan.

BUGH!

Belum sempat kepalan tangan Jaka menyentuh pipi Darto, sebuah tendangan keras dari salah satu centeng menghantam perutnya.

"Ugh!" Mata Jaka melotot, napasnya tercekat. Rasa sakit yang luar biasa menjalar dari ulu hatinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh berguling-guling di atas hamparan batu sungai yang tajam.

"Berani ngelawan dia, Bos!" seru centeng bernama Suro itu sambil menyeringai.

"Habisi," perintah Darto dingin. "Biar dia nyusul bapaknya sekalian. Gue udah muak lihat muka melasnya."

Suro dan satu temannya maju. Jaka mencoba bangkit, tangannya meraba-raba mencari pegangan, namun sebuah injakan keras mendarat di punggung tangannya.

"Arghhh!"

"Mau mukul Bos Darto pakai tangan ini, heh?" Suro menekan tumit sepatu botnya, menggerus jari-jari Jaka ke atas batu kerikil. Kulit jari Jaka terkelupas, darah segar mulai merembes.

Jaka mengerang, tapi ia tak menyerah. Dengan sisa tenaga, ia mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke wajah Suro.

"Bajingan!" Suro memekik kelilipan.

Jaka memanfaatkan kesempatan itu. Ia bangkit setengah berdiri, lalu menabrakkan kepalanya ke perut centeng yang satunya. Sebuah perlawanan putus asa dari seekor semut yang dikepung gajah.

Tapi perlawanan itu sia-sia.

BRAK!

Sebuah balok kayu sisa proyek menghantam punggung Jaka. Darto sendiri yang memukulnya dari belakang. Jaka ambruk seketika, wajahnya menghantam permukaan air sungai.

"Seret dia ke bagian yang dalam," perintah Darto sambil membuang balok kayu itu. "Celupin kepalanya biar sadar."

Rambut Jaka dijambak kasar. Kepalanya dibenamkan paksa ke dalam aliran sungai.

Blub... blub...

Air keruh dan lumpur masuk ke hidung dan mulut Jaka. Paru-parunya terasa terbakar. Ia meronta, kakinya menendang-nendang panik, tapi cengkeraman di lehernya terlalu kuat. Bayangan Rini yang tersenyum padanya, bayangan Bapak yang mengajarinya mengaji, semuanya berputar-putar di kepalanya yang mulai kehilangan oksigen.

"Angkat!"

Kepala Jaka ditarik keluar. Ia terbatuk-batuk hebat, memuntahkan air bercampur darah.

"Gimana? Enak minum air kali?" ejek Darto sambil menendang rusuk Jaka.

KRAK!

Suara tulang retak terdengar mengerikan. Jaka menjerit tertahan. Ia meringkuk seperti udang, menahan sakit yang tak terperi di dada kanannya.

"Udah, tinggalin aja di sini," Darto meludah tepat di wajah Jaka yang babak belur. "Kalau besok lu masih hidup, jangan harap bisa kerja di sini lagi. Dan soal gaji lu? Anggap aja hangus buat ganti rugi waktu gue yang kebuang ngurusin sampah kayak lu."

Darto dan para centengnya pergi sambil tertawa-tawa, meninggalkan Jaka yang terkapar sendirian di pinggir sungai yang sunyi.

Hening.

Hanya suara gemericik air yang menemani Jaka. Tubuhnya separuh terendam air. Wajahnya menempel pada dasar sungai. Rasa sakit di sekujur tubuhnya perlahan berubah menjadi kebas yang dingin.

"Rin... maafin Mas..." batinnya lirih. Air mata bercampur darah mengalir dari sudut matanya, menetes jatuh ke bebatuan di bawah wajahnya.

Tetes...

Tetes...

Darah segar dari pelipis Jaka yang robek itu tidak larut terbawa arus. Anehnya, darah itu justru jatuh tepat di atas sebuah batu seukuran kepalan tangan bayi. Batu itu berbeda dari yang lain. Warnanya hitam legam—hitam pekat yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya. Batu Wulung.

Darah Jaka menetes ke permukaan batu itu, merembes masuk ke dalam pori-porinya seolah batu itu adalah spons yang kehausan.

Seketika, hawa panas menjalari pipi Jaka yang menempel pada batu itu.

"BEDEBAH! Siapa yang berani membangunkan aku dengan darah sehina ini?!"

Suara itu meledak di dalam kepala Jaka. Begitu keras, begitu dekat, seolah ada seseorang yang berteriak menggunakan pengeras suara tepat di dalam otaknya. Suara itu berat, purba, dan penuh dengan kesombongan yang tak terukur.

Jaka tersentak lemah. Matanya berkedip-kedip. Apa itu tadi?

"Jawab aku, Manusia Lemah! Kau pikir darah kotormu pantas menyentuh kulitku?!"

Suara itu kembali membentak. Kali ini disertai rasa pusing yang luar biasa, seolah otak Jaka sedang diperas.

"Si... siapa..." gumam Jaka parau. Ia yakin ia sudah gila. Pukulan balok kayu tadi pasti membuat gegar otak. Atau mungkin, ini suara malaikat maut yang datang dengan cara kasar?

"Malaikat maut katamu?! Hah! Malaikat pun akan berpikir dua kali sebelum bicara padaku! Aku Naga Baruna! Penguasa kedalaman yang agung!"

Batu hitam di bawah pipi Jaka tiba-tiba bergetar. Bukan getaran fisik yang menggoncang tanah, tapi getaran energi yang membuat bulu kuduk berdiri. Batu itu seolah "mencair", berubah menjadi gumpalan cairan hitam pekat yang bergerak hidup.

Sebelum Jaka sempat bereaksi, cairan hitam itu melesat. Bukan menjauh, tapi menerjang masuk ke dalam telapak tangan Jaka yang terluka parah bekas diinjak sepatu bot.

"ARGHHH!"

Jaka menjerit serak. Rasanya seperti ada ribuan semut api yang masuk merayap di bawah kulitnya, bergerak cepat menuju jantungnya. Panas. Perih. Menyiksa.

"Tubuhmu rapuh sekali! Seperti kerupuk basah! Cih, sialan benar nasibku harus terjebak di wadah rongsokan seperti ini!" Suara itu terus mengomel di kepalanya, terdengar kesal dan marah. "Tahan sedikit, Cengeng! Kalau kau mati sekarang, aku harus menunggu seribu tahun lagi!"

Tubuh Jaka kejang-kejang hebat di pinggir sungai. Urat-urat di leher dan lengannya menonjol, berwarna hitam sesaat sebelum kembali normal. Asap tipis mengepul dari pori-pori kulitnya yang basah.

Lalu, hening.

Rasa sakit itu hilang secepat datangnya.

Jaka terengah-engah. Matanya menatap langit yang mulai terang. Tubuhnya basah kuyup, penuh lumpur dan darah.

"Suara apa tadi..." bisiknya, memegangi kepalanya yang berdenyut. "Naga? Ah... pasti aku sudah gila..."

Ia mencoba duduk. Aneh. Rasa sakit di rusuknya yang tadi retak masih ada, tapi tidak sesakit sebelumnya. Kepalanya yang pusing perlahan mulai jernih. Jaka meraba dadanya, memastikan jantungnya masih berdetak.

"Aku... masih hidup."

Ingatan tentang Rini kembali menghantamnya. Obat. Dia butuh obat. Dia tidak boleh mati di sini. Kalau dia mati, siapa yang mengurus Rini? Siapa yang melunasi utang Bapak?

"Bangun, Bodoh! Jangan cuma melamun di lumpur seperti kerbau!"

Suara itu terdengar lagi. Jelas sekali.

Jaka menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras, memukul sisi kepalanya dengan telapak tangan. "Pergi... pergi lu suara setan! Gue nggak mau gila... Gue harus pulang..."

Dengan susah payah, Jaka memaksakan kakinya untuk berdiri. Lututnya goyah, tapi ia paksa untuk tegak. Ia tidak menyadari bahwa batu hitam tempat darahnya menetes tadi sudah lenyap—tidak ada di tanah, tidak ada di saku.

Batu itu sudah tidak ada di mana-mana, karena kini batu itu ada di dalam dirinya.

Jaka menyeret langkahnya menjauhi sungai, tertatih-tatih mendaki tanggul. Ia tidak tahu bahwa iris matanya sempat berkilat kuning emas sesaat ketika ia menahan amarah, menatap jejak sepatu Mandor Darto di tanah.

Ia berpikir ia hanyalah Jaka yang beruntung bisa selamat. Ia tidak sadar, bahwa hari ini, takdirnya sebagai manusia biasa telah berakhir.

Lanjut membaca
Lanjut membaca