

Suara kipas komputer yang menderu seperti mesin pesawat tempur tua memenuhi ruangan sempit itu.
Di luar, hujan deras mengguyur kota Depok, menciptakan orkestra bising di atap seng kontrakan.
Namun, bagi Rizky, suara paling keras malam ini bukanlah hujan, bukan pula kipas server rakitan yang sekarat di depannya.
Suara paling keras itu berasal dari lembaran kertas di tangannya.
"Gugat cerai," bisik Rizky. Suaranya serak.
Ia melempar kertas itu ke atas meja lipat yang kakinya sudah goyah. Kertas itu mendarat tepat di samping mangkuk styrofoam bekas mie instan kuah kari yang kuahnya sudah mengeras.
"Hebat," gumamnya lagi. Ia tertawa kecil. Tawa yang kering. Tawa yang tidak sampai ke mata. "Benar-benar hebat skenarionya."
Rizky menatap foto lusuh berukuran 4R yang tersemat di dinding, di antara kabel-kabel LAN yang semrawut.
Di foto itu, Maya tersenyum manis. Di sebelahnya, Rizky muda tersenyum bodoh, merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.
"Lo liat ini, May?" Rizky berbicara pada foto itu. Jari telunjuknya menuding kertas gugatan cerai. "Ini hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ketiga? Serius?"
Hening. Tentu saja foto itu tidak menjawab. Hanya kedipan lampu indikator modem yang membalas tatapannya.
"Tentu saja lo enggak jawab," Rizky menyahut sendiri. Ia bangkit dari kursi plastiknya, melangkah dua jengkal, dan sudah sampai di kasur busa tipis di pojok ruangan. Ruangan ini memang hanya seukuran kotak sepatu. "Lo pasti lagi sibuk makan malam mewah sama Papa tersayang lo itu."
Rizky menendang botol air mineral kosong di lantai. Botol itu menggelinding, menabrak casing CPU yang terbuka.
Krak.
Suara listrik statis terdengar tajam. Monitor tabung di mejanya berkedip panik. Layar biru bergaris-garis muncul sekilas sebelum kembali menampilkan barisan kode hitam-hijau.
"Woy! Jangan mati dulu!" teriak Rizky panik. Ia segera melompat kembali ke kursi.
Jari-jarinya menari di atas keyboard yang huruf 'A' dan 'S'-nya sudah pudar.
"Ayolah, Sayang. Jangan ngambek," bujuk Rizky pada tumpukan sirkuit di depannya. "Gue butuh duit ini. Proyek ini harus kelar malam ini. Kalau enggak, gue enggak bisa bayar listrik. Kalau listrik mati, lo juga mati. Kita sama-sama mati. Paham kan logikanya?"
Komputer itu berdengung, seolah mengeluh, tapi layar kembali stabil. Rizky menghela napas panjang. Bau debu panas dan aroma bumbu penyedap instan yang menguap membuat udara terasa berat.
Tiba-tiba, pintu kontrakan digedor keras.
DOK! DOK! DOK!
"Rizky! Buka!"
Jantung Rizky mencelos. Itu suara Bu Rini, pemilik kontrakan.
"Iya, Bu! Sebentar!" teriak Rizky. Ia tidak beranjak. Matanya tetap fokus pada layar, memastikan proses compiling data berjalan lancar. "Lagi nanggung, Bu! Saya lagi di kamar mandi!"
"Alasan aja kamu!" Suara Bu Rini terdengar cempreng menembus pintu kayu lapis yang tipis. "Dua bulan, Rizky! Kamu janji minggu lalu. Ini udah lewat seminggu lagi!"
"Besok, Bu! Sumpah!" Rizky berteriak sambil mengetikkan perintah perbaikan registry. "Besok klien saya transfer! Pagi-pagi saya transfer ke Ibu!"
"Kalau besok siang belum masuk, barang-barang kamu saya keluarin! Biar kehujanan sekalian sama komputer rongsokan kamu itu!"
Langkah kaki berat terdengar menjauh, diiringi omelan yang samar-samar tertutup suara hujan.
Rizky menyandar lemas. "Rongsokan," ulangnya pelan.
Kata itu memicu sesuatu di otaknya. Ingatan itu datang tanpa diundang. Tajam dan menyakitkan. Ingatan tentang pertemuan terakhirnya dengan Widjaja, ayah Maya, di kantor megah MegaData Karya.
Rizky memejamkan mata, membiarkan adegan itu berputar ulang di kepalanya seperti film rusak.
"Rongsokan," kata Widjaja waktu itu. Pria tua itu duduk di kursi kulit seharga mobil bekas, menatap Rizky seolah ia adalah kotoran di sol sepatunya.
"Saya bukan rongsokan, Pak," jawab Rizky saat itu. Ia berdiri kaku, memegang proposal startup keamanan sibernya. "Ini potensi. Sistem ini bisa menutup celah keamanan yang sering diabaikan oleh—"
"Diam," potong Widjaja. Suaranya tenang, tapi mematikan. "Kamu pikir saya peduli dengan kode-kode mainanmu itu? Kamu pikir MegaData Karya butuh saran dari lulusan universitas ruko seperti kamu?"
"Pak, saya suami Maya. Saya cuma mau membuktikan kalau saya bisa—"
"Kamu suami Maya karena kesalahan," Widjaja berdiri, berjalan memutar meja, mendekati Rizky. Bau parfum mahalnya menusuk hidung. "Maya butuh pendamping yang setara. Seseorang yang stabil. Bukan pemimpi yang makan mie instan dan bicara soal 'revolusi digital' sambil pakai sepatu yang solnya sudah lepas."
Rizky menunduk, melihat sepatunya. Memang ada sedikit karet yang menganga di ujung kanan.
"Saya bisa sukses, Pak. Beri saya waktu," kata Rizky, suaranya bergetar menahan amarah.
"Waktu adalah uang, Rizky. Dan kamu tidak punya keduanya," Widjaja menunjuk pintu keluar. "Tinggalkan Maya. Biarkan dia hidup layak. Atau saya akan pastikan tidak ada satu pun perusahaan teknologi di negeri ini yang mau mempekerjakan kamu. Saya bisa membuat nama kamu masuk daftar hitam bahkan sebelum kamu mengirim CV."
Rizky menoleh ke arah Maya yang duduk di sofa pojok ruangan. Istrinya itu hanya menunduk, memainkan cincin berlian di jarinya. Cincin pemberian ayahnya, bukan cincin pernikahan mereka yang sederhana.
"May?" panggil Rizky.
Maya tidak mengangkat wajahnya. "Pulanglah, Riz," bisik Maya pelan. "Papa benar. Kita nggak realistis."
"Realistis?" Rizky tertawa getir. "Jadi cinta kita itu nggak realistis kalau saldo rekening gue nggak sembilan digit?"
"Cukup!" bentak Widjaja. "Keluar!"
"Bangsat!"
Rizky membuka mata dan memukul meja sekuat tenaga.
Botol air mineral yang tadi ia tendang kembali bergetar. Tumpukan berkas perceraian bergeser.
"Gue bukan rongsokan," desis Rizky. Matanya kini menyala oleh amarah yang bercampur dengan keputusasaan. "Liat aja nanti, Widjaja tua bangka. Gue bakal bikin sistem yang bikin MegaData lo kelihatan kayak kalkulator tukang sayur."
Namun, realitas kembali menamparnya. Untuk melakukan itu, ia butuh uang. Dan untuk mendapatkan uang, ia harus menyelesaikan perbaikan database toko online abal-abal milik kliennya ini sekarang juga.
Ia kembali menatap layar. Indikator suhu CPU menunjukkan angka merah. 95 derajat Celcius.
"Sial, panas banget," keluh Rizky.
Ia meraba bagian bawah meja, mencari kipas angin kecil tambahan yang biasa ia gunakan untuk mendinginkan mesin tuanya. Tangannya menyenggol sesuatu yang basah.
"Air?"
Rizky menunduk. Rupanya atap kontrakan bocor tepat di atas meja kerjanya. Tetesan air merembes masuk melalui celah dinding, menggenang di dekat stopkontak yang penuh dengan colokan bercabang.
"Waduh! Bahaya ini!"
Rizky panik. Ia segera menyambar kain lap kotor di dekatnya.
"Jangan kena kabel, jangan kena kabel," racau Rizky.
Tangannya bergerak cepat mencoba mengeringkan genangan air di dekat unit catu daya (power supply) server rakitannya. Unit itu adalah komponen paling tidak stabil. Rizky membelinya bekas dari pasar loak, komponen kanibal dari server bank yang sudah pensiun sepuluh tahun lalu.
ZZZT!
***