

Bulan Juli, di puncak Gunung Vaganza. Langit berwarna jingga keemasan, sementara awan perlahan menebal seakan hendak menutup matahari yang mulai tenggelam. Angin gunung berhembus lembut, membawa aroma pinus yang menenangkan.
Seorang pria berdiri tegak di atas tebing. Tubuhnya tinggi dan ramping, jubah panjang hitam berbordir emas berkibar ringan mengikuti arah angin. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda usia, seolah waktu berhenti hanya untuknya. Di sampingnya berdiri seorang pemuda berusia sembilan belas tahun, Jeverson Wijoyo, dengan sorot mata tajam penuh keyakinan.
Sang guru memecah keheningan. Berkata sambil menoleh. "Jeverson, sudah berapa lama kau menetap di gunung ini bersamaku?"
Pemuda itu menunduk sejenak, menghitung dalam hati. Kemudian perlahan menjawab. "Guru, sudah sembilan belas tahun lamanya. Sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di sini sebagai seorang anak kecil yang bahkan tak tahu cara menggenggam pedang."
Pria itu menarik napas panjang. Senyum tipis muncul di bibirnya. Dia mulai berbicara lagi sambil menatap langit. "Waktu sungguh cepat berlalu. Seorang bocah kurus berusia tujuh atau delapan tahun, dengan mata penuh ketakutan, kini berdiri di sisiku sebagai seorang pemuda yang gagah. Sedangkan aku?" Ia menatap tangannya yang halus, tanpa keriput sedikit pun. "Tetap sama, tidak berubah sedikit pun."
Ia menghela nafas, kemudian menatap mata Muridnya itu dengan lembut sambil berkata, "Jeverson, ada sesuatu yang belum pernah aku ungkapkan padamu."
Pemuda itu menoleh, sedikit terkejut. Selama sembilan belas tahun, gurunya hampir tidak pernah berbicara tentang dirinya sendiri. "Apa itu, Guru?" tanyanya sedikit penasaran.
Pria berwajah abadi itu menghela napas panjang lagi. "Usiaku sudah lebih dari tiga ratus tahun. Dalam tiga abad terakhir, aku telah melihat ratusan murid datang dan pergi. Ada yang gagal, ada yang menyerah, ada yang mati di jalan menuju puncak kekuatan. Namun dari semua itu, kau adalah anak dengan bakat terbaik yang pernah kutemui." ujarnya.
Mata Jeverson melebar. Baginya, gurunya adalah sosok sempurna, tak tersentuh oleh waktu, dan kini ia baru mengetahui usia sebenarnya. "Tiga ratus tahun?" suaranya tercekat. "Guru, bagaimana itu mungkin?" Rasa penasaran menyeruak di hatinya.
Ia memandang gurunya yang seolah hanya berusia di bawah 60 tahun dan tak menduga bahwa ada kenyataan yang tersembunyi.
Sang guru tersenyum tipis. "Jangan heran. Di dunia ini, ada hal-hal yang jauh melampaui pemahaman manusia biasa. Yang perlu kau tahu hanyalah, usiaku panjang, dan aku telah cukup lama mengamati perjalanan para muridku." Ia berhenti sejenak, lalu menatap muridnya dengan serius. "Dan aku menaruh harapan besar padamu." Katanya, menepuk-nepuk bahu Jeverson dengan kedua tangannya.
Jeverson menunduk, perasaannya campur aduk. Ada kebanggaan, namun juga tekanan yang berat.
"Tiga tahun lalu, aku sudah menurunkan seluruh ilmu yang kumiliki padamu. Segala rahasia pedang, seni pernapasan, hingga inti dari jalan kultivasi yang kujalani. Tapi, selama tiga tahun ini, kemajuanmu sama sekali tidak bergerak." ujar Gurunya melanjutkan.
Kata-kata itu menghantam dada Jeverson. Ia mengepalkan tangannya erat, wajahnya menegang dan segera berkata sambil m menunduk. "Aku tidak tahu apa yang salah, Guru. Setiap hari aku berlatih tanpa henti. Aku mencoba memahami setiap petunjuk yang Guru berikan, tapi seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi jalanku."
Sang guru menatap muridnya dengan tatapan penuh pemahaman. "Itu karena jalanmu tidak akan terbuka hanya dengan berlatih di puncak gunung. Kau bisa menjadi kuat dengan teknik, tapi jiwamu akan tetap kosong jika tidak merasakan kehidupan yang sebenarnya. Kau belum merasakan pahit, getir, manis, dan luka dari dunia manusia. Tanpa itu, ilmu yang kau miliki hanyalah kulit kosong, Nak!"
Jeverson terdiam, hatinya bergejolak antara rasa bersalah dan rasa ingin tahu.
Kemudian, sang guru merogoh jubahnya dan mengeluarkan dua benda, selembar tiket pesawat dan sebuah kartu identitas.
"Ini," ucapnya sambil menyerahkan kepada Jeverson. "Kakak Senior Keenammu sudah menyiapkannya. Besok kau harus turun gunung. Kali ini bukan seperti pengalaman tempurmu di usia delapan belas tahun, ketika kau dikirim ke wilayah barat untuk mengasah ketajaman pedangmu. Tidak. Kali ini berbeda."
Jeverson menerima tiket dan kartu itu dengan hati yang masih bimbang. Ia membaca tulisan di tiket, tujuannya adalah Kota Savana.
"Guru, Kota Savana?"
"Ya," jawab sang guru mantap. "Kau harus kembali ke akar tempat kau berasal. Di sanalah perjalanan hidupmu akan diuji."
"Guru! Mengapa alamat ini terasa begitu asing bagiku? Seolah-olah aku belum pernah mendengar kota itu, namun di dalam hatiku ada sesuatu yang bergetar saat melihat namanya."
"Dulu, Kakak senior keenammu, ketika ia secara kebetulan melewati Kota Savana, ia menemukanmu. Bocah kecil dengan tubuh kurus, tapi matanya menyimpan cahaya seorang jenius. Ia memaksamu ikut naik gunung, karena yakin kau ditakdirkan untuk jalan yang lebih besar."
Jeverson terdiam, dadanya terasa sedikit sesak. "Jadi aku dibawa tanpa izin? Bagaimana dengan keluargaku saat itu?"
Sang guru menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kami khawatir jika kenanganmu tetap terbuka, kerinduan pada orang tua akan mengganggu latihanmu. Karena itu, ingatanmu disegel. Tapi kini, kau sudah cukup kuat untuk menanggung semuanya. Kau harus tahu siapa dirimu, dari mana asalmu, dan apa yang harus kau jaga."
Perlahan, sang guru mengangkat tangan, ujung jarinya bersinar lembut. Ia menekankan satu jari di antara alis muridnya. "Sekarang, biarkan segel itu terbuka."
Seberkas cahaya emas menembus masuk ke dalam kepala Jeverson. Tubuhnya bergetar, matanya terpejam rapat. Lalu gelombang ingatan membanjiri pikirannya. Fragmen-fragmen yang selama ini terkubur muncul kembali.
Ia melihat wajah seorang ayah berperawakan tegas, seorang ibu yang lembut dengan senyum hangat, sebuah kompleks perumahan tua tempat ia dulu berlari-lari kecil, dan seorang gadis kecil dengan tawa riang adik perempuannya. Ia bahkan mengingat teman-teman masa kecil yang bermain bersamanya di jalan berdebu Kota Savana.
Air mata menetes di sudut matanya. "Orang tuaku, adikku, mereka, aku benar-benar punya keluarga."
Sang guru menepuk bahunya dengan lembut lagi untuk menenangkan emosi yang membanjiri Jeverson. "Itulah rumahmu, Jeverson. Dan sekarang, sudah saatnya kau kembali."
Guru itu lalu merogoh jubahnya, mengeluarkan sebuah benda kecil yang asing bagi kehidupan di gunung. Sebuah ponsel hitam sederhana, dan seikat uang yang terikat rapi.
"Ini sebuah ponsel. Di dalamnya sudah kusimpan nomor Kakak Senior Keenam dan Kakak Senior Kelima. Jika kau dalam kesulitan, hubungi salah satu dari mereka. Selain itu, ada uang perjalanan sebesar dua juta. Gunakan dengan bijak."
Jeverson masih menatap ponsel di tangannya, kemudian mengangkat wajahnya pada sang guru. "Guru, bagaimana dengan Kakak Senior Kelima? Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya.”
Sang guru terdiam sejenak, kemudian tersenyum miring dengan nada meremehkan. "Hmph. Dia sudah rusak. Terlalu terlena dengan urusan duniawi, sibuk mengejar kedudukan dan karier politik di ibu kota. Dia memang tidak lagi murni dalam jalan kultivasi."
Jeverson menunduk, ada rasa kecewa di hatinya. Lalu menatap mata gurunya sambil bertanya, "Jadi, Kakak Senior Kelima tidak lagi berjalan di jalur yang sama dengan kita?"
"Benar," jawab sang guru datar. "Namun, jangan sepenuhnya mengabaikannya. Dunia ini tidak hanya bergerak oleh kekuatan pedang, Jeverson. Ada saatnya kau akan berhadapan dengan urusan pemerintahan, hukum, dan politik manusia biasa. Jika saat itu tiba, dan kau benar-benar membutuhkan jalan keluar, kau boleh menghubunginya. Walaupun terjerat dunia, dia masih memiliki rasa tanggung jawab sebagai kakak se-sekte."
"Jeverson," ucapnya perlahan namun tegas, "besok kau harus turun gunung. Sendiri. Ingat baik-baik, kau tidak boleh menyebutkan nama perguruan ini kepada siapa pun. Bukan hanya untuk melindungi dirimu, tetapi juga untuk melindungi tempat ini."
Murid itu mengangguk, hatinya sedikit bergetar. "Aku memahaminya, Guru."
"Dan satu hal lagi," suara sang guru semakin dalam, seakan menembus malam, "selama tiga tahun ke depan, kecuali dalam kondisi hidup dan mati, kau tidak boleh kembali ke gunung ini. Tiga tahun itu akan menjadi ujian bagi tubuh dan jiwamu. Aku ingin saat kau kembali nanti, kau sudah menjadi pribadi yang berbeda, lahir kembali, dengan mata yang telah melihat dunia apa adanya."
Kata-kata itu terasa berat, seperti menancap langsung ke dalam hati Jeverson. Ia mengepalkan tangannya erat, merasakan campuran ketakutan dan tekad.
Sang guru menatapnya lama, lalu senyum samar muncul di wajahnya. Tanpa kata lagi, sosoknya perlahan memudar seperti kabut yang tertiup angin malam. Dalam sekejap, ia lenyap, meninggalkan Jeverson seorang diri di puncak gunung.