

"Ini memalukan! Dasar anak tak berguna!" bentak Jenderal Kebo Abang saat diberitahu Sungu Ireng gagal mendapatkan penghargaan prajurit terbaik oleh Istana Tumapel.
"Maafkan aku, Ayahanda. Anakmu ini sudah berusaha, tapi tetap gagal!"
"Kau tahu, Sungu Ireng?" hardik sang jenderal, nada suaranya semakin tinggi.
"Jika kau kalah oleh anak jenderal lainnya, aku takkan semalu ini. Tapi untuk perebutan peringkat terakhir pun kau kalah oleh anak komandan bawahan Jenderal Lembu Kuning?"
"Kau ini putra jenderal dan kalah oleh anak seorang rendahan? Kau tahu, karena kau, aku tak berani menatap wajah jenderal lainnya!"
Mendengar amarah jenderal, Korak melihat adanya peluang.
"Ampuni hamba, Tuan Jenderal. Ampuni budak ini," ucap Korak sambil berlutut dan bersujud di depan kaki jenderal. "Satu bulan lagi akan ada ujian lagi. Izinkan budak ini menggantikan Tuan Muda Kedua Sungu Ireng."
"Bangsat! Budak tak berguna! Kau ingin mencoreng mukaku, hah?" bentak jenderal, gegas menghunus keris, siap menikam Korak—si budak yang telah melatih putranya keahlian ilmu pedang.
"Jangan, Ayahanda! Ampuni Korak. Dia hanya ingin membantu aku, Ayahanda. Dia terlalu bodoh dan tak mengerti," cegah Sungu Ireng gegas menghadang ayahnya.
"Minggir kau, Sungu Ireng! Jangan halangi aku!" bentak Kebo Abang, dan tangannya siap menampar anaknya. Namun Korak sudah lebih dulu berbicara.
"Hamba akan mendaftar atas nama Tuan Muda, Tuan Jenderal. Hamba yakin tak ada orang yang akan mengenali dan akan percaya, selama token pengenal Tuan Muda saya bawa untuk ditunjukkan pada petugas istana.
Karena istana kerajaan jauh dari sini, hamba yakin tak ada orang yang akan tahu siapa hamba sebenarnya.
Jika hamba gagal, silakan Tuan Besar Jenderal memenggal kepala budak tak berguna ini. Tapi jika berhasil, hanya satu hadiah yang ingin hamba dapatkan," kata Korak lantang tanpa bangkit dari sujud.
Kebo Abang termangu. Ia memikirkan ucapan sang budak, lalu mengangguk-angguk karena merasa itu sangat masuk akal.
"Jika berhasil, hadiah apa yang kau inginkan? Memperistri Nini dengan pesta meriah?" tanya Kebo Abang sambil menyarungkan keris kembali ke warangkanya.
"Hamba… hamba… ingin kebebasan, Tuan Jenderal. Hamba ingin merdeka."
"Hmmm… Kau tahu, budak goblok, itu adalah permintaan mahal?" kata Kebo Abang, nada suaranya kembali tinggi.
"Hamba tahu, Tuan Besar Jenderal. Hamba memberanikan diri karena hamba yakin akan berhasil membawa Keris Puspa Kencana. Dan keris itu akan hamba serahkan pada Tuan Besar Jenderal. Nama dan pamor jenderal akan semakin hebat, dan Tuan Muda Sungu Ireng akan disegani pasukan mana pun."
"Hmmm… Keris Puspa Kencana diberikan untuk peringkat pertama dan memiliki kesempatan menjadi komandan pasukan pengawal raja."
"Benar, Tuan Besar Jenderal. Hamba berjanji akan membawa Keris Puspa Kencana. Jika hamba gagal, Tuan Besar Jenderal boleh membunuh hamba."
"Budak sialan! Jika aku ingin membunuhmu, aku tak perlu menunggu apa pun, goblok! Dasar tai kuda kau!" maki Kebo Abang lalu terdiam sejenak.
"Baiklah! Aku setuju dengan idemu. Tapi ingat! Jika sampai ketahuan, kau mati! Jika gagal, kau mati! Dan aku tak sekadar memenggal kepalamu. Aku akan mengiris, memotong setiap jengkal tubuhmu, aku akan melakukannya sampai tubuhmu menjadi seribu potong hingga kau berharap kematian datang lebih cepat!!"
Dua bulan kemudian.
"Hahaha… Akhirnya Keris Puspa Kencana bisa kita dapatkan!" ucap Kebo Abang lalu kembali terbahak. Perlahan ia keluarkan keris dari sarungnya.
"Woah! Lihat pamor keris ini. Keris ini memiliki pamor naga beranak. Pamor ini melambangkan kewibawaan, kejayaan, dan kemakmuran. Sungu Ireng, cepat sini! Cepat! Kau harus menyimpan keris ini. Puspa Kencana ini milikmu. Aku yakin kelak kau akan menjadi jenderal nomor satu di Tumapel. Kau akan dekat dengan raja, dan itu artinya kejayaan dan kemakmuran akan kita rasakan!!"
Korak tersenyum lebar saat melihat tuan muda sekaligus sahabatnya itu menerima Keris Puspa Kencana.
"Kumpulkan semua budak sekarang untuk mempersiapkan pesta! Kita adakan pesta besar-besaran tujuh hari tujuh malam. Sembelih sapi dan babi terbaik, siapkan arak terenak. Kita pesta dan harus sampai mabuk! Hahahaha!"
"Ampun, Tuan… Hamba di sini," ucap Korak seolah mengingatkan sang jenderal.
"Ah, ya. Cepat kau sembelih babi dan ambil arak tertua di gudang. Cepat, Korak."
"Tuan, bagaimana dengan hadiah untuk saya? Kemerdekaan saya, Tuan."
Mendengar itu, wajah ceria sumringah Kebo Abang seketika berubah menjadi masam. Kulit wajah berkeriput lelaki berumur empat puluh tahunan itu tampak menakutkan.
"Merdeka? Kau ingin kebebasanmu?" tanya Kebo Abang, seolah ingin meyakinkan telinganya.
"Benar, Tuan Besar Jenderal. Hamba ingin bebas, merdeka. Hamba mohon Tuan Jenderal mengeluarkan surat pembebasan hamba agar hamba bisa kembali ke rumah orang tua dan membantu bapak dan emak," jawab Korak menunduk, tak berani menatap mata tuannya.
Kebo Abang menunduk, lalu berbisik di telinga Korak. "Kau akan selamanya menjadi budakku! Tak akan ada kemerdekaan bagimu!"
Seketika mata Korak terbelalak. Ia mematung, diam tak bisa bicara karena tuannya—yang dianggap bangsawan terhormat—ternyata bisa menjilat ludahnya sendiri.
"Kau sudah tahu keputusan yang kuambil. Apa kau masih menginginkan kebebasanmu, budak jahanam?" Kebo Abang kembali bertanya, kali ini dengan lantang.
"Tuan Besar Jenderal sudah berjanji pa—"
Bugh!
"Akh!" jerit Korak saat wajahnya terkena tendangan Kebo Abang, membuatnya tak bisa meneruskan kalimat. Tubuhnya terbanting ke lantai, kepalanya berdenyut, dan pandangannya berkunang-kunang hingga tak mampu menahan atau menangkis tendangan Kebo Abang yang kembali menghajar tubuh dan kepalanya.
"Bawa dia ke penjara! Pasung dan sumpal mulutnya! Cambuk dia dua puluh kali!" titah Kebo Abang yang langsung disambut dua prajurit yang menyeret tubuh Korak sambil sesekali memberikan pukulan.
"Ayahanda!" teriak Sungu Ireng. "Kenapa Ayahanda ingkar dengan janji yang Ayahanda ucapkan sendiri?"
"Dasar anak goblok! Tak berguna! Jika dia merdeka, dia akan memeras kita untuk memberikan sebagian kekayaan yang kita punya—kekayaan yang aku kumpulkan! Jika tak aku bayar, dia akan bercerita, dan kebohongan ini akan ketahuan raja! Kita semua akan dihukum mati!"
"Ta—tapi…"
"Diam, Sungu! Atau Ayah akan menghukum mati budak sialan karena membantah perintah tuannya!"
"Ja—jangan, Ayah. Aku mohon. Aku akan merasa sangat berdosa jika Ayah lakukan itu," jawab Sungu Ireng yang merasa sangat bersalah pada Korak, budak ayahnya yang telah menjadi teman sekaligus pelatih ilmu pedang.
Sementara itu, di dalam penjara dengan kedua tangan dan kaki dibelenggu, Korak marah karena dikhianati jenderal. Ia terus berteriak-teriak menuntut kebebasan yang dijanjikan. Namun prajurit penjaga malah memberinya bogem dan tendangan.
"Dasar jenderal brengsek! Aku akan bertahan untuk membalas dendam pengkhianatan ini!" sumpah Korak dalam hati. Meski ia belum tahu bagaimana membalaskan dendam sakit hatinya saat ini, tubuhnya terus dihajar prajurit bawahan Jenderal Kebo Abang.
Dengan menahan rasa sakit dan di dalam penjara yang pengap dan gelap, ditambah ia harus menahan lapar hingga terpaksa memakan seekor tikus yang berkeliaran, pikiran Korak melayang ke masa enam tahun silam.
= Kilas Balik =
"Maafkan Bapak, Korak. Maafkan Bapak!" ucap Parji sambil berderai air mata di depan anak lelakinya yang masih berumur sepuluh tahun.
"Sudah! Pergi! Kau sudah terima uangmu! Cepat pergi!" hardik lelaki berkumis panjang sambil memegang bahu Korak.
Korak kecil hanya bisa memandang saat bapaknya bangkit sambil terus meminta maaf karena telah menjual dirinya.
Saat itu ia sama sekali tak mengerti. Yang ia tahu sekarang, ia harus ikut lelaki berpakaian mahal yang memberinya mentimun untuk mengganjal perutnya yang belum makan sejak kemarin.
Yang Korak tahu, mulai hari ini ia tak akan lagi bertemu dengan bapaknya, ibunya, dan dua adiknya.