

Malam ini, keluarga Santoso mengadakan perayaan besar untuk ulang tahun pernikahan Nyonya Ratna dan juga Tuan Sony.
Ini menjadi sebuah momen untuk ajang pamer kekuasaan sekaligus memperlihatkan keharmonisan keluarga konglomerat kelas dua itu.
Meja-meja panjang tertata rapi, dihiasi bunga segar impor dari Belanda.
Puluhan tamu undangan hadir, mulai dari kolega bisnis, pejabat penting, hingga kerabat jauh.
Semua berpakaian glamor, memancarkan aura kebesaran keluarga Santoso.
Namun, di antara kemewahan itu, ada satu sosok yang duduk kaku di kursinya, tampak tidak seirama dengan pesta penuh cahaya tersebut.
Arga Pratama.
Ia mengenakan jas hitam sederhana, jauh dari kemewahan setelan yang dipakai anggota keluarga Santoso lain.
Tatapannya tenang, meski ada sorot lelah yang dalam.
Ia kini adalah menantu keluarga Santoso, suami dari Larissa Santoso, putri bungsu keluarga.
Namun meski statusnya resmi, perlakuan keluarga itu padanya tidak pernah lebih dari seorang pembantu.
Malam itu, jamuan besar seharusnya jadi momen bahagia. Tetapi bagi Arga, itu hanya panggung hinaan.
"Astaga, lihat siapa yang datang seperti karyawan hotel," suara melengking terdengar dari ujung meja.
Itu adalah Angela Santoso, kakak ipar Arga, dengan senyum sinis di wajahnya.
"Menantu keluarga Santoso seharusnya tampil elegan. Tapi tampaknya, Arga bahkan tidak tahu cara memakai dasi dengan benar."
Tawa langsung terdengar dari sekitarnya. Beberapa kerabat menutup mulut sambil berbisik, jelas menertawakan Arga.
Larissa, istrinya sendiri, hanya memutar mata dan melirik Arga dengan jijik.
"Aku sudah bilang, seharusnya kau pakai jas dari butik Louis yang kukasih. Tapi dasar keras kepala. Lihat, sekarang semua orang mengolok-olokmu."
Arga menahan napas, mencoba tidak menanggapi, karena toh pernikahan hanya transaksi bisnis.
Setelah kebenaran tentang dirinya yang hanya anak angkat keluarga Wijaya, perlakuan keluarga Santoso yang awalnya hangat seketika berubah.
Mereka langsung menganggapnya sebagai menantu yang tak berguna.
Toh menurut Arga, dengan atau tanpa pakaian dari keluarga Santoso, dia akan tetap dipandang sebagai "noda" di tengah pesta glamor itu.
"Pantas saja, lihatlah dia!" bisik salah satu kerabat.
"Keluarga Wijaya benar-benar menipu keluarga Santoso dengan memberikan anak angkat rendahan sebagai menantu."
"Benar," sahut yang lain.
"Kalau saja Larissa menikah dengan pewaris asli Wijaya, posisi Santoso sudah melonjak. Sekarang? Kita malah punya beban."
Kata-kata itu menusuk telinga Arga. Ia ingin mengabaikan, tapi semakin lama, hinaan itu semakin terang-terangan.
Lalu tibalah momen ketika Pak Sony Santoso, mertuanya, berdiri untuk memberikan pidato.
Ia tersenyum lebar kepada para tamu, memuji kesetiaan istrinya, menceritakan perjuangan membangun keluarga.
Semua orang bertepuk tangan karena kagum.
Namun ketika pidato selesai dan tatapannya tak sengaja menyapu Arga, senyum di wajahnya menghilang.
"Dan tentu saja," katanya dengan nada penuh sindiran, "kami juga ingin berterima kasih kepada menantu baru kami. Meski dia bukan siapa-siapa, kami tetap menerimanya di keluarga ini."
Ruangan hening sesaat, lalu beberapa orang tertawa kecil.
Rahang Arga mengeras. Itu bukan ucapan terima kasih, melainkan penghinaan terbuka !
Larissa menatapnya dengan dingin, lalu berbisik,
"Seharusnya kamu berterima kasih karena ayah masih mau menyebutmu di pidatonya. Padahal aku sudah bilang, lebih baik kita pura-pura saja belum menikah."
Arga mengepalkan tangan di bawah meja, tapi tatapannya tetap tenang.
Acara pun berlanjut ke sesi hiburan. Beberapa tamu naik ke panggung untuk bernyanyi.
Anak-anak muda dari keluarga Santoso bergiliran menari, menunjukkan bakat. Semua tampak meriah, kecuali Arga yang tetap duduk diam, merasa semakin terasing.
Hingga tiba saat semua tamu memberikan hadiah ulang tahun pernikahan di acara Sony Santoso dan Nyonya Ratna.
Semua barang mewah dan mahal berjejer membuat Sony dan Ratna menerimanya dengan berbinar-binar.
Apalagi, perwakilan dari keluarga lain sudah lebih dulu mengirim hadiah mewah untuk keluarga Santoso.
Sebuah patung giok singa yang merupakan barang antik bernilai ratusan juta.
Larissa melirik Arga, pria itu turut memberikan hadiah kepada mertuanya sebuah guci lukisan bernilai puluhan juta.
Jika dibandingkan dengan hadiah lainnya tentu hadiah Arga adalah hadiah paling murah.
"Selamat atas ulang tahun pernikahan kalian berdua. Semoga ayah dan ibu mertua saling mencintai selamanya." Arga menyodorkan hadiah pemberiannya itu.
Nyonya Ratna tersenyum lebar saat menerima lukisan itu. Arga pikir, kali ini di pesta perayaan, ibu mertuanya akan berbaik hati.
PRANGGGG!!!
Namun, lukisan itu pecah.
"Arga, maaf sekali. Ibu tak sengaja menjatuhkannya."
Semua tamu langsung bergunjing.
"Lihat, gucinya jatuh! Dia pikir itu hadiah yang pantas?"
"Padahal keluarga lain saja mengirim hadiah seharga ratusan juta, kenapa dia malah membelikan hadiah murahan.
"Ya, jika dilihat, pasti lukisan itu hanya ratusan ribu."
"Tapi, bukannya dari keluarga Wijaya ya? Kenapa dia miskin?"
"Ssst ... dia itu kan hanya anak angkat. Aslinya dia anak pembantu."
"Oh! Jadi dia dibuang lalu dipungut sama keluarga Santoso? Malang sekali nasib keluarga Santoso ini."
"Ck! Dia memang menantu tidak berguna!"
Semua hinaan itu membuat Tuan Sony murka.
"Lain kali, jangan membeli sesuatu jika hanya untuk mempermalukan kami! Cepat bersihkan kekacauan ini dari hadapanku!"
Arga menatap pecahan kaca guci lukisan itu dengan wajah nelangsa.
Nyatanya bukan lukisan itu saja yang berantakan, hati Arga pun sama berantakannya.
Ia mencoba membersihkan lukisan itu dari panggung.
Tiba-tiba, salah satu iparnya, Davin Santoso, berjalan mendekatinya.
Pria itu sudah beberapa kali meneguk wine, wajahnya memerah, langkahnya goyah.
"Heh!" serunya lantang, membuat orang-orang di dekatnya menoleh.
"Bisa-bisanya kamu mempermalukan keluarga ini dengan memberikan barang rongsokan, hah?"
Arga menatap Davin tenang. "Aku tidak mau membuat keributan di acara keluarga. Lebih baik kamu pergi."
Jawaban itu justru memicu tawa keras.
"Hahaha! Lihat! Tidak mau bikin keributan, katanya. Padahal kehadiranmu saja sudah bikin keributan di hati semua orang di sini."
"Kamu itu hanya beban, mengerti? Beban keluarga Santoso!"
Beberapa kerabat ikut tertawa. Bahkan Larissa tidak berusaha membela, hanya meneguk minumannya sambil menatap ke arah lain dengan malu.
Arga tidak menjawab dan memilih untuk melanjutkan aktivitasnya.
Namun Davin tidak berhenti. Ia justru mengambil kesempatan dengan menginjak tangan Arga yang tengah memungut pecahan kaca lukisan.
"ARRGH!!"
Davin tersenyum licik. Ia sengaja lebih keras menginjak tangan Arga sebelum melepaskannya.
"Ups, maaf!" lirihnya. "Kakiku tidak sengaja loh."
Tangan Arga kini penuh darah dan berdenyut Tapi tak seorangpun peduli, bahkan Larissa sendiri hanya diam saja.
Melihat itu, Arga berniat untuk pergi.
Namun, seolah belum puas. Lagi-lagi Davin mengusiknya.
"Ayo, menantu miskin! Kalau kau benar laki-laki, buktikan di depan kami. Tunjukkan satu hal saja yang membuatmu pantas berada di sini!"
Arga tidak bergerak. Ia hanya menatapnya tajam. "Berhenti mengangguku, Davin. Kau mabuk."
Kalimat itu membuat Davin naik pitam. Wajahnya merah, matanya melotot.
"Berani kau mengatur aku di rumah keluargaku sendiri?!"
BRAK!
Tinju Davin mendarat di wajah Arga.
Tubuhnya terhempas ke belakang, hingga Arga hilang keseimbangan lalu terjungkal mengenai meja saji dan membuat meja berguncang serta gelas-gelas pecah berserakan.
Tamu-tamu terkejut. Beberapa menutup mulut, yang lain justru bersorak seakan itu hiburan.
Arga terbaring di lantai marmer, darah menetes dari sudut bibirnya, padahal darah di tangannya pun belum ia bersihkan.
Pandangannya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut hebat. Ia ingin bangkit, tapi tubuhnya lemah.
Davin mendekat lagi, hendak menginjaknya. "Kau pikir kau siapa, hah? Menantu hina yang dikasihani keluarga Wijaya lalu dilempar ke sini. Kau tidak pantas!"
Namun sebelum tendangan itu mendarat, sesuatu aneh terjadi.
Suara dingin tiba-tiba menggema di dalam kepalanya.
[Selamat, Host.]
[Sistem Kekayaan Tak Terbatas berhasil diaktifkan.]
[Kondisi pemicu: penghinaan, penindasan fisik, dan rasa putus asa ekstrem.]
Mata Arga melebar. Ia membeku, terbaring di lantai dengan tubuh penuh sakit, namun suara itu jelas terdengar di dalam kepalanya.
[Mulai sekarang, seluruh hinaan akan menjadi bahan bakar kebangkitanmu.]
[Misi awal: Tunjukkan harga dirimu pada keluarga yang merendahkanmu.]
[Hadiah: Dana awal 10 Miliar Rupiah di rekening pribadi host.]
Arga terengah. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Namun tepat pada saat itu, ponselnya yang terjatuh di lantai menyala, menampilkan notifikasi transfer masuk.
Rp10.000.000.000,-
Semua rasa sakit, semua penghinaan, mendadak berubah jadi api yang membakar dada Arga.
Ia mengangkat kepalanya perlahan. Darah masih menetes dari bibirnya, tapi tatapannya kini berbeda.
Mata hitamnya berkilat, penuh tekad yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Larissa, yang melihatnya dari kursi, terdiam sesaat. Ada sesuatu dalam sorot mata Arga yang membuatnya merinding.
Arga mengepalkan tangan. Dalam hatinya, ia bersumpah.
Baiklah. Kalian ingin melihatku jatuh. Tapi mulai malam ini, kalian semua akan menyaksikan kebangkitanku.
Suara sistem kembali terdengar.
[Host, bersiaplah. Era kejayaanmu baru saja dimulai.]