

Bab 1 – sebuah ide
“Eh, kalian pernah tau nggak sih cerita mitos yang beredar di kampung kita?” suara Bayu memecah keheningan, di antara bunyi jangkrik yang riuh di malam itu.
Udara dingin menyelimuti pos ronda yang berdiri di pinggir jalan desa, bangunannya sederhana dari kayu yang dibuat oleh warga setempat, disinari oleh lampu petromak yang bergoyang pelan kala ditiup angin. Di atas tikar pandan yang mulai kusam, empat anak muda duduk melingkar.
Ada Bayu, si paling cerewet dan sok tahu. Lalu Raka, anak paling tenang tapi diam-diam memiliki sifat yang berani. Ardi, yang selalu sinis dan skeptis, serta suka menertawakan hal-hal mistis. Terakhir Fikri, si penakut, tapi nggak mau kalah oleh gengsi.
“Cerita dari mana lagi, Yu?” Ardi menguap, memainkan senter di tangannya. “Kalau soal pocong nyebrang jalan mah gue udah bosen dengernya. Kampung sini dari dulu kan emang suka dilebih-lebihin.”
“Bukan pocong, Di. Ini beda,” Bayu mendekatkan wajahnya, berusaha memberi efek dramatis. “Kalian tau nggak soal wayang terlarang di rumah Kepala Dusun?”
Raka yang sedari tadi diam langsung mengangkat kepala. “Wayang? Maksud lo, wayang kulit gitu?”
“Iya. Bukan wayang biasa, Rak,” Bayu menurunkan suaranya, hampir berbisik. “Katanya, itu peninggalan dalang tua jaman dulu. Wayang yang dipake buat manggil roh.”
Fikri menelan ludah, merapatkan jaket ke tubuhnya. “Eh jangan ngawur lo, Yu. Mana ada wayang bisa manggil roh. Wayang kan buat hiburan doang.”
“Makanya disebut wayang terlarang, Fikri.” Bayu menyeringai. “Katanya, dulu itu ada dalang yang haus kekuatan. Dia mainin wayang itu bukan buat pertunjukan, tapi buat manggil arwah. Wayangnya udah disumpah, terus diikat sama darah tumbal. Sejak itu, nggak boleh ada yang nyentuh lagi. Kepala Dusun nyimpen semuanya di gudang, katanya dikasih kain putih. Siapa pun yang berani buka bakal kena kutuk.”
Ardi mendengus. “Cih, mitos doang itu. Lo kebanyakan denger cerita emak-emak pas ngerumpi di warung sih.”
“Serius, Di. Gue denger langsung dari bapak gue. Dia bilang, dulu ada anak yang nekat buka. Seminggu kemudian ilang. Sampai sekarang nggak pernah ketemu.”
Hening mendadak menyelimuti. Angin malam bertiup, membuat dedaunan jati bergesekan menimbulkan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.
Fikri melirik kanan-kiri, jelas ia tengah merinding. “Udah lah, jangan ngomongin beginian tengah malam gini. Kita lagi ronda, bukannya cari setan.”
Tapi justru itulah yang bikin Bayu makin semangat. “Eh, kalian nggak penasaran? Kalau bener ada wayang terlarang itu, kenapa harus ditutup rapet? Lagian, siapa yang bisa buktiin kalau sebenernya nggak ada apa-apa di sana?”
Ardi menyalakan rokok, menghembuskan asap ke atas. “Ya kalau mau buktiin, ya buka aja, tapi kalo besok lo kenapa-napa, jangan nyesel.”
Bayu tersenyum licik, lalu melirik Raka. “Rak, lo orangnya paling berani. Gimana? Malam ini kita cek gudang rumah pak kepala dusun!”
Raka diam beberapa detik. Dalam hatinya, ada rasa penasaran yang membuncah. Dari kecil, ia juga sering mendengar cerita serupa, tapi selalu diabaikan. Namun entah kenapa, malam ini, dorongan untuk membuktikan terasa lebih kuat.
“Lo gila, Yu,” Fikri langsung protes. “Mau mati kita kalau ketauan? Apalagi kalau beneran ada setannya!”
Ardi terkekeh. “Gue sih nggak takut sama setan, tapi takut dipukulin sama Pak kepala dusun.”
“Makanya jangan ketauan,” Bayu menekankan. “Kita cuma intip, buka dikit, abis itu balik. Nggak bakal ada yang tau juga kan?"
Raka akhirnya buka suara. “Kalau kita terus-terusan dengerin cerita tanpa bukti, ya nggak bakal pernah tau kebenarannya. Gue ikut, deh!"
Fikri menatap Raka dengan wajah nggak percaya. “Lo serius, Rak? Gila! Bener-bener gila lo.”
Bayu menepuk bahu Raka dengan puas. “Nah, gitu dong. Laki-laki sejati! Tinggal lo, Di. Lo ikut atau bacot doang?”
Ardi terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Yaudah. Tapi cuma buat ngebuktiin kalau lo itu halu. Gue ikut, biar lo ngerasa malu dan ga terus penasaran.”
Fikri geleng-geleng kepala, wajahnya pucat. Namun, jelas, ia tidak mau jadi satu-satunya pengecut di antara mereka. Dengan berat hati ia menghela napas. “Oke, gue ikut. Tapi inget, abis intip kita langsung balik. Jangan macem-macem di sana.”
---
Malam itu, tepat pukul dua belas, mereka berempat meninggalkan pos ronda. Suasana desa hening. Rumah-rumah tertutup rapat, hanya beberapa lampu minyak yang masih menyala redup. Jalan tanah becek setelah hujan sore tadi, menimbulkan suara kecipak setiap kali mereka melangkah.
Gudang rumah Pak kepala dusun berada di sisi barat kampung, agak terpisah dari rumah utama. Bangunannya berdinding kayu tua, atapnya miring dengan lumut menempel di genting. Pintu depannya dikunci gembok besar, tapi papan kayu di sampingnya sudah lapuk.
Bayu menunjuk ke arah celah papan. “Lewat sini aja, kita bisa masuk. Enggak perlu buka gembok lagi!”
Raka maju lebih dulu, menyingkirkan papan lapuk dengan hati-hati. Suara krek terdengar nyaring, membuat mereka refleks menahan napas. Setelah celah cukup besar, satu per satu mereka merangkak masuk dan kembali menutup papan itu sedikit, supaya tidak ada yang curiga, jika bapak-bapak yang sedang meronda melintas kawasan tersebut.
Begitu berada di dalam gudang, udara lembab dan bau kayu lapuk langsung menyeruak. Gudang itu penuh dengan barang-barang tua. Cangkul berkarat, karung goni, peti-peti kayu dan di pojok ruangan, berdiri sebuah peti besar, tertutup kain putih yang sudah menguning.
Mereka semua terdiam, hanya suara jantung masing-masing yang berdegup keras.
“Itu dia,” bisik Bayu. “Wayang terlarang.”
Fikri langsung gemetar. “Gue nggak enak, sumpah. Dari tadi perasaan gue udah nggak beres. Mending kita balik aja.”
Ardi mendekat, menendang ringan kaki peti. “Halah, ini palingan isinya barang antik. Biarin gue yang buktiin.”
“Eh jangan sembarangan, Di!” Raka menahan tangannya. “Kita buka pelan-pelan.”
Dengan hati-hati, Raka meraih ujung kain putih dan menariknya. Kain itu meluncur turun, menyingkap ukiran kayu tua penuh pahatan rumit. Seketika bau anyir samar tercium, seolah ada darah kering yang melekat sejak lama.
Bayu, dengan mata berbinar, membuka kunci besi kecil di peti itu. Anehnya, meski terlihat tua, kunci itu langsung dapat terbuka. Saat tutup peti terangkat, hawa dingin aneh langsung menyelimuti ruangan.
Mereka melihat dengan seksama, isi di dalamnya, tersusun rapi wayang-wayang kulit. Wajah mereka berbeda dari wayang biasa. Mata melotot, mulut menyeringai, sebagian ada yang dilengkapi dengan taring panjang.
Fikri mundur beberapa langkah, hampir terjatuh. “Astaghfirullah! Ini udah jelas bukan wayang biasa!”
Apa yang diucapkan oleh Fikri, sama sekali tidak didengar oleh semuanya.
Bayu langsung menyentuh salah satu wayang dan berucap, “Gila! liat detailnya. Serem banget.”
“Jangan disentuh, Yu!” Raka berteriak, tapi sudah terlambat.
Begitu tangan Bayu menyentuh kulit wayang, lampu petromak yang mereka bawa mendadak berkedip. Bayangan wayang di dinding bergoyang sendiri, meski tidak ada yang menggerakkan. Dari luar gudang pun, terdengar samar suara gamelan cukup pelan, tapi jelas.
Mereka semua membeku dan Bayu langsung meletakkan kembali wayang yang tadi ia pegang.
Ardi berusaha menyamarkan rasa takut, tapi suaranya bergetar. “Paling ada orang lagi latihan gamelan.”
Namun, pada detik berikutnya, suara tawa berat seorang lelaki tua menggema di dalam gudang, padahal tak ada siapa-siapa.
“Hahaha! Akhirnya, terbuka juga!” Wayang di dalam peti bergerak sedikit demi sedikit, seolah mereka baru saja mendapatkan napas kehidupan.
Fikri menjerit panik. “Gue bilang juga apa! Ayo, kita harus pergi sekarang!”
Namun, saat mereka berbalik menuju celah keluar, papan yang tadi menjadi pintu untuk mereka masuk tiba-tiba menutup keras dengan sendirinya.
Braaakkk!
Bayangan wayang satu per satu turun dari peti, berdiri tegak seperti makhluk hidup, mata mereka menyala merah menatap ke arah anak-anak muda yang kini ketakutan setengah mati.