Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Menantu Pilihan Keluarga Wijaya

Menantu Pilihan Keluarga Wijaya

Tinta Emas | Bersambung
Jumlah kata
90.1K
Popular
3.2K
Subscribe
231
Novel / Menantu Pilihan Keluarga Wijaya
Menantu Pilihan Keluarga Wijaya

Menantu Pilihan Keluarga Wijaya

Tinta Emas| Bersambung
Jumlah Kata
90.1K
Popular
3.2K
Subscribe
231
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalHaremUrbanDokter Genius
Ardian Pratama, murid gunung yang polos tapi keras kepala, akhirnya turun gunung bawa amanah dari gurunya: jalani perjodohan, lindungi keluarga yang ditunjuk, sekaligus tuntasin dendam lama yang diwariskan. Tapi ternyata dunia kota nggak semudah bayangannya. Dari gedung-gedung megah sampai intrik keluarga konglomerat, Ardian malah dipandang remeh sebagai orang kampung yang sok tahu. Nggak ada yang nyangka, di balik tingkahnya yang kocak dan polos, tersimpan kemampuan luar biasa yang bisa bikin orang terpana. Di tengah warisan perjodohan, konflik bisnis, dan rahasia masa lalu keluarganya, langkah Ardian pelan-pelan mulai ngubah segalanya.
Bab 1

Angin dingin Gunung Arjuna menerpa wajah Ardian Pratama yang tengah berlutut di atas tanah berbatu. Kepalanya tertunduk dalam, kedua tangannya terlipat rapi di pangkuan. Di hadapannya, seorang pendeta tua berambut putih sebahu berdiri dengan postur tegap meski usianya sudah renta.

Kernyit dalam mengukir dahi sang pendeta. Matanya yang tajam menatap murid kesayangannya dengan sorot tidak percaya.

"Apa yang kau lakukan?" suara berat sang pendeta memecah keheningan puncak gunung.

Ardian Pratama mengangkat wajahnya perlahan. Ekspresi memelas terpasang di wajah tampannya yang sudah terbakar matahari gunung selama bertahun-tahun. "Guru, aku mohon ijin untuk turun gunung."

"Turun gunung?" Sang pendeta maju selangkah, jenggot putihnya bergoyang tertiup angin. "Untuk apa?"

"Aku takut, Guru." Ardian Pratama menundukkan kepala lagi. "Takut kelak aku terkena depresi sehingga tidak bisa berbakti pada Guru dengan baik. Bahkan... bahkan aku sudah menggali liang kubur sendiri di belakang pondok."

Jenggot sang pendeta bergetar hebat. Bukan karena angin, tapi karena amarah yang meluap-luap di dadanya. Kedua tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Depresi?" suaranya bergetar menahan emosi. "DEPRESI?!"

Ardian Pratama bergidik mendengar teriakan gurunya yang bergema di seluruh puncak.

"Dasar bocah kurang ajar!" Sang pendeta melangkah maju dengan mata menyala-nyala. "Mana mungkin orang yang sanggup menghabiskan tiga ember nasi setiap hari menderita depresi! Kau pikir aku tidak tahu apa niat sebenarnya di balik kedok alasan murahan itu?"

"Guru, aku sungguh-sungguh..."

"Diam!" Sang pendeta menunjuk Ardian Pratama dengan jari bergetar. "Bertahun-tahun aku melatihmu di puncak ini. Dan sekarang kau bilang ingin turun karena takut depresi? Kau hanya ingin turun gunung untuk bersenang-senang di dunia luar!"

Ardian Pratama mencoba membuka mulut untuk membela diri, tapi tatapan murka gurunya membuatnya urung bicara.

"Bangun!" perintah sang pendeta dengan suara menggelegar.

Ardian Pratama bangkit perlahan, masih dengan wajah memelas yang dibuat-buat.

"Masih mau berbohong?" Sang pendeta maju lagi hingga jarak mereka hanya sejengkal.

DUAK!

Tendangan keras mendarat tepat di pantat Ardian Pratama, membuatnya terpental ke depan hingga hampir terjatuh.

"Sudah, sudah! Daripada kau terus berbohong di depanku, lebih baik kau pergi saja!"

Ardian Pratama meringis sambil mengusap pantatnya. Meski sakit, senyum kemenangan tipis mengembang di bibirnya. Akhirnya dia berhasil juga.

"Terima kasih, Guru. Saya akan..."

"Tunggu dulu."

Suara dingin sang pendeta membuat langkah Ardian Pratama terhenti. Pemuda itu berbalik dengan perasaan tidak enak.

Sang pendeta berjalan menuju pondok kayu sederhana di ujung puncak. Beberapa menit kemudian, dia keluar sambil membawa setumpuk amplop tebal dan sepuluh kantong kain berwarna gelap.

"Ambil ini." Sang pendeta menyodorkan barang-barang tersebut.

Ardian Pratama menerima dengan bingung. Matanya terbelalak ketika melihat tulisan di amplop paling atas, "Surat Nikah". Wajahnya langsung cerah benderang.

"Guru mau menikah? Siapa calon istrinya? Apakah janda dari desa bawah yang sering mengantarkan sayur ke sini?"

PLAK!

Sebuah ketukan keras mendarat di kepala Ardian Pratama.

"Bodoh! Itu bukan untukku, tapi untukmu!" Sang pendeta menggeleng-gelengkan kepala. "Perjodohan ini sudah aku siapkan untukmu."

Mata Ardian Pratama berbinar-binar. Dia memeluk tumpukan amplop itu seperti memeluk harta karun.

"Terima kasih, Guru! Aku berjanji akan mencari istri yang baik. Tidak seperti guru yang hanya bisa menggoda janda-janda di gunung ini!"

Wajah sang pendeta merah padam. "Siapa yang menggoda janda? Hah?!"

Ardian Pratama cepat-cepat mengalihkan perhatian ke kantong-kantong hitam di tangannya. "Guru, ini apa?"

Sang pendeta menarik napas panjang, meredam emosinya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi serius.

"Itu adalah kantong amanah," katanya dengan nada rendah dan berat. "Dengar baik-baik, Ardian. Setiap isi kantong harus kau jalankan sesuai urutan. Baru setelah itu kau boleh menuntaskan dendam dan membunuh orang yang sudah berjanji ingin kau habisi."

Hawa dingin tiba-tiba terasa menusuk tulang. Ardian Pratama mengangguk patuh.

"Dan satu lagi," sang pendeta melanjutkan, "banyak-banyaklah berlatih dan berpengalaman di dunia luar. Dunia di bawah sana jauh lebih kejam dari puncak gunung ini."

"Baik, Guru."

"Sekarang pergilah. Dan jangan pernah kembali sebelum menyelesaikan semua tugasmu."

Ardian Pratama membungkuk hormat satu kali, lalu berbalik dan melangkah menuruni jalan setapak yang berkelok-kelok.

***

Setengah jam kemudian, Ardian Pratama sudah meninggalkan jalan setapak utama. Rasa penasaran menggelitik hatinya. Dia berhenti di pinggir jalan, meletakkan amplop-amplop di atas batu besar, lalu membuka salah satu kantong amanah.

Ardian Pratama mengernyitkan dahi sebentar, lalu membuang kantong yang sempat ia buka itu ke semak-semak.

"Guru memang kolot," gerutunya sambil mengambil amplop dan kantong sisanya. "Tapi tidak bisa dipungkiri, rencana yang sudah dia susun pasti besar. Tidak mungkin dia sampai menyiapkan sepuluh kantong amanah untuk hal sepele."

Dengan perasaan bercampur aduk antara bersemangat dan penasaran, Ardian Pratama melanjutkan perjalanan menuruni gunung.

Dua hari berselang, Ardian Pratama tiba di Kota Bimasena, tepatnya di depan gedung pencakar langit megah bertuliskan "Menara Perkasa" dengan huruf emas berkilat. Ardian Pratama mendongak, mulutnya menganga melihat gedung tinggi yang menjulang ke langit.

"Gila," gumamnya kagum. "Ini baru namanya gedung."

Dia merapikan kemeja dan celana panjang lusuh yang sudah menemaninya selama perjalanan. Rambut hitamnya yang agak gondrong dia sisir dengan jari.

Langkah pertamanya menuju pintu utama langsung dihadang oleh dua orang satpam berseragam biru.

"Eh, mau ke mana?" satpam pertama menghalangi jalan dengan tangan terentang.

"Saya mau bertemu Clarissa Wijaya," jawab Ardian Pratama dengan polos.

Kedua satpam itu bertukar pandang, lalu terkekeh.

"Clarissa Wijaya?" satpam kedua mengamati penampilan Ardian dari atas sampai bawah. "Yang benar saja. Kamu pikir direktur utama perusahaan ini mau bertemu sama orang kampung kayak kamu?"

"Memangnya kenapa dengan penampilanku?"

"Kenapa?" Satpam pertama tertawa terbahak-bahak. "Coba kamu liat sendiri di cermin. Gelandangan jalanan berani-beraninya mau ketemu direktur."

Wajah Ardian Pratama mulai memerah. "Aku bukan gelandangan. Aku ini..."

"Apa? Tukang pijat? Cleaning service?" Satpam kedua menyikut temannya, keduanya tertawa keras.

"Aku tunangannya!" seru Ardian Pratama dengan nada tinggi.

Tawa kedua satpam langsung berhenti. Mereka menatap Ardian dengan mata terbelalak, lalu meledak dalam tawa yang lebih keras.

"AHAHAHAHA! Tunangan?!" Satpam pertama sampai memegang perut karena terlalu keras tertawa. "Nona Clarissa punya tunangan kampungan!"

Ardian Pratama mengepalkan tangan. Urat-urat di lehernya mulai menegang.

"Sudah, sudah," satpam kedua mengusap air mata karena tertawa. "Pergilah sebelum aku panggil satpam lain untuk mengusirmu."

Saat itulah sebuah mobil BMW hitam mengkilat melaju masuk ke area parkir gedung. Kedua satpam langsung berdiri tegak, wajah mereka berubah serius.

"Wah, Nona Clarissa datang," bisik satpam pertama.

Mereka langsung berlari menghampiri mobil mewah itu, meninggalkan Ardian Pratama yang masih berdiri di tempatnya.

Pintu mobil terbuka. Seorang wanita dengan setelan blazer hitam elegan keluar dengan gerakan anggun. Rambut panjangnya yang bergelombang bergerak lembut tertiup angin.

"Wajahnya... astaga, cantik sekali," gumam Ardian dalam hati.

Ardian Pratama terpaku. Mulutnya menganga, mata tidak bisa lepas dari sosok wanita yang baru saja keluar dari mobil. Dia baru menyadari gurunya selama ini telah menipunya. Mana mungkin janda-janda di desa gunung bisa menandingi kecantikan wanita di hadapannya ini!

"Selamat pagi, Nona Clarissa," kedua satpam menyapa dengan hormat.

Clarissa Wijaya mengangguk singkat sambil memeriksa jam tangan emas di pergelangan tangannya. Seorang wanita berjas abu-abu keluar dari kursi penumpang depan, sekretarisnya.

"Jadwal hari ini bagaimana?" tanya Clarissa pada sekretarisnya.

"Pagi ini kita ada pertemuan dengan..."

"Permisi!"

Suara Ardian Pratama memotong pembicaraan mereka. Semua mata langsung tertuju padanya yang sedang berjalan mendekat sambil merapikan baju.

"Eh, kamu!" Satpam pertama langsung menghalangi. "Aku bilang apa tadi? pergi!"

"Aku harus bicara dengan dia," Ardian menunjuk Clarissa.

"Nona, pria ini tadi mengaku-ngaku tunangan Anda," lapor satpam kedua dengan nada mengejek.

Clarissa mengangkat alis, menatap Ardian dengan pandangan dingin.

"Minggir," kata Ardian pada kedua satpam. "Aku mau bicara dengan tunanganku."

"Berani sekali kamu!" Satpam pertama mengeluarkan tongkat. "Ayo teman-teman!"

Lima satpam lain datang berlari dari berbagai arah. Total tujuh orang mengelilingi Ardian.

"Menyingkir atau kami paksa?" ancam salah satu satpam.

Ardian Pratama hanya tersenyum tipis. "Kalian yang menyingkir."

Tujuh satpam itu langsung menyerbu. Tangan mereka berusaha menarik dan mendorong Ardian mundur. Tapi anehnya, tubuh pemuda itu seperti tertanam di tanah. Tidak bergerak sedikit pun meski tujuh orang dewasa mengeroyoknya.

Clarissa dan sekretarisnya terheran-heran melihat pemandangan ganjil di depan mereka. Bagaimana mungkin satu orang bisa bertahan dari tarikan tujuh orang sekaligus?

Ardian Pratama menghela napas, lalu dengan gerakan santai melepaskan diri dari cengkeraman para satpam. Mereka terpental mundur beberapa langkah.

"Sudah?" tanya Ardian dengan nada datar.

Para satpam saling bertukar pandang bingung dan takjub.

Ardian berbalik menghadap Clarissa. Mata mereka bertemu. Detik itu juga Ardian merasa dunia berhenti berputar. Cantik. Sangat cantik. Mata hitam yang dalam, hidung mancung, bibir merah muda yang sempurna. Ini baru yang namanya wanita cantik.

"Permisi," Ardian maju selangkah. "Perkenalkan, namaku Ardian Pratama. Tunanganmu."

Sekretaris Clarissa langsung berdeham keras. "Maaf, tapi sepanjang yang saya tahu, Nona Clarissa tidak memiliki tunangan."

Clarissa sendiri menatap Ardian dengan tatapan menyelidik. "Perjodohan dari mana?"

"Ini," Ardian mengeluarkan amplop dari tas ranselnya. Tapi yang keluar malah amplop yang salah. "Eh, bukan ini."

Dia membongkar tas, mengeluarkan seluruh tumpukan amplop dan menebarkannya di atas kap mobil BMW. Clarissa mengernyit melihat tingkah anehnya.

"Ini dia!" Ardian mengangkat selembar surat dengan bangga.

Clarissa mengambil surat itu, membacanya dengan seksama. Wajahnya langsung berubah pucat.

"Dari Kakek," gumamnya pelan.

Tanpa basa-basi, Clarissa mengambil buku cek dari tas kerjanya. Dia menulis dengan cepat, lalu menyobek dan menyodorkannya pada Ardian.

"Lima puluh juta. Untuk membatalkan pertunangan ini."

Mata Ardian berbinar melihat cek itu. "Wah, ternyata maharnya sebesar ini! Tapi maaf ya, aku tidak bisa menerima dan masuk sebagai menantu. Aku harus mandiri dulu...."

Clarissa menghela napas panjang. "Bukan uang mahar. Ini uang untuk membatalkan perjodohan. Ambil dan lupakan soal pertunangan ini."

Clarissa berbalik hendak masuk gedung, tapi langkahnya terhenti. Di depan pintu, Ardian Pratama sudah berdiri sambil tersenyum.

"Bagaimana bisa dia..." sekretaris Clarissa terbelalak.

"Saya harus bicara langsung dengan kakek kamu," kata Ardian sambil meremas cek hingga hancur. "Soal pembatalan pertunangan ini."

"Kakekku sedang sakit."

"Kebetulan, aku bisa mengobati. Pengalamanku mengobati hewan ternak milik janda di desa sudah banyak."

Clarissa memijat keningnya. Pusing. "Baik. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan membawamu menemui Kakek."

"Terima kasih." Ardian tersenyum lebar. "Oh ya, bolehkah aku berkeliling kantor? Kelak aku juga ingin membuka perusahaan sendiri. Rencananya aku mau kerja sebagai satpam dulu buat belajar."

Sekretaris Clarissa terpingkal-pingkal mendengarnya. Dalam hati dia menertawakan kebodohan laki-laki aneh ini. Mau buka perusahaan tapi kerja sebagai satpam? Logika macam apa itu?

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca