

“Ragnar, kalau besar nanti kau ingin jadi apa?” tanya ibunya sambil tersenyum lembut, menyuapkan sepotong roti hangat ke mulut putranya yang baru berusia tujuh tahun.
Anak itu menatap ibunya dengan mata bulat penuh keyakinan. “Aku ingin menjadi Sang Pahlawan, Ibu! Seperti yang Ibu ceritakan semalam. Aku ingin melindungi semua orang dari monster dan iblis!”
Tawa kecil keluar dari bibir sang ibu. “Mimpi yang indah sekali, Nak. Tapi untuk menjadi pahlawan, kau harus kuat. Dan kalau ingin kuat, kau harus makan dengan baik.”
Ragnar mengangguk cepat, lalu melahap roti itu dengan lahap. Sang ibu tersenyum lega, sementara di sudut ruangan, ayah Ragnar memperhatikan mereka sambil mengasah pedang. “Pahlawan, ya?” gumamnya sambil tersenyum bangga.
Hari-hari di desa kecil itu berjalan sederhana. Ragnar tumbuh ditemani sahabat-sahabatnya, Lyra yang ceria dan tangkas, serta Daren yang keras kepala namun selalu setia. Mereka bertiga sering berlari di padang rumput, bersembunyi di antara pepohonan, atau mendengarkan cerita para tetua tentang masa lalu penuh perang.
Namun, Ragnar paling menyukai waktu ketika ayahnya mengajarinya cara menggenggam pedang, atau saat ibunya memperlihatkan trik sihir sederhana—menyalakan api kecil di telapak tangan, membuat bunga bermekaran lebih cepat, atau menciptakan cahaya hangat untuk menemani tidur.
“Lihat baik-baik, Ragnar,” kata ayahnya suatu sore, memperagakan gerakan dasar dengan pedang kayu. “Pedang bukan hanya untuk membunuh. Pedang adalah janji. Janji untuk melindungi mereka yang tak bisa melindungi dirinya sendiri.”
Ragnar menggenggam pedang kayu kecilnya erat-erat. “Aku berjanji, Ayah! Aku akan melindungi Ibu, Ayah, Lyra, Daren, dan semua orang di desa!”
Ayahnya hanya tertawa, tapi di balik tawa itu ada rasa bangga yang sulit ia sembunyikan.
Hari-hari berlalu, dan Ragnar terus bertumbuh. Hingga pada ulang tahunnya yang ke-15, seluruh desa berkumpul merayakannya. Lagu riang dinyanyikan, roti dan sup hangat dibagikan, dan Ragnar menerima ucapan selamat dari semua orang.
“Selamat ulang tahun, Ragnar!” seru Lyra sambil menepuk pundaknya. “Kini kau resmi dewasa!”
Daren, dengan wajah sedikit kesal namun tersenyum, menambahkan, “Dewasa atau tidak, kau tetap harus latihan besok. Jangan pikir bisa malas hanya karena hari ini ulang tahunmu.”
Semua tertawa, termasuk Ragnar. Saat itu ia merasa hidupnya sempurna.
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa minggu setelah ulang tahunnya, langit yang biasanya cerah mendadak berguncang dengan suara mengerikan. Tanah bergetar, burung-burung beterbangan panik, dan lonceng peringatan di desa berdentang keras. Ragnar yang sedang berlatih bersama Lyra, Daren, dan ayahnya terkejut mendengar suara itu.
“Apa yang terjadi, Ayah?” Ragnar bertanya dengan wajah pucat.
Ayahnya menatap ke arah utara, lalu wajahnya mengeras. “Monster… mereka datang.”
Tak lama, kabut hitam menyelimuti desa, disertai raungan yang membuat darah membeku. Dari balik pepohonan, sosok-sosok mengerikan muncul: goblin bersenjata kasar, serigala berukuran dua kali lipat normal, dan iblis bermata merah yang memimpin barisan.
“Cepat! Evakuasi warga!” teriak ayah Ragnar pada penduduk lain.
Ia berbalik menatap putranya. “Ragnar, dengarkan aku. Bawa ibumu, Lyra, dan Daren. Larilah ke arah selatan. Jangan menoleh ke belakang. Aku akan menahan mereka.”
“Ayah! Tidak! Aku bisa bertarung juga!” Ragnar berteriak, matanya berkaca-kaca.
Tapi ayahnya hanya tersenyum, menepuk pundak putranya sekali. “Kau masih punya jalan panjang, Ragnar. Lindungi ibumu. Itu perintah.”
Dengan berat hati, Ragnar menarik tangan ibunya, berlari bersama Lyra dan Daren. Namun teriakan, raungan, dan dentuman senjata terus terdengar di belakang mereka.
“Tidak… aku tidak bisa meninggalkan Ayah begitu saja…” Ragnar bergumam, tubuhnya gemetar.
Tiba-tiba ibunya berhenti berlari. Wajahnya pucat tapi senyumnya lembut. “Ragnar, dengarkan Ibu. Teruslah berlari dengan teman-temanmu. Ibu akan menahan mereka.”
“Tidak, Ibu! Ayah sudah—aku tidak bisa kehilangan Ibu juga!” Ragnar memeluk ibunya erat-erat, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.
Sang ibu mengusap rambutnya lembut. “Kau anak yang luar biasa, Ragnar. Kau sudah membuat kami bangga. Tapi ingat—impianmu menjadi pahlawan tidak boleh berhenti di sini. Teruslah berlari, teruslah hidup. Suatu hari nanti, kau akan mengerti mengapa kami memilih jalan ini.”
Lyra dan Daren, dengan mata basah, menarik Ragnar agar terus berlari. “Ragnar, percayalah pada kami! Kami akan membawamu jauh!” seru Daren.
“Ibu… IBU!” Ragnar berteriak, namun tubuhnya dipaksa menjauh. Suara ibunya bergema untuk terakhir kali.
“Jangan menyerah, Nak. Jadilah pahlawan seperti yang kau impikan!”
Tangisan Ragnar pecah. Hatinya seakan robek. Dalam hitungan menit, ia kehilangan ayah dan ibunya. Namun penderitaannya belum berhenti.
Di tengah pelarian, suara langkah monster mendekat. Lyra menoleh pada Daren, wajahnya penuh keputusan. “Kita tidak bisa terus begini. Mereka akan mengejar sampai dapat.”
“Aku tahu,” jawab Daren lirih. Ia menatap Ragnar. “Ragnar, dengarkan kami. Kau harus lari ke kota. Cari bantuan. Kami akan menahan mereka di sini.”
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkan kalian juga! Kalian keluargaku!” Ragnar berteriak, tubuhnya gemetar antara marah dan putus asa.
Lyra tersenyum meski air matanya mengalir. “Kau sudah menjadi pahlawan bagi kami, Ragnar. Sekarang jadilah pahlawan bagi orang lain. Larilah!”
Daren menepuk pundaknya keras. “Hiduplah, Ragnar. Hiduplah untuk membalas kami!”
Ragnar ingin menolak, tapi sebelum sempat, Lyra dan Daren sudah menghunus pedang mereka, berdiri menghadang monster yang mendekat. Dengan teriakan marah sekaligus doa, Ragnar akhirnya berlari.
Saat langkahnya membawa dia semakin jauh, suara Lyra terdengar samar. “Ragnar… kami menyayangimu!”
Air mata membutakan pandangannya. Tanpa sadar, ia berlari ke arah tebing. Tanah runtuh di bawah kakinya, tubuhnya terjatuh, lalu menghantam semak-semak di bawah.
Gelap.
Ketika akhirnya terbangun, malam telah tiba. Tubuhnya penuh luka, bajunya berlumur darah dan tanah. Namun yang paling hancur adalah hatinya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju cahaya kota yang tampak dari kejauhan.
Setiap langkah terasa berat, seakan seluruh dunia menahannya. Tapi di dalam hatinya, satu suara terus bergema: suara ayahnya, suara ibunya, suara sahabat-sahabatnya.
“Jangan menyerah… Jadilah pahlawan…”
Dengan sisa tenaga, Ragnar melangkah. Dan di bawah cahaya bulan, ia bersumpah dalam hati—
“Aku akan menjadi pahlawan… tidak peduli berapa banyak darah dan air mata yang harus kutumpahkan. Aku akan menebas kegelapan, demi kalian semua…”