

Malam yang merayap di atas Corvus, kota yang diselimuti kabut rahasia dan bisikan mesin dari kejauhan.
Pukul 00:00 dini hari, rembulan menggantung tipis di atas Bukit Hangar, sebuah pegunungan terpencil di pinggiran kota yang belum banyak terjamah.
Di puncak bukit yang sunyi, hanya diterangi cahaya samar dari perkotaan di bawah, tiga buah mobil berhenti berjejer, siluetnya memecah kegelapan.
Mereka adalah segerombolan predator malam, sebuah Nissan S13 berwarna hitam pekat, dengan cat yang sedikit kusam namun memantulkan bayangan samar dari lampu jalanan jauh di bawah. Bagian bodykit-nya tampak agresif, ban belakangnya terlihat lebih lebar, dan suara knalpotnya seakan berbisik ancaman.
Di sebelahnya, sebuah Nissan 180SX berwarna merah menyala, kontras dengan kegelapan di sekitarnya, bodi mulusnya mengisyaratkan kecepatan, dan velg custom-nya tampak kokoh.
Terakhir, sebuah Toyota MR2 berwarna silver mengkilap, bentuknya yang aerodinamis seakan siap membelah angin. Di bagian belakang ketiga mobil itu, stiker berwarna putih dengan tulisan grafiti tajam terpampang jelas: Start Lord.
Tiga sosok muda, semuanya berusia sekitar 20-an, turun dari kendaraan mereka. Udara malam yang dingin menyelimuti bukit, membawa serta aroma tanah basah dan bensin yang samar.
Pian, dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya dan topi beanie yang menutupi rambut, meraih sebungkus rokok dari saku.
Korek api bergesek, percikan api singkat menerangi wajahnya yang sedikit tirus sebelum puntung rokok menyala.
Ia menghirup dalam-dalam, asap tipis meliuk naik ke udara dingin, lalu dihembuskan perlahan, membentuk awan kecil yang segera sirna ditelan kegelapan.
"Woaahhh, meski kita orang sini, kayaknya asing banget yah," ujar Cojuro, pria berambut pendek dengan kaos dan celana panjang yang tampak santai namun siap bergerak.
Matanya menyusuri pemandangan luas di bawah, kegelapan yang pekat menyembunyikan detail jalur di depannya.
Ada nada kekaguman bercampur tantangan dalam suaranya. Ia memang asli dari Hangar, kota tempat mereka berdiri, namun jalur ini terasa asing di bawah kaki.
"Hmm… kita terlalu sering berkunjung di Bukit Zangar yang terkenal di kota Corvus," balas Abas, pria berkumis tipis dengan rambut gondrong yang sedikit berantakan, mengenakan jaket kulit yang mengkilap dan celana panjang.
Ia menatap ke arah yang ditunjuk Cojuro, menyetujui. Bukit Zangar mungkin adalah medan latihan mereka selama ini, medan yang familiar, tetapi malam ini mereka mencari sesuatu yang baru, yang lebih menantang.
"Kita bisa gunakan bukit ini buat latihan," sahut Pian, menghembuskan asap rokoknya lagi. Suaranya terdengar tenang, namun sorot matanya tajam, penuh perhitungan.
Dia tampak sebagai otak di balik kelompok ini, yang merencanakan langkah-langkah strategis untuk ambisi mereka.
Mereka bertiga adalah inti dari tim Start Lord, sebuah tim balap yang baru saja dibentuk, berambisi untuk mengukir nama dan menjadi yang nomor satu di kancah balap liar Corvus.
"Gimana, Bas? Apa lo udah terbiasa dengan jalur ini?" tanya Pian, mengalihkan pandangannya ke Abas, yang tampaknya menjadi pengemudi paling cekatan dan intuitif di antara mereka.
Abas mengangguk pelan, tatapannya masih terpaku pada kegelapan jalur yang membentang di bawah. "Udah, tapi... sangat mustahil jika harus menguasainya."
Ada nada hormat dan sedikit gentar dalam suaranya, sebuah pengakuan akan kesulitan jalur yang membentang di hadapan mereka. Jalur ini bukan sembarang trek, ini adalah monster yang siap memangsa mereka yang lengah.
"Tenang aja, gue bakal nguasain jalur ini dengan mudah," sahut Cojuro dengan cengiran percaya diri, menyikut lengan Abas.
Meski ucapannya terkesan sombong, ada semangat muda yang membara di baliknya, sebuah tekad untuk membuktikan diri. Ia adalah tipe yang tak gentar menghadapi tantangan.
Tanpa banyak bicara lagi, ketiganya kembali ke mobil masing-masing. Cojuro melompat masuk ke kokpit S13 hitamnya, setir racing-nya terasa dingin di tangan.
Abas menyelinap ke dalam 180SX merah menyala miliknya, sabuk pengaman terpasang erat, siap merasakan setiap sentakan mesin.
Dan Pian, dengan ketenangan seorang profesional, masuk ke dalam MR2 silvernya, jemarinya membelai tuas persneling seolah menyentuh instrumen musik.
Deru mesin memenuhi kesunyian malam di puncak bukit. Suara kasar dari knalpot balap mereka memecah keheningan, mengirimkan getaran ke udara dingin. Lampu depan mereka menembus kegelapan, menciptakan tiga sorot cahaya panjang yang membelah jalan di depan.
Brummm!!!
S13 milik Cojuro bergerak lebih dulu, menuruni bukit dengan perlahan, seperti predator yang mengintai mangsanya. 180SX Abas dan MR2 Pian mengikutinya di belakang, membentuk formasi berburu.
Turunan mulai terasa semakin tajam, dan di kejauhan, siluet tikungan pertama mulai terlihat, menyembunyikan diri di balik rimbunnya pepohonan yang tumbuh liar.
Cojuro adalah yang pertama mencapai tikungan itu. Ia memainkan gas, rem, kopling, dan persnelingnya dengan lihai, sebuah tarian kaki dan tangan yang presisi.
Ban belakang S13 berdecit, mobil itu mendrift sedikit melebar, menyeret bagian belakangnya melintasi aspal dalam luncuran yang terkontrol, mengirimkan semburan kerikil dan asap tipis ke udara.
Di belakangnya, Abas melesat dengan kecepatan yang menakjubkan. Ia tampak sangat tenang, jemarinya bergerak cepat di tuas persneling, gas, rem, dan kopling, seperti penari yang tak pernah salah langkah.
Dengan putaran setir yang ekstrem, 180SX-nya memasuki drift dengan kecepatan yang lebih tinggi, sudutnya lebih tajam dari Cojuro, sebuah bukti penguasaan yang lebih matang terhadap mobilnya.
Pian, yang paling belakang, tidak kalah cepatnya. MR2 silvernya meluncur dengan lihai. Ia memainkan rem, gas, kopling, dan tuas persneling dengan presisi seorang ahli bedah.
Mobilnya seolah menari di lintasan, meluncur mulus melewati tikungan, tepat pada jalurnya, mengikuti alur tanpa cela.
Tikungan kedua, sedikit lebih sempit dan mendadak. S13 Cojuro mampu mengatasinya dengan drift yang baik, meskipun roda belakangnya beberapa kali hampir terjun keluar dari jalur, nyaris mencium tepian jurang. Sebuah kesalahan kecil bisa berakibat fatal di sini.
180SX Abas tampak meluncur tanpa beban, jalan sempit tak membuatnya melambat sedikit pun, seolah jalur itu adalah perpanjangan dari kemauannya.
Dan MR2 Pian tetap setia di belakang, meluncur dengan mulus, tidak berniat mendahului, hanya menjaga kedua rekannya di depan, memantau pergerakan mereka.
Ketiga mobil itu kini melaju di jalanan curam dengan kecepatan tinggi, melewati rangkaian tikungan beruntun: tikungan S yang mematikan, tikungan tajam yang menyempit, dan likuan-likuan lain yang tak terduga, semuanya di ambang antara jurang menganga di satu sisi dan lereng bukit yang curam di sisi lainnya.
Setiap sentakan kemudi, setiap injakan rem, adalah pertaruhan nyawa. Mereka adalah Start Lord, dan malam ini, di Bukit Hangar, mereka sedang menulis babak pertama dari legenda balap mereka.
–––––
Beberapa jam telah berlalu sejak deru mesin tim Start Lord mereda dan menghilang di balik lekuk Bukit Hangar.
Udara dingin dini hari semakin menusuk, dan kegelapan terasa lebih pekat, seolah menyembunyikan segala aktivitas yang berlangsung di bawah permukaannya.
Jam di dasbor menunjuk pukul 01:00 dini hari, tepat waktu. Tiba-tiba, keheningan puncak bukit yang sebelumnya hanya diisi desauan angin malam, terkoyak oleh raungan mesin yang jauh, namun semakin mendekat.
Suara itu bukan raungan beringas mobil balap yang dimodifikasi ekstrem, melainkan dengung kuat yang halus, namun penuh daya.
Dari balik tikungan tajam yang menjorok dari puncak bukit, sebuah siluet putih melesat keluar. Itu adalah sebuah Nissan ER34 4 pintu berwarna putih bersih, bodinya tampak benar-benar standar, tanpa modifikasi mencolok yang biasa terlihat pada mobil-mobil balap jalanan.
Namun, penampilannya yang polos itu justru memberikan kesan misterius, kontras dengan kecepatan luar biasa yang dipancarkannya. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, seolah tak terpengaruh oleh gravitasi atau bahaya jalur.
Dari dalam kokpit yang temaram, terlihat seorang anak muda. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa emosi. Wajahnya yang sangat muda dan perawakannya yang kecil tampak kontras dengan aksi berbahaya yang sedang ia lakukan.
Matanya fokus lurus ke depan, menembus kegelapan yang hanya diterangi oleh sorot lampu mobilnya, membaca setiap lekukan dan bayangan di jalan.
Di bawah sana, kedua kakinya bergerak dalam simfoni yang sempurna pada pedal-pedal. Kaki kanannya menari di atas gas dan rem.
Kaki kirinya menekan pedal kopling dengan cepat, semua dilakukan secara berirama, seolah ia dan mobilnya adalah satu kesatuan.
Suara Brummm... Brummm... terdengar dari bawah kap, sebuah akselerasi sempurna yang hanya bisa dicapai oleh mesin yang ditala dengan sangat baik, dan seorang pengemudi yang memiliki intuisi luar biasa.
Tangan kirinya bergerak santai, namun cekatan, memainkan tuas persneling dengan presisi yang menakjubkan, perpindahan gigi terasa mulus tanpa sentakan berarti, menjaga momentum mobil tetap optimal.
Sementara tangan kanannya memutar kemudi dengan gerakan minimal namun efektif, mengarahkan mobil meluncur di tikungan-tikungan berbahaya seolah itu adalah lintasan lurus.
Tidak ada drift yang berlebihan atau manuver dramatis; hanya garis yang paling efisien, paling cepat.
ER34 putih itu benar-benar melaju sangat kencang, seperti hantu yang berkeliaran di tengah malam. Ia melewati turunan curam yang sebelumnya membuat Cojuro dan Abas harus berhati-hati.
Tikungan tajam dan tikungan beruntun yang menguji nyali tim Start Lord beberapa jam sebelumnya, kini dilahap oleh pemuda itu dengan kecepatan yang sama, atau bahkan lebih tinggi, tanpa sedikit pun ragu.
Ban-bannya mencengkeram aspal dengan kuat, mesinnya meraung lembut namun bertenaga, mendorong mobil melewati ambang batas normal.
Baginya, ini hanyalah rutinitas biasa. Sebuah perjalanan pengiriman yang ia lakukan setiap malam, menaklukkan Puncak Kematian seolah itu hanyalah jalan raya biasa.
Ia tidak tahu bahwa setiap lintasan yang ia buat meninggalkan jejak kecepatan, jejak yang suatu hari nanti akan menarik perhatian dan menyeretnya ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya dari sekadar mengantar sesuatu.
Setiap detik yang berlalu di jalur itu, tanpa ia sadari, tengah mengasah bakat yang akan mengubah takdirnya.